Detail Artikel

Rabu, 17 Agustus 2005

Peran dan Kedudukan Perempuan dalam Kebudayaan Minangkabau
Bila disimak referensi yang menyatakan tentang kebudayaan Minangkabau, khususnya tentang perempuan banyak ungkapan yang melambangkan tingginya peran dan kedudukan perempuan Minang tersebut. Ia dilambangkan sebagai limpapeh rumah nan gadang, sumarak anjuang nan tinggi, dsb. Ungkapan ini sudah begitu sering dilafazkan bukan? Dan, khusus untuk perempuan dewasa atau kaum ibu digunakan istilah bundo kanduang. Sebutan bundo kanduang bukanlah sekadar istilah saja tapi lebih dari itu. Namun, apakah semua perempuan dewasa Minang bisa disebut dengan panggilan Bundo Kanduang?

Sebagai lambang kehormatan dan kemuliaan, seorang perempuan yang menjadi Bundo Kanduang tidak hanya menjadi hiasan dalam bentuk fisik saja tapi kepribadiannya sebagai perempuan, kemudian ia harus memahami ketentuan adat yang berlaku, disamping tahu dengan malu dan sopan santun juga tahu dengan basa basi dan tahu cara berpakaian yang pantas.

Sifat perempuan bila menjadi Bundo Kanduang tersebut dinyatakan dalam kato pusako (kata pusaka) berikut: ..…dihias jo budi baiak, malu sopan tinggi sakali, Baso jo basi bapakaian, nan gadang basa batuah, kok hiduik tampek banzar, kok mati tampek baniat. Tiang kokoh budi nan baiak, pasak kunci malu jo sopan, hiasan dunia jo akhirat, awih tampek mintak aia, lapa tampek minta nasi, (Zulkarnaini, 1994). Makna yang terkandung dalam ungkapan ini sangatlah mendalam, kehadiran perempuan sebagai bundo kanduang merupakan contoh dan teladan budi bagi masyarakatnya, bagi kaumnya, dan bagi rumah tangganya. Sosok bundo kanduang digambarkan sebagai ibu yang berwibawa, arif bijaksana, suri teladan, memakai raso (rasa) dan pareso (periksa), serta tutur katanya sopan.

Nah, dari uraian tersebut ada baiknya kita hati-hati menggunakan kata perempuan dan bundo kanduang karena makna (sense of meaning) yang terkandung dari masing-masing kata tsb. sangat jauh bedanya. Kata perempuan bermakna umum dan acuannya luas, sedangkan frasa “bundo kanduang” mengacu kepada sosok perempuan yang punya sifat dan kepribadian yang (1) memahami adat dan sopan santun,(2) mengutamakan budi pekerti, (3) memelihara harga diri, (4) mengerti agama, (5) memahami aturan agama, (6) memelihara dirinya dan masyarakatnya dari dosa.

Lebih lanjut, di dalam adat Minangkabau Hakymi Dt. Rajo Penghulu (1991), mengklasifikasikan perempuan ke dalam tiga bagian, yaitu (1) parampuan, (2) simarewan, dan (3) mambang tali awan.

Parampuan, mengacu kepada perempuan yang mempunyai budi pekerti yang baik, tawakal kepada Allah, sopan dan hormat pada sesama. Sifat ini tampak dalam ungkapan: budi tapakai taratik dengan sopan, memakai baso-basi di ereng jo gendeng, tahu kepada sumbang salah, takut kepada Allah dan Rasul, muluik manih baso katuju, pandai bagaua samo gadang, hormat pado ibu jo bapa, baitupun jo urang tuo.

Simarewan, istilah yang mengacu kepada perempuan yang tidak mempunyai pendirian, tidak mempunyai budi pekerti. Sifat ini tampak dalam ungkapan berikut: paham sebagai gatah caia, iko elok etan katuju, bak cando pimpiang di lereng, bagai baliang-baliang di puncak bukik, ka mano angin inyo kakian, bia balaki umpamo tidak, itulah bathin kutuak Allah, isi narako tujuan lampiah.

Mambang tali awan, adalah perempuan yang sombong, tidak punya rasa hormat, tenggang rasa, selalu ingin kedudukannya. Sifat ini terlihat dalam ungkapan: parampuan tinggi ati, kalau mangecek samo gadang, barundiang kok nan rami, angan-angan indak ado ka nan lain, tasambia juo laki awak, dibincang-bincang bapak si upiak, atau tasabuik bapak si buyuang, sagalo labiah dari urang, baiklah tantang balanjonyo, baiak kasiah ka suami, di rumah jarang baranjak-ranjak, dilagakkan mulia tinggi pangkek, sulit nan lain manyamoi, walau suami jatuah hino, urang disangko tak baiduang, puji manjulang langik juo.

Jelaslah, bahwa adat Minangkabau pada khususnya membentuk individu yang berbudi luhur, manusia yang berbudaya, manusia yang beradab. Sifat-sifat ideal itu adalah (a) Hiduik baraka, baukua jo bajangko, artinya orang minang harus mempunyai "rencana yang jelas dan perkiraan yang tepat"; (b) baso-basi malu jo sopan, artinya adat Minang mengutamakan sopan santun dalam pergaulan; (c) tenggang raso, artinya di dalam pergaulan yang baik kita harus menjaga perasaan orang lain. Dalam pergaulan, adat mengajarkan kita selalu berhati-hati dalam berbicara, bertingkah laku tidak menyinggung perasaan orang lain; (d) setia., artinya teguh hati, merasa senasib dan menyatu dalam lingkungan kekerabatan.

Dalam realita kehidupan masyarakat Minangkabau yang sebenarnya, apakah konsep budaya Minangkabau ini sudah tersosialisasikan dan tertanamkan dalam diri masyarakat? Seberapa jauh perempuan Minang menghayati sifat yang melekat pada Bundo Kanduang seperti yang dilukiskan dalam Kato Pusako?

Menurut penulis, sosialisasi mengenai konsep-konsep budaya Minangkabau ini tentu saja sangat memotivasi dan membantu masyarakat dalam membentuk kepribadiannya dan menentukan sikap ke depan dalam rangka mempertahankan budaya Minangkabau dari pengaruh budaya asing yang begitu kuat masuk dan mempengaruhi perilaku masyarakat sehingga cenderung tidak lagi berpijak ke budaya Minangkabau bahkan akan bisa menyebabkan hilangnya identitas diri.

Bagi kaum perempuan, dengan memahami peran dan kedudukannya dalam adat Minangkabau itu secara mendalam tentu saja lebih memotivasi dirinya dan memberikan inspirasi untuk menjalankan peranannya sebagai perempuan Minang. Dengan harapan, ketika seorang perempuan Minang meningkatkan kompetensi dirinya ia tetap berpijak pada konsep adat Minangkabau yang menjadikan ia nantinya mampu berperan sebagai “Bundo Kanduang” yang diinginkan dalam Kato Pusako tersebut. Semoga!



Yusrita Yanti, S.S.,M.Hum.
Fakultas Ilmu Budaya Universitas Bung Hatta