Kamis, 20 Oktober 2005
Quo Vadis Sapi Pesisir
Quo Vadis Sapi PesisirDr. A. Rusfidra, S. Pt
(Alumni S3 Ilmu Ternak IPB)
Sapi Pesisir merupakan merupakan sapi asli yang berkembang di kawasan pesisir Sumatera Barat. Saladin (1983) menduga sapi Pesisir sebagai sisa sapi asli yang pada mulanya berkembang di Kabupaten Pesisir Selatan. Namun saat ini populasi sapi pesisir juga ditemukan di Kab. Padang Pariaman, Kab. Pesisir Selatan dan Kab. Agam (Anwar, 2004). Pada tahun 2001 populasi sapi di Pesisir Selatan berjumlah 96.443 ekor (BPS Sumbar, 2001) dan sebagian besar merupakan sapi pesisir. Populasi sapi Pesisir diperkirakan sekitar 20% dari total sapi daging di Sumatera Barat yang berjumlah 425.338 ekor pada tahun 1999.
Sapi Pesisir pada umumnya dipelihara secara bebas (berkeliaran) dan masih sangat sedikit perhatian peternak dalam pemeliharaannya. Sapi Pesisir memainkan peranan penting sebagai sumber daging bagi masyarakat di kota Padang. Sebanyak 75% sapi yang dipotong di rumah potong hewan (RPH) kota Padang adalah sapi pesisir.
Selain itu, sapi pesisir merupakan ternak yang populer untuk kebutuhan hewan kurban pada hari raya Idul Adha dan sebagai salah satu bentuk investasi yang dapat diuangkan sewaktu keperluan mendesak.
Performans Sapi Pesisir
Sapi Pesisir memiliki bobot badan relatif kecil sehingga tergolong sapi mini (mini cattle). Sapi pesisir jantan dewasa (umur 4-6 tahun) memiliki bobot badan 186 kg, jauh lebih rendah dari bobot badan sapi bali (310 kg) dan sapi madura (248 kg). Dengan bobot badan yang kecil tersebut, sapi pesisir berpeluang dijadikan sebagai hewan kesayangan (fancy) bagi penggemar sapi mini. Penampilan bobot badan yang kecil tersebut merupakan salah satu penciri suatu bangsa sapi, sehingga dapat dikatakan bahwa sapi pesisir merupakan sapi khas Indonesia (terutama di Sumatera Barat) dan merupakan sumber daya genetik (plasma nutfah) nasional yang perlu dikembangkan dan dilestarikan.
Sapi Pesisir memiliki keragaman warna bulu yang tinggi. Hasil penelitian Anwar (2004) menemukan bahwa warna bulu memiliki pola tunggal yang dikelompokkan atas lima warna utama, yaitu merah bata (34,35%), kuning (25,51%), coklat (19,96%), hitam (10,91%) dan putih (9,26%). Sapi pesisir dikenal memiliki temperamen yang jinak sehingga lebih mudah dikendalikan dalam pemeliharaan.
Karakteristik sapi pesisir yang lain adalah memiliki tanduk pendek dan mengarah keluar seperti tanduk kambing, Sapi jantan memiliki kepala pendek, leher pendek dan besar, belakang leher lebar, ponok besar, kemudi pendek dan membulat. Sapi betina memiliki kepala agak panjang dan tipis, kemudi miring, pendek dan tipis, tanduk kecil dan mengarah keluar (Saladin, 1983).
Masyarakat Sumatera Barat menyebut sapi lokal pesisir dengan nama lokal, misalnya ada yang menyebut jawi ratuih atau bantiang ratuih, yang artinya sapi yang melahirkan banyak anak.
[newpage]
Meskipun tergolong sapi kecil, sapi pesisir memiliki persentase karkas cukup tinggi. Menurut Saladin (1983) persentase karkas sapi Pesisir adalah 50,6%, lebih tinggi dari persentase karkas sapi Ongole (48,8%), sapi Madura (47,2%), sapi PO (45%) dan kerbau (39,3%), namun sedikit lebih rendah dari persentase karkas sapi Bali (56,9%). Persentase karkas tersebut menunjukkan kemampuan daging sapi pesisir.
