Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 19 Januari 2010 Umum

Mengagendakan Program Perjuangan Perempuan Jateng

[html] Mengagendakan Program Perjuangan Perempuan Jateng

Oleh: Marzuki*
Menarik, tulisan Ari Kristianawati pada rubrik perempuan (Suara Merdeka 15 April 2009). Beliau mengutarakan tiga klaster caleg perempuan. Tiga klaster tersebut adalah perempuan yang benar-benar sadar gender, perempuan yang minim pemahaman gender (cenderung patriarkhis), dan perempuan yang berideologi selaras dengan parpol pengusungnya (boleh jadi diskriminatif gender karna patuh pada partai). Timbul pertanyaan, dari ketiga klaster itu mana yang paling dominant di Jateng? Klaster pertama, kedua, ataukah yang ketiga? Tentu merupakan satu kemenangan bagi perjuangan perempuan di jawa tengah jika jawabannya adalah klaster yang pertama? Mari kita telaah bersama.

Sebuah Kemunduran
Kalau ditilik dari angka perolehan kursi DPR perempuan di Jateng, dapat disimpulkan bahwa sudah terjadi pergeseran peran perempuan dari domestic affair menuju public affair. Tercatat caleg perempuan Jateng yang berhasil duduk di DPR RI adalah 11,69%. 3 kursi berhasil dikuasai oleh perempuan di DPD mewakili jateng dari 4 kursi yang tersedia. Tak ketinggalan, 21 kursi dari 100 kursi DPRD Jateng telah diduduki perempuan. Pendeknya perolehan kursi perempuan di Jateng tahun 2009 mengalami peningkatan dari 2004 atau naik sebesar 5,56%. (SM 06 Juni 2009).

Angka yang fantastis memang, mengingat perempuan terhadang aturan suara terbanyak dalam penentuan caleg terpilih. Akan tetapi dari jumlah perempuan yang duduk tersebut, berapa yang mengagendakan perjuangan perempuan? Berapa caleg yang memaparkan program gender ketika berkampanye? Jawabannya pasti minim, atau bahkan tidak ada. Hal ini dikarenakan partisipasi perempuan dalam parpol masih dibelenggu oleh sistem parpol itu sendiri yang kebanyakan masih patriarkhis.

Bukankah ini merupakan sebuah kemunduran gerakan perempuan? karena mereka hanya dijadikan komoditas politik oleh parpol. Diperalat untuk menggait suara dan tak punya daya untuk memperjuangkan nasib kaumnya sendiri. Dimana semangat juang kartini kaum perempuan Indonesia?

Perlu diprogramkan
Dari sini bisa disimpulkan bahwa dari ketiga klaster caleg perempuan yang dikemukakan oleh Ari Kristianawati diatas, boleh jadi anggota legislatif perempuan di Jateng masuk dalam klaster kedua dan ketiga (perempuan yang minim pemahaman gender dan perempuan yang berideologi selaras dengan parpol pengusungnya). Sehingga, bisa jadi nasib perempuan Jateng kurang mendapat perhatian oleh kaum laki-laki, bahkan kaum perempuan sendiri.

Diperlukan semacam langkah penyadaran bagi para pemimpin Jateng umumnya dan para anggota legislatif perempuan khusunya untuk memprogramkan perjuangan gender melalui politik dan kebijakan pemerintahan. Lembaga legislatif yang mereka duduki selayaknya menjadi kendaraan untuk berjuang. Bukankah perjuangan melalui kekuasaan dan kebijakan lebih efektif ketimbang berjuang melalui arus bawah?

Sebenarnya yang diperlukan adalah bagaimana membuat kaum perempuan sadar akan nasibnya sendiri. Setelah mereka sadar tentu akan menjadi kekuatan yang luar biasa mengingat jumlah perempuan yang lebih banyak dibanding laki-laki. Alhasil perempuan tidak akan tertindas dan dijadikan komoditas politik belaka. Semoga tulisan ini menjadi titik tolak bagi para anggota legislatif perempuan Jateng untuk bersadar diri dan mengatakan tidak untuk aturan dan kebijakan yang menyudutkan perempuan baik dalam intern parpol mereka maupun di lembaga legislatif. [/html]