Detail Artikel

Jum'at, 30 September 2005

Tetap Nyaman Dengan Hemat Energi
“Untuk pelaksanaan penghematan energi pada bangunan komersial dan instansi pemerintah, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 0031 Tahun 2005 menyebutkan bahwa penghematan bisa dilakukan dengan cara mengatur suhu ruangan ber-AC pada suhu minimal 25°C, mengurangi daya pencahayaan listrik ruangan maksimal 15 watt/m², mengurangi pencahayaan lampu aksesoris, serta mengurangi jam operasi peralatan AC dan eskalator hanya dari awal jam kerja sampai 1 jam sebelum jam kerja berakhir, sementara penggunaan lift hanya dioperasikan dengan pemberhentian pada setiap 2 (dua) lantai.” Peraturan Menteri tersebut dikeluarkan untuk menindak lanjuti Instruksi Presiden No.10 tahun 2005, tentang Penghematan Energi.

Menyikapi Instruksi Presiden dan Peraturan Menteri ESDM tersebut, penulis hanya berkomentar pada temperatur ruang minimal 25 oC, sesuai dengan bidang yang penulis lakukan saat ini yaitu penghematan energi pada sistem penyegaran udara “Air Conditioning - AC.”

Pertanyaana mendasar pada kedua peraturan tersebut, apakah rakyat Indonesia benar-benar boros dalam hal pemakaian energi listrik?
[newpage]
Informasi yang kita peroleh dari media cetak Indonesia menyatakan :

Masyarakat Indonesia tergolong konsumen yang sangat boros dalam penggunaan energi listrik jika dibandingkan dengan negara lain. Akibatnya, pemakaian listrik meningkat cukup tajam dari tahun ke tahun, dan ini tidak sesuai dengan pertumbuhan penggunaan energi listrik [Kompas, 25/06/2001]. Melihat perkembangan dan fakta di lapangan pada tahun 2003 dan 2004, kondisi pada tahun 2005 akan semakin parah. Kekhawatiran itu muncul karena hanya ada satu tambahan pasokan listrik, sedangkan permintaan pemakai energi listrik akan terus meningkat [Kompas, 15/12/2003]. Meskipun energi terbarukan melimpah di Indonesia, yaitu : energi surya, angin, mikrohidro, geotermal, dan biomass masih sangat minim pemakaiannya, diperkirakan 10 tahun mendatang hanya 10 sampai 20 persen pasokan energi listrik berasal dari energi terbarukan tersebut. Dan kondisi saat ini pemanfaatan energi terbarukan hanya satu persen [Kompas, 31/05/ 2002].

Pada seminar Efisiensi Energi pada Industri Perhotelan yang diselenggarakan oleh Pelangi (Lembaga penelitian mandiri bukan milik pemerintah) bekerjasama dengan Dinas Pariwisata DKI Jakarta, lebih dari 100 hotel di Jakarta datang untuk berbagi mengenai pemanfaatan energi, khususnya listrik pada hotel. Bagi manajemen hotel, pemborosan energi dianggap sebagai sesuatu yang lumrah. Wajar terjadi keborosan jika hotel ingin meningkatkan kenyamanan bagi para tamunya. Persepsi ini sendiri akhirnya menjadi rule of thumb dalam memilih peralatan yang mendukung kenyamanan, seperti peralatan pada sistem AC, sistem penerangan dan bahkan sistem termal, 40 persen dari chiller yang dimiliki oleh hotel adalah chiller yang kelebihan kapasitas. Artinya, ada pemborosan investasi karena chiller dirancang lebih tinggi dari kebutuhan gedung tersebut. Hal yang sama juga ditemukan pada sistem penerangan dan termal [http://www.pelangi.or.id].

Bukti lainnya, wilayah DKI Jakarta, jumlah gedung berdasarkan data tahun 2000 sebanyak 960.000 gedung, dan 1000 gedung diataranya adalah gedung berlantai lima ke atas [Kompas, 22/03/2003]. Berdasarkan survei yang telah dilakukan oleh Ikatan Ahli Fisika Bangunan Indonesia (IAFBI), dari 500 gedung berlantai delapan yang menjadi objek penelitian, baru 10 persen atau 50 gedung di Jakarta yang menggunakan energi mendekati angka standar. Merujuk kepada comercial building, kebutuhan energi setiap tahunnya adalah 246 kWh/m2. Belum ada gedung di Indonesia yang menggunakan energi di bawah angka tersebut [Kompas, 25/05/2001].
[newpage]
>>Kenapa Sistem Air Conditioning

