Detail Artikel

Selasa, 03 Oktober 2006

Dampak Hutang Luar Negeri dan Variabel Makro Ekonomi Lainnya Terhadap Perekonomian Indonesia
Selama kurun waktu 1967-1988 komposisi hutang luar negeri Indonesia mengalami beberapa perubahan mendasar. Sumber-sumber hutang pemerintah telah bergeser dari ketergantungan yang sangat besar terhadap hutang dari pemerintah negara asing (official loans) ke arah pinjaman dari lembaga-lembaga keuangan swasta yang mengenakan syarat-sayarat pinjaman komersil dan cicilan pembayaran hutang luar negeri telah menjadi beban yang semakin berat bagi perekonomian Indonesia semenjak tahun 1988. Meskipun Indonesia belum pernah mengalami kesulitan mencicil hutang, dua kejutan eksternal pada awal delapan puluhan menimbulkan antisipasi bahwa Indonesia dapat juga mengalami kesulitan itu di masa depan. Kenaikan tingkat bunga uang dipasar internasional dan resesi dunia yang menekan turun harga minyak pada tahun 1982 diperkirakan mempengaruhi kemampuan Indonesia untuk mencicil hutang dalam dua atau tiga tahun setelahnya.

Kemudian dilanjutkan dengan krisis moneter melanda Thailand, pada tahun 1997 dimana pemerintah Indonesia juga sejumlah pakar ekonomi berkeyakinan bahwa krisis moneter Thailand tidak akan berpengaruh terhadap ekonomi Indonesia, karena fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat. Keyakinan bahwa fundamental ekonomi Indonesia cukup kuat ini dibangun atas dasar indikator-indikator ekonomi makro. Argumentasi yang disungguhkan pemerintah dan para pakar tersebut adalah tingkat pertumbuhan yang relatif cukup tinggi dan laju inflasi yang terkendali, dibawah dua digit. Akan tetapi selang waktu yang tidak terlalu lama setelah krisis moneter Thailand, nilai tukar rupiah terdepresiasi terhadap dolar Amerika Serikat, kemudian menjalar dengan cepat menjadi krisis kepercayaan yang selanjutnya menimbulkan krisis sosial yang kemudian mempercepat terjadinya krisis politik yang sebelumnya memang sudah panas. Pada gelombang ke dua krisis politik memperdalam dan mempertebal krisis moneter, kepercayaan dan krisis sosial sehingga timbullah krisis ekonomi yang makin lama makin meluas dan mendalam. Kemudian krisis ekonomi ini memperkuat krisis yang lain dan begitu seterusnya sehingga terjadilah vicious circle, (Basalim et Al.2000).

Kini ketika beberapa negara lain yang juga terkena krisis ekonomi termasuk Thailand, sudah bangkit kembali perekomiannya, Indonesia masih juga terpuruk-puruk dalam kondisi ketidakpastian mengenai masa depan pembangunan ekonominya. Menyikapi secara kritis sikap optimis pemerintah dan sejumlah pakar maka setiadaknya menimbulkan beberapa pertanyaan mendasar yaitu berkenaan dengan landasan teoritis yang dipergunakan untuk mensikapi data-data makroekonomi Indonesia, memadaikah pendekatan tersebut yang selama ini dipakai pemerintah dan para pakar untuk menjelaskan kait-mengkait berbagai variabel makroekonomi Indonesia?. Kemudian apabila pendekatan teoritis yang dikemukakan memadai oleh pemerintah dan para pakar yang selama ini dan diyakini akan tetapi sudah benarkah pembacaan data yang dilakukan pemerintah dan para pakar tersebut dalam mengambil kesimpulan empiris yang mendasari sikap optimis terhadap fundamental ekonomi Indonesia?.

