Detail Artikel

Selasa, 11 Oktober 2005

Urgensi Protein Hewani untuk Kecerdasan SDM
Urgensi Protein Hewani untuk Kecerdasan SDM

Oleh : Dr. A. Rusfidra, S.Pt
(Pemerhati peternakan, akademisi UT Jakarta)

Merebaknya kasus malnutrisi beberapa waktu lalu amat menyakitkan kita. Kondisi ini merupakan cerminan rendahnya konsumsi kalori-protein pada tingkat keluarga. Namun sayangnya, ditengah usaha berbagai pihak mempromosikan peningkatan konsumsi protein hewani, negara ini kembali disibukkan oleh merebaknya wabah flu burung yang berdampak pada turunnya konsumsi daging dan telur karena adanya kehawatiran masyarakat akan terinfeksi flu burung bila memakan kedua produk perunggasan tersebut.

Karena itu, upaya kampanye makan daging ayam dan telur yang dilakukan oleh pejabat pemerintah beberapa waktu lalu merupakan langkah cerdas untuk memulihkan citra bahwa memakan daging ayam dan telur aman-aman saja, sepanjang kedua komoditi unggas diolah secara benar sebelum dimakan.

Konsumsi Protein Hewani

Bahan pangan merupakan kebutuhan pokok manusia untuk hidup sehat. Disamping pangan nabati manusia juga memerlukan pangan hewani (daging, susu dan telur) sebagai sumber protein untuk kecerdasan, memelihara stamina tubuh, mempercepat regenerasi sel dan menjaga sel darah merah (eritrosit) agar tidak mudah pecah.

Meskipun masyarakat menyadari pangan hewani sebagai kebutuhan primer namun hingga kini konsumsi protein hewani penduduk Indonesia sangat rendah. Pada tahun 2000, konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Malaysia (36,7 kg), Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg) (Poultry International, 2003). Konsumsi daging unggas penduduk Indonesia hanya 10 gram/kapita/hari, sedangkan Malaysia sudah 100 gram/kapita/hari.

Konsumsi telur penduduk Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia mencapai 14,4 kg, Thailand 9,9 kg dan Fhilipina 6,2 kg. Bila satu kilogram telur rata-rata terdiri atas 17 butir, maka konsumsi telur penduduk Indonesia adalah 46 butir/kapita/tahun atau 1/8 butir telur per hari. Padahal penduduk Malaysia setiap tahunnya memakan 245 butir telur atau 2/3 butir telur per hari. Konsumsi susu masyarakat Indonesia juga sangat rendah, yakni sekitar 7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai 20 kg/kapita/tahun. Konsumsi susu masyarakat AS mencapai 100 kg/kapita/tahun.
[newpage]
Konsumsi daging, telur dan susu yang rendah menyebabkan target konsumsi protein hewani sebesar 6 gram/kapita/hari masih jauh dari harapan. Padahal untuk meningkatkan kualitas hidup masyarakat, konsumsi protein hewani yang ideal adalah 26 gram/kapita/hari (Tuminga et. al. 1999). Analisis paling akhir oleh Prof. I.K Han, guru besar Ilmu Produksi Ternak Universitas Nasional Seoul, Korea Selatan, yang dimuat dalam Asian Australian Journal of Animal Science (1999) menyatakan adanya kaitan positif antara tingkat konsumsi protein hewani dengan umur harapan hidup (UHH) dan pendapatan perkapita. Semakin tinggi konsumsi protein hewani penduduk semakin tinggi umur harapan hidup dan pendapatan domestik brutto (PDB) negara tersebut.

Negara-negara berkembang seperti Korea, Brazil, China, Fhilipina dan Afrika Selatan memiliki konsumsi protein hewani 20-40 gram/kapita/hari, UHH penduduknya berkisar 65-75 tahun. Negara-negara maju seperti AS, Prancis, Jepang, Kanada dan Inggris konsumsi protein hewani masyarakatnya 50-80 gram/kapita/hari, UHH penduduknya 75-85 tahun. Sementara itu, negara-negara yang konsumsi protein hewani di bawah 10 gram/kapita/hari seperti Banglades, India dan Indonesia, UHH penduduknya hanya berkisar 55-65 tahun (Han, 1999).

Rendahnya konsumsi protein hewani berdampak pada tingkat kecerdasan dan kualitas hidup penduduk Indonesia. Negara Malaysia yang pada tahun 1970-an mendatangkan guru-guru dari Indonesia, sekarang jauh meninggalkan Indonesia, terutama dalam kualitas sumber daya manusia (SDM) sebagaimana ditunjukkan oleh peringkat Human Development Indeks (HDI) tahun 2004 yang dikeluarkan United Nation Development Program (UNDP). Indonesia berada pada peringkat ke-111, satu tingkat di atas Vietnam (112), namun jauh di bawah negara ASEAN lainnya. Singapura (peringkat 25), Malaysia (59), Thailand (76) dan Fhilipina (83).

Ironisnya konsumsi protein hewani yang rendah banyak terjadi pada anak usia bawah lima tahun (balita) sebagaimana ditunjukkan merebaknya kasus busung lapar dan malnutrisi di tanah air beberapa waktu lalu. Rendahnya asupan kalori-protein pada anak balita turut menyebabkan meningkatnya kasus gizi buruk (malnutrisi) dan rendahnya tingkat kecerdasan. Usia balita disebut juga periode “the golden age” (periode emas pertumbuhan) dimana sel-sel otak anak manusia sedang berkembang pesat. Pada fase ini otak membutuhkan suplai protein hewani yang cukup agar berkembang optimal dan tidak sampai menjadi tulalit, ---meminjam istilah Dr. Handrawan Nadesul (Kompas, 9/7/05).
Asupan kalori-protein yang rendah pada anak balita berpotensi menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performa mereka di sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa (Pinstrup-Andersen, 1993).
[newpage]
Monckeberg (1971) menunjukkan adanya hubungan tingkat konsumsi protein hewani pada anak usia pra-sekolah dengan kejadian defisiensi mental. Selain untuk kecerdasan, protein hewani dibutuhkan untuk daya tahan tubuh. Shiraki et al. (1972) membuktikan peranan protein hewani dalam mencegah terjadinya anemia pada orang yang menggunakan otot untuk bekerja keras. Gejala anemia tersebut dikenal dengan istilah “sport anemia”. Penyakit ini dapat dicegah dengan mengkonsumsi protein yang tinggi, dimana sebanyak 50% dari protein yang dikonsumsi harus berasal dari protein hewani.

Catatan Akhir

Mengingat pentingnya protein hewani asal ternak (daging, susu dan telur) bagi manusia di segala lapis usia, maka konsumsi produk ternak tersebut semestinya dipacu menuju tingkat konsumsi ideal. Protein hewani asal ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Karena itu, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia harus dipacu untuk mewujudkan SDM yang cerdas, kreatif, produktif dan sehat. Konsumen tidak perlu khawatir mengkonsumsi daging ayam dan telur, meskipun wabah flu burung belum berhasil diberantas dengan tuntas. Semoga.

Dr. A. Rusfidra, S. Pt
(Pemerhati peternakan, akademisi UT Jakarta, alumnus S3 IPB)