Negara kita termasuk kepada iklim tropis, pemakaian AC bukan merupakan produk mahal lagi, tapi lebih menekankan pada tingkat kenyamanan penghuni, sehingga disetiap gedung bertingkat milik pemerintah maupun swasta, sampai pada keperluan rumah tangga, pemakaian AC sudah sangat banyak. Sehingga gedung-gedung tinggi dan perumahan masyarakat di berbagai kota di Indonesia, tak satu pun yang mempunyai ciri bangunan iklim tropis apalagi yang berarsitektur khas Indonesia. Bangunan menjulang itu didesain berdasarkan pola arsitektur Barat, sehingga terlihat asing, tidak menyatu dengan lingkungan bangunan di sekitarnya [Kompas, 22/09/2002].

Kunci penghematan energi pada gedung-gedung tinggi adalah dengan penggunaan listrik untuk AC dan penerangan dapat ditekan serendah mungkin. Penggunaaan energi listik di gedung bisa mencapai 90 persen untuk AC dan penerangan [Henry 2004]. Dengan perincian bahwa kebutuhan energi listrik untuk pemakaian AC berkisar 70 persen [Henry dan Mat Nawi 2004].

Sebagai contoh, salah satu Hotel bintang 4 di Jakarta dengan mengikuti program penghematan, dengan menurunkan penggunaan energi sebesar 17 persen, keuntungan yang diperoleh per bulan sebesar 40 juta [http://www.pelangi.or.id]. Jika konsumen dapat menghemat pemakaian energi sebesar 5 – 10 persen saja, tidak kita perlukan lagi pembangkit baru [http://www.ia-itb.com].

>>Sistem Pengaturan Saat Ini

Sistem pengaturan (control) yang banyak digunakan pada AC saat ini adalah Thermostat dengan prinsip kerjanya on/off, suatu pengendali yang hanya bekerja dengan dua kondisi. Jika kondisi telah terpenuhi, posisi pengendali pada kondisi off, dan sebaliknya pada kondisi on. Pengendali ini tidak dapat bekerja pada daerah antara on dan off, misalnya pada motor listrik, berputar lambat atau berputar sedang. Dengan kata lain energi listrik yang digunakan 0 atau 100 persen.
[newpage]
Kerja pengendali on/off banyak dipakai di sistem pengendalian yang sederhana, karena harganya yang relatif murah. Namun, tidak semua proses dapat dikendalikan secara on/off, karena banyak operasi proses yang tidak dapat mentolerir fluktuasi yang terjadi. Jadi, syarat utama untuk memakai pengendali on/off bukan untuk menghemat biaya pembelian unit pengendali (controller) melainkan karena proses memang tidak dapat mentolerir fulktuasi pada batas-batas kerja pengendalian on/off [Gunterus 1994].

Misalnya diatur temperatur ruang 22 oC. Jika telah tercapai, energi listrik ke kompresor akan di-off kan, sebaliknya akan terus mencapai kondisi yang diharapkan. Akan terus berfluktuasi, selama sistem tersebut dipergunakan. Kerugian dari sistem ini, tidak dapat menyesuaikan kondisi yang terjadi pada ruangan tersebut [Henry 2004]. Kita tidak dapat mengatur, bagaimana energi listrik hanya 25, 50 atau 75 persen. Walaupun demikian tidak selamanya sistem on/off tersebut jelek, terkadang pada kondisi tertentu lebih baik dari sistem pengaturan yang ada [Henry dan Mat Nawi 2005].

>>Hubungan Pengaturan Temperatur dan Hemat Energi

Upaya untuk penghematan energi pada sistem pendingin adalah dengan beberapa cara : memperbaiki efisiensi kompresor, memvariasikan putaran motor kompresor, mencari refrigeran alternatif, memvariasikan putaran motor fan, sistem kontrol refrigeran, dan lain-lain [Henry 2004]. Yang penulis lakukan dalam penelitian tersebut adalah, dengan memvariasikan putraran motor pada kompresor. Alasannya, karena energi terbesar yang dikonsumsi oleh AC adalah pada motor kompresor.
[newpage]
Untuk mengatur kecepatan motor, digunakan Inverter. Yang dapat memvariasikan putaran berdasarkan perubahan frekuensi, sedangkan tegangan dan arus motor tidak mengalami perubahan. Karena pada sistem inverter, frekuensi akan sebanding perubahannya terhadap putaran, tegangan, arus dan daya listrik. Dengan peralatan tersebut, putaran motor dapat berubah-ubah kondisi sesuai dengan keperluan. Inverter dipasaran telah banyak dijual, mulai dari kapasitas kecil sampai pada keperluan industri, dan untuk jenis satu atau tiga fasa.