Angka tersebut menunjukan kemampuan sapi pesisir sebagai “pabrik” protein hewani karena mampu mengubah hijauan (rumput) menjadi daging yang dapat dimakan manusia. Oleh karena itu sudah waktunya pemerintah memberikan perhatian terhadap usaha pengembangan sapi-sapi lokal, termasuk sapi pesisir.
Peranan Ternak Sapi
Ternak sapi merupakan hewan ternak terpenting dari jenis hewan ternak yang dipelihara manusia sebagai sumber daging, susu dan tenaga kerja pengolah lahan. Selain itu, sapi juga berperan sebagai sumber pendapatan, tabungan hidup (bio investasi), aset kultural dan religius, sumber gas bio dan pupuk kandang.
Populasi ternak sapi di Indonesia pada tahun 2001 berjumlah sekitar 11,9 juta ekor, yang terdiri dari sapi asli (sapi Bali, sapi Madura, sapi Pesisir, sapi PO, sapi Aceh), dan sapi eksotik yang diimpor dari luar negeri (Simmental, Brahman). Jumlah sapi sebanyak itu belum mampu memenuhi kebutuhan pangan dalam negeri, sehingga harus diimpor sebanyak sebanyak 450 ribu sapi/tahun dari Australia. Importasi sapi sebanyak itu tentunya menguras devisa negara ditengah bangsa yang masih terpuruk secara ekonomi. Selayaknya perhatian difokuskan pada pengembangan sapi-sapi lokal yang potensial sebagai penghasil daging seperti sapi Bali, sapi Madura dan sapi Pesisir.
Bangsa sapi lokal yang kita miliki telah terbukti memiliki keunggulan beradaptasi dengan lingkungan tropis, memiliki sifat resistensi cukup baik terhadap penyakit daerah tropis, dan memiliki kemampuan beradaptasi pada kondisi ketersediaan pakan (hijauan) yang terbatas dan bergizi rendah. Lagipula sapi lokal tersebut berperan penting dalam sisitem usahatani di perdesaan dan telah dipelihara peternak dalam waktu yang lama.
Konsumsi Protein Hewani
Kebutuhan bahan pangan hewani semakin hari semakin meningkat. Hal itu seiring meningkatnya jumlah penduduk, tingkat pendapatan, kesadaran gizi dan kualitas hidup masyarakat. Jumlah penduduk Indonesia saat ini diperkirakan mencapai 220 juta jiwa, merupakan negara dengan jumlah penduduk terbesar keempat di dunia. Jumlah penduduk yang besar tersebut merupakan pangsa pasar yang luar biasa besar, karena kebutuhan bahan pangan asal hewan (daging, susu dan telur) merupakan kebutuhan primer yang harus dipenuhi. Protein hewani asal ternak sangat diperlukan untuk pertumbuhan, kecerdasan dan kesehatan tubuh manusia.
[newpage]
Sampai saat ini tingkat konsumsi protein hewani masyarakat Indonesia masih sangat rendah, sekitar 6 gram/kapita/hari. Sementara rata-rata konsumsi penduduk dunia mencapai 26 gram/kapita/tahun (Han, 1999). Bahkan jika dibandingkan dengan tingkat konsumsi protein hewani dibandingkan dengan tingkat konsumsi protein hewani penduduk Malaysia, Thailand dan Fhilipina, konsumsi protein hewani penduduk Indonesia tergolong rendah. Apalagi konsumsi protein hewani negara-negara industri maju, seperti Inggris, AS, Jepang dan Prancis berkisar 50-80 gram/kapita/hari.
Bila disigi lebih jauh, rendahnya konsumsi protein hewani terlihat pada rendahnya konsumsi daging, telur dan susu penduduk Indonesia. Sebagai contoh, konsumsi daging ayam penduduk Indonesia pada tahun 2000 hanya 3,5 kg/kapita/tahun, sedangkan penduduk Malaysia mencapai 36,7 kg/kapita/tahun, Thailand (13,5 kg), Fhilipina (7,6 kg), Vietnam (4,6 kg) dan Myanmar (4,2 kg).