Untuk menyikapi beberapa pertanyaan diatas tentu sangat perlu mengkaji dari hasil hasil penelitian lebih lanjut keterkaitan hutang luar negeri terhadap variabel makroekonomi yaitu investasi asing yang berdampak terhadap pendapatan nasional Indonesia. Dari hasil penelitian Arif dan Sasono (1984) dalam periode 1970-1977 bahwa hutang luar negeri bersama dengan investasi asing langsung berpengaruh negatif dan hutang luar negeri ternyata juga terus menerus mengalami penurunan kemampuan dalam membiayai impor barang dan jasa. Kemampuan impor ini yang diukur dengan membandingkan nilai hutang luar negeri bersih dengan nilai impor barang dan jasa telah turun sebesar 24% untuk priode 1970/1971 den menjadi 7% tahun 1978/1979. Akibatnya Indonesia terpaksa harus melakukan pinjaman baru untuk membiayai surplus impor sehingga masuk ke dalam perangkap hutang. Dengan menggunakan metodologi yang dikembangkan Dornbusch (1985) dan Click (1986) sebab-sebab kenaikan stok jumlah hutang dan kewajiban mencicilnya yaitu dari aspek domestik dan aspek eksternal serta faktor perubahan nilai tukar mata uang dunia. Aspek domestik seperti defisit anggaran pemerintah yang merupakan kelebihan pengeluaran pembangunan (yang merupakan investasi) atas tabungan pemerintah dan peranan hutang luar negeri dalam mencukupi tabungan pemerintah untuk membiayai investasi di dalam negeri dilengkapi pula oleh peranan sumber-sumber dana dari swasta asing dalam menutupi kekurangan tabungan swasta. Sedangkan dari faktor eksternal yang menyebabkan kenaikan hutang luar negeri adalah kenaikan stok hutang luar negeri digunakan untuk membiayai bagian defisit neraca berjalan yang tidak dibiayai oleh sumber-sumber lain seperti arus modal masuk jangka panjang. Pinjaman luar negeri dipakai juga untuk menumpuk cadangan devisa atau membiayai pelarian modal keluar.

Studi lain Arief dan Sasono (1987) berkaitan dengan hutang luar negeri dengan investasi asing menemukan bahwa koefisien regresi yang negatif meskipun secara statistik tidak signifikan. Namun jelas menolak hipotesis ini yang menyatakan hutang luar negeri dan investasi asing langsung mendorong pertumbuhan ekonomi sehingga adanya growth promoting effect tetapi juga terdapat proses growth defeating. Sedangkan penelitian Kuncoro (1988) meneliti tentang dampak arus modal asing terhadap pertumbuhan ekonomi dan tabungan domestik selama tahun 1969-1984. Hasil temuannya menyimpulkan bahwa bantuan luar negeri membawa dampak langsung dan dampak total yang negatif terhadap pertumbuhan ekonomi dan dampak positif terhadap tabungan dalam negeri. Hasen dan Rand (2004) memperlihatkan bahwa FDI memiliki pengaruh terhadap GDP baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang sedangkan GDP hanya memperlihatkan pengaruh jangka pendek terhadap FDI. Sementara penelitian Chowdhury dan Mavrotas (2003) untuk kasus Tahiland dan Malaysia dengan analisis Todar-Yamamoto dalam kurun waktu 1969-2000 menemukan bahwa terhadap hubungan kausalitas dua arah antara FDI dengan GDP.

Dari hasil pembahasan diatas dapat disimpulkan bahwa kenaikan hutang luar negeri Indonesia dapat disebabkan oleh tiga hal. Pertama defisit neraca berjalan disebabkan defisit neraca jasa yang terlalu besar yang tidak dibiayai dengan arus modal masuk yang berjangka panjang. Dalam hal ini diasumsikan bahawa defisit neraca berjalan dibiayai terutama dengan arus modal berjangka panjang yang tidak berbentuk hutang kemudian sisanya baru dengan pinjaman luar negeri, kedua penggunaan pinjaman luar negeri untuk menambah cadangan devisa yang dimiliki baik oleh otoritas moneter maupun bank-bank umum dan ketiga pelarian modal swasta yang mencakup seluruh kehilangan devisa dari sistem moneter.***