Detail Artikel

Sabtu, 11 Februari 2006

Guru Atau Dosen
“Dosen masih enggan melakukan penelitian”, begitulah judul berita yang pernah di muat harian ini. Pernyataan tersebut disampaikan Rektor Universitas Bung Hatta, Prof.Dr.Yunazar Manjang dalam pembukaan Seminar dan Lokakarya (Semiloka) “Metodologi Penelitian dan Hasil Penelitian Mutakhir Bidang Linguistik” beberapa waktu lalu di Universitas Bung Hatta. Menurutnya lagi, porsi mengajar dengan penelitian yang dilakukan seorang dosen harus seimbang. Perkembangan universitas, di samping kegiatan proses belajar mengajar, juga mesti diimbangi penelitian dosen. Hasil penelitian yang bagus merupakan salah satu bentuk pengabdian kepada masyarakat dan kebanggaan institusi. Pernyataan tersebut berulang-ulang dan berkali-kali kembali beliau sampaikan baik dalam sambutan pembukaan sebuah seminar maupun dalam rapat-rapat pimpinan dan dosen-dosen di lingkungan Universitas Bung Hatta.

Senada dengan pernyataan Rektor Universitas Bung Hatta tersebut, A. Chaedar Alwasilah, pakar pendidikan dari Universitas Pendidikan Indonesia yang dimuat di harian Pikiran Rakyat ( 5/1-06). Menurutnya profesi Guru dan Dosen keduanya adalah sensei dan dituntut bekerja profesional pada tataran yang berbeda. Profesionalime guru terletak pada intensitas pedagogi yakni keterlibatan dalam membelajarkan siswa. Sementara itu profesionalisme dosen terletak pada intensitas inkuiri (inquiry) dan andragogi yakni kegiatan penelitian dan keilmuan dan interaksinya dengan pembelajar dewasa. Variabel pembedanya adalah penelitian. Penelitian adalah media pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan pengajaran di sekolah pada intinya adalah pengembangan kepribadian siswa.
Secara universal, ada kekhasan yang melandasi profesionalisme dosen, yaitu penelitian. Lewat penelitian dosen mencari kebenaran ilmiah secara otonom terbebas dari pengaruh luar. Kebenaran relatif itu merupakan prestasi dirinya untuk menuai rekognisi dan penghargaan akademik. Sekali lagi Chaedar menegaskan bahwa, tanpa penelitian seorang dosen akan kehilangan jati dirinya.

Dari pendapat para pakar tersebut, sepertinya di berbagai perguruan tinggi lebih banyak guru dari pada dosen. Sepertinya dosen-dosen tersebut juga salah menerjemahkan Tridharma Perguruan Tinggi, yaitu : pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat

Tidak heran, jika data di Direktorat Pendidikan Tinggi (Dikti) menunjukkan bahwa hanya 0,0012% dari jumlah total dosen di negara ini, yang mampu menulis di sejumlah jurnal internasional. Jumlahnya kurang dari 1%, sungguh sangat memprihatinkan. Sebenarnya kewajiban dosen untuk menulis itu sudah tersirat dalam Tridharma Perguruan Tinggu, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian ke masyarakat. Ketiga fungsi tersebut tidak boleh dilihat sebagai tugas/fungsi yang terpisah.

Ketiganya merupakan satu kesatuan, yang satu menunjang fungsi yang lainnya. Ketiga fungsi tersebut harus dikembangkan secara simultan. Artinya, dosen harus terus meningkatkan pendidikannya, mengabdikan ilmunya kepada masyarakat, dan aktif melakukan penelitian untuk memperkaya khasanah kegiatan ilmiah di negara ini.
Tentunya semua tugas ini terwujud dengan baik jika dosen tersebut menuangkan ide-idenya dalam bentuk tulisan yang dipublikasikan di dalam maupun di luar negeri, setidaknya di koran-koran lokal yang terbit setiap hari di daerah. Bagaimanapun, Tridharma Perguruan Tinggi menerapkan fungsi perguruan tinggi yang universal, bukan hanya diterapkan di negara ini. PT di luar negeri pun mengimplementasikan tridharma PT. Bedanya, di luar negeri, fungsi tridharma tidak disebutkan secara eksplisit. Meski tugas-tugas PT dicantumkan secara eksplisit di dalam Tridharma PT, pada kenyataanya, tugas tersebut tidak dijalankan dengan baik. Setidaknya, ketidakmampuan dosen kita menulis di koran lokal masih sangat minim sekali, apalagi di jurnal ilmiah internasional
**
BERKAITAN dengan rendahnya kemampuan dosen kita dalam menulis, ada beberapa pendapat dan sejumlah faktor yang melatarbelakanginya, di antaranya berkaitan dengan masalah kualitas, kualifikasi, dan penghargaan. Umumnya para dosen kesulitan dalam menghasilkan tulisan yang berkualitas karena selain tidak memahami prosedur menulis dengan baik, pemahaman mereka mengenai ilmu yang diminatinya itu pun tidak mendalam. Tidak heran, apabila mereka gagal total dalam menulis karena kualifikasi suatu tulisan ilmiah pun tidak bisa mereka kuasai dengan baik..

Hal ini juga menjadi salah satu penyebab mengapa ada sejumlah dosen malas menulis, baik di koran lokal maupun di jurnal ilmiah, meski sebenarnya dosen yang bersangkutan mampu untuk menulis. Akibat tidak mampu mengimplementaskan sistem penulisan karya ilmiah dengan baik, para dosen kita pun jadi mandeg dalam menulis. Padahal, jika para dosen telah paham benar dengan konten dan metodologi ilmu yang dipelajarinya, maka jumlah jurnal yang bisa dipublikasikan di negara ini pun akan semakin meningkat.
Di Universitas Bung Hatta contohnya, beberapa dosen telah memulai mempublikasikan karyanya di koran-koran lokal, walapun tidak menyangkut bidang ilmunya, tetapi harus kita hargai, karena hasilnya langsung dibaca banyak orang dan juga mendapatkan sejumlah honor, bahkan pihak Universitas Bung Hatta sendiri memberikan insentif bagi siapa saja yang tulisannya dimuat di koran-koran lokal ataupun nasional.

Karena itu, masalah minimya publikasi tulisan para dosen kita, tidak bisa dilihat dari satu faktor saja, yaitu ketidakmampuan dosen dalam menulis. Tetapi idealnya, setiap perguruan tinggi atau universitas, kini sudah seharusnya banyak berorientasi sebagai universitas riset. Sehingga, dosen-dosennya, bisa banyak menemukan atau melakukan banyak penelitian yang aplikatif.

Meski begitu, tidak berarti para dosen mandul atau tak mampu melakukan penelitian dan menulis. Tapi, semata-mata adalah karena alasan “klasik” yaitu keterbatasan dana penelitian. Kalaupun dilakukan, penelitian biasanya menggunakan uang sendiri. Itu pun untuk mengejar nilai untuk kenaikan pangkat dan lainnya. Akibatnya adalah dosen lebih cenderung banyak mengajar daripada melakukan penelitian dan pengabdian kepada masyarakat. Kalau ternyata lebih banyak mengajar, guru atau dosen ????…………….