Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Orasi Ilmiah Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono Sampaikan 7 Karakater Bung Hatta
Kamis, 26 April 2018 Informasi Kampus

Orasi Ilmiah Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono Sampaikan 7 Karakater Bung Hatta

Penggunaan nama Bung Hatta untuk menjadi nama perguruan mendapat restu dari Ibu Rahmi Hatta, kala itu. Namun, karakternya pun harus sesuai dengan karakter Bung Hatta. Universitas Bung Hatta diharapkan mempunyai pola pikir, sikap dan tindakan Bung Hatta yang terlihat pada cara berpikir para pengajar dan mahasiswanya, dan juga alumninya kelak.

Hal ini disampaikan oleh Prof. Dr. Meutia Farida Hatta Swasono, M.S, anak sulung Bung Hatta saat memberikan Orasi Ilmiah dalam rangka Dies Natalis ke-37 Universitas Bung Hatta yang bertempat di Aula Balairung Caraka Gedung B Kampus Proklamator I Universitas Bung Hatta, Rabu (25/04/2018).

Di hadapan sivitas akademika Univestias Bung Hatta ini, perkenankan saya mengemukakan beberapa pandangan dan pemikiran Bung Hatta sejak mahasiswa hingga masa perjuangannya sebagai perintis dan proklamator kemerdekaan (bersama Bung Karno), Wakil Presiden RI yang pertama, pemimpin nasional dan tokoh nasional yang dihormati hingga akhir hayatnya.

Pertama, sebagai seorang akademisi, Bung Hatta selalu kritis dalam mengkaji berbagai ideologi/paham tertentu yang diperolehnya di perguruan tinggi. Beliau tidak pernah terpaku pada satu paham, teori, atau konsep tertentu melainkan dengan cermat menganalisis tepat-tidaknya hal itu diterapkan di Indonesia.

Kedua, dalam Sidang BPUPKI, para pendiri Bangsa Indonesia telah mendisain negara Republik Indonesia (kini disebut NKRI) agar menjadi Negara Pengurus bagi rakyatnya dengan sebaik-baiknya. Indonesia tidak boleh menjadi Negara Kekuasaan (Machtsstaat) melainkan menjadi Negara Hukum (Rechtsstaat). Para pendiri negara menolak le droits de l’homme et du citoyen, menentang individualisme dan liberalisme dan memilih jiwa kebersamaan dan kekeluargaan serta gotong-royong.

Ketiga, Bung Hatta merupakan konseptor dari pasal 33 UUD 1945 yang menekankan kepada perlunya kemakmuran rakyat, yakni kemampuan pemenuhan kebutuhan materiel atau kebutuhan dasar, bukan untuk kemakmuran orang seorang (individu) melainkan kemakmuran rakyat.

Keempat, mengenai politik luar negeri bebas aktif, dasarnya adalah dari pemikiran Bung Hatta, yang dinyatakan dalam pidatonya sebagai Keterangan Pemerintah terhadap BP KNP, 2 September 1948. Sampai sekarang, Politik Luar Negeri Bebas Aktif tetap dipegang oleh RI dan dilaksanakan oleh Kemlu. Prinsip yang terkandung dalam politik luar negeri yang bebas aktif itu sebenarnya juga menyiratkan pesan kepada para pemimpin Indonesia untuk tidak rendah diri kepada bangsa asing, dan harus berjuang agar bangsa Indonesialah yang harus menjadi tuan di negeri sendiri.

Kelima, bagi Bung Hatta, demi membangun dan memajukan negara, Bangsa Indonesia sebagai warganegara harus bersatu. Sejak dekade 1930an, telah diingatkan oleh Bung Hatta bahwa yang harus dibangun adalah persatuan hati, bukan persatuan orang sesaat. Jadi “janganlah persatuan hanya sekedar menjadi persatean”, yang menurut Bung Hatta, sekedar berkumpul tetapi tidak terjadi persatuan hati.

Keenam, dari segi karakternya. Bung Hatta termasuk di antara sedikit pejuang Indonesia yang tak tertundukkan, Salah satu contohnya adalah ketika di Boven Digoel, pada akhir Januari 1935. Itulah sebabnya Romo Mangunwidjaja (alm.) menyebut Bung Hatta sebagai orang yang tak tertundukkan jika sudah merasa bahwa prinsipnyalah yang benar.

Ketujuh, ada beberapa karakter pribadi Bung Hatta yang akan saya kemukakan di sini. Bung Hatta adalah manusia berprinsip, sama kata dengan perbuatan. Karena itu beliau selalu menjaga kata-katanya agar tidak mengeluarkan janji kosong, apalagi membual, yang dapat merusak citranya di mata orang yang dihadapinya, meskipun orang tersebut berasal dari kelas bawah. Beliau juga selalu menghargai orang kecil, sebagai bagian dari ajaran kakeknya semasa kecilnya.

Perkembangan zaman saat ini telah ditandai oleh perubahan iptek dan komunikasi yang sangat pesat, yang membawa pula corak tersendiri dalam pergaulan sosial dalam kehidupan keluarga, ke dalam kehidupan masyarakat Indonesia dan tidak dapat ditolak. Meskipun demikian, mengenai pengaruh dari luar melalui kemajuan iptek dan komunikasi tersebut, para ilmuwan dari perguruan harus kritis mencermatinya, bagaimana dampak positif dan negatifnya bagi bangsa dan negara kita.

Pada kondisi sekarang terasa sekali relevansi dari sejumlah pesan Bung Hatta, misalnya kalau sekedar persatuan tanpa persatuan hati, maka pengkotak-kotakanlah yang akan marak, bukan persatuan bangsa. Ini berbahaya karena kitalah sebagai bangsa yang harus melindungi negara kita yang kaya dan bangsa kita yang merupakan aset Indonesia, secara bersama-sama, dalam prinsip kebersamaan. (**Ubay-Humas UBH)