Konsumsi telur unggas penduduk Indonesia juga rendah, yakni 2,7 kg/kapita/tahun, sedangkan Malaysia sudah mencapai angka 14,4 kg/kapita/tahun, Thailand (9,9 kg) dan Fhilipina (6,2 kg). Bila diasumsikan bahwa setiap satu kilogram telur terdiri dari 17 butir telur, maka masyarakat Indonesia baru memakan 45,9 butir telur setiap tahunnya, sedangkan penduduk Malaysia telah memakan 245 butir telur setiap tahunnya. Hal ini berarti, orang Indonesia baru memakan sebutir telur setiap 8 hari sekali, sedangkan orang Malaysia memakan 2 butir telur dalam waktu 3 hari.
[newpage]
Rendahnya konsumsi protein hewani asal ternak telah berdampak terhadap tingkat kualitas hidup dan tingkat kecerdasan masyarakat. Sebagaimana tergambar pada peringkat Indeks Pembangunan Manusia (HDI) tahun 2004, Indonesia berada pada peringkat ke-111 diantara 177 negara di dunia, hanya satu tingkat di atas Vietnam (112), sedangkan Singapura berada di peringkat 25, Malaysia (59), Thailand (76) dan Fhilipina (83). Rendahnya indeks HDI turut berdampak terhadap daya saing SDM negara Indonesia di dunia.
Pengembangan Sapi Pesisir
Negara Indonesia merupakan negara kepulauan dan memiliki panjang garis pantai 81.000 km. Kepulauan nusantara tersusun dari 17.506 buah pulau yang membentang disepanjang garis khatulistiwa. Dari sudut aspek perwilayahan pembangunan, kawasan pesisir merupakan kawasan pembangunan yang penting karena tingginya masyarakat bermukim di kawasan ini. Bahkan kota-kota di sepanjang pesisir berkembang lebih maju dibandingkan dengan kawasan pedalaman. Dahuri (2004) memperkirakan sekitar 60% masyarakat Indonesia bermukim di kawasan pesisir. Namun ironisnya sebagian besar masyarakat pesisir (nelayan) memiliki taraf hidup yang rendah dan rawan pangan, bahkan tidak jarang kawasan pesisir menjadi kantong kemiskinan. Konsumsi pangan hewani masyarakat pesisir juga rendah. Oleh karena itu tidaklah heran bila kasus malnutrisi seperti busung lapar sering terjadi di kawasan pesisir.
Dengan adanya sifat-sifat unggul yang dimiliki sapi pesisir dapat diharapkan membuka cakrawala baru bagi dunia peternakan nasional. Ternyata sapi pesisir layak dikembangkan dan diperhatikan. Bobot badan yang kecil sangat efisien dalam pemanfaatan ruang, daya adaptasi yang baik terhadap lingkungan tropis dan berperan besar bagi peternak di kawasan pesisir Sumatera Barat. Kemampuan beradaptasi sapi pesisir dapat membuka peluang bahwa sapi ini berpeluang dikembangkan di kawasan pesisir nusantara dan pulau-pulau kecil yang tidak berpenghuni.
Sebagai sapi asli di daerah Sumatera Barat, sudah saatnya Pemda Sumbar menjadikan sapi Pesisir sebagai tumpuan utama ternak penghasil daging. Saatnya pula riset-riset sapi pesisir dikembangkan dan digarap secara serius. Bila itu bisa dilakukan maka dapat diharapkan populasi sapi pesisir dapat terjaga dan peranannya sebagai sumber pendapatan, sumber bahan pangan hewani dan lapangan kerja bagi peternak di daerah pesisir dapat ditingkatkan. Quo vadis sapi Pesisir !Semoga.
Dr. A. Rusfidra, S.Pt.
(Analis Peternakan, Alumni S3 IPB)