Tidak disebutkan angka pasti pada referensi, berapa persen putaran motor diturunkan dari putaran nominal yang diizinkan. Tetapi, berdasarkan pengalaman praktisi dilapangan, menyebutkan angka 30 persen aman jika motor diturunkan dari putaran nominalnya. Selama penulis melakukan penelitian melihat fenomena yang terjadi, persentase putaran motor tersebut berkaitan dengan sistem pendinginan pada motor. Karena kebanyakan motor, sistem pendinginnya menggunakan fan yang dihubungkan langsung dengan motor. Akibat menurunnya putaran pada motor, maka putaran fan juga akan ikut berkurang, sehingga akan mengurangi sistem pendinginan, akibatnya motor akan cepat panas, dan ini tidak bagus. Kecuali, jika motor memang direncanakan untuk variable speed.

Dari hasil penelitian yang penulis lakukan, melihat fenomena temperatur yang dihasilkan terhadap perubahan putaran motor. Dengan memvariasikan putaran : 20, 25, 30, 35, 40, 45, dan 50 Hz akan diperoleh temperatur ruangan masing-masing adalah : 25.63 oC, 24.45 oC, 21.22 oC, 20.63 oC, 20.46 oC, 19.98 oC, dan 18.56 oC. Sedangkan energi yang dikonsumsi untuk variasi putaran tersebut sebesar : 2.06 kWh, 2.63 kWh, 3.20 kWh, 3.76 kWh, 4.33 kWh, 4.89 kWh, dan 5.46 kWh.
[newpage]
Merujuk pada uraian dan hasil penelitian diatas, tanpa menggunakan sistem pengaturanpun kita dapat melakukan upaya penghematan energi. Jika angka 30 persen putaran motor aman untuk diturunkan, maka kita dapat melakukan pengurangan putaran motor dari 45, 40, dan 35 Hz, dengan penghematan sebesar 10.36, 20.73 dan 31.09 persen. Pada sistem ini, kita masih memerlukan operator untuk mengatur perubahan motor tersebut. Jika kita perhatikan keuntungan perbulan dari penghematan ini, tidaklah rugi untuk menambah beberapa orang pegawai sebagai operator.

Misalnya pada musim hujan, walaupun system AC tetap dioperasikan, tidak maksimal putaran motor yang digunakan jika dibandingkan pada waktu musim panas, begitu juga, pada waktu pagi dan malam, tidaklah sedingin waktu pada siang hari, operatorlah yang mengatur putaran motor tersebut, yang tentunya telah lebih dulu mengetahui beberapa ketentuan tersebut diatas.

Semestinya pada Instruksi Presiden dan Peraturan Menteri tersebut, bukanlah temperatur 25 oC yang menjadi aturan, melainkan konsumsi energi standar bangunan yang lebih utama. Sehingga kedepan, setiap bangunan bertingkat memenuhi konsep bangunan hemat energi. Upaya lain adalah dengan melakukan Audit Energi setiap tahun. Pakar energi dari Premas Energy Singapore, mengatakan, salah satu cara yang paling mudah bagi para pengusaha untuk menekan pemakaian energi adalah dengan memanfaatkannya secara maksimal. Hal itu dikenal sebagai program manajemen energi dan audit energi. Diperlukan untuk mengidentifikasi potensi penghematan energi. Setiap pemborosan dan pengoperasian yang tidak efisien pada satu sistem ketenagalistrikan harus dapat diukur [Kompas, 03/10/2003].
[newpage]
Hal yang sama juga telah dilakukan negara-negara di ASEAN untuk melakukan gerakan hemat energi secara konsisten, dengan demikian secara individu maupun lembaga sudah memiliki komitmen untuk melakukan penghematan pada penggunaan listrik [Kompas, 03/10/3002]. Persaratan pemakaian energi minimum inipun telah menjadi keharusan pada Protokol Kyoto [Henry 2004].

Ir. Henry Nasution, MT (PhD candidate)
Saat ini : Mahasiswa S3 - Universiti Teknologi Malaysia
(Staff Pengajar Jurusan Teknik Mesin Universitas Bung Hatta)