Kamis, 07 Desember 2006
Urgensi Peraturan Daerah Dalam Konteks Otonomi Daerah: Sebuah Pengantar
I. Pendahaluan.Ketika kita membicarakan pengelolaan wilayah pesisir, maka pada saat yang sama satu hal yang menjadi persoalan adalah berkenaan dengan aspek hukum yang memuat perihal kebijakan, system dan dengan cara seperti apa wilayah pesisir itu dikelola dan dimanfaatkan. Bahkan RUU tentang Wilayah Pesisir belum kunjung disahkan menjadi UU, sehingga menjadi hambatan tersendiri dalam pengelolaan wilayah pesisir dan melahirkan keragu-raguan daerah dalam mengatur pengelolaan wilayah pesisir .
Belum tuntasnya RUU Pengelolaan WIlayah Pesisir, menambah permasalahan baru dalam pengelolaan wilayah pesisir. Meski dilain pihak, RUU Pengelolaan wilayah pesisir mempunyai beberapa sasaran utama sebagaimana dijelaskan oleh Direktur Jenderal Pesisir dan Pulau-pulau Kecil Departemen Kelautan dan Perikanan (DKP) Widi Agoes Pratikto (Kompas, Senin, 12 Agustus 2002),. yaitu terlindunginya sumber daya laut, pengelolaan pesisir yang lebih baik, kesempatan pemberdayaan masyarakat, keseimbangan wewenang pusat, provinsi, dan daerah, serta adanya kepastian hukum bagi para pelaku kegiatan di wilayah pesisir. Bila demikian halnya, apa yang harus diperbuat daerah selama RUU Pengelolaan Wilayah Pesisir tersebut belum menjadi undang-undang ? Apakah Pengelolaan Wilayah Pesisir yang telah ditetapkan menjadi kewenangan daerah akan diupayakan dengan setenga hati oleh ?
Tak dapat disangkal, bahwa Wilayah pesisir merupakan kawasan strategis di Indonesia. Dengan berbagai keunggulan komparatif dan kompetitif yang dimiliki wilayah pesisir seharusnya berpotensi menjadi sumber penguatan dan prime mover otonomi daerah. Bahkan secara historis menunjukan bahwa wilayah pesisir ini telah berfungsi sebagai pusat kegiatan masyarakat karena berbagai keunggulan fisik dan geografis yang dimilikinya.
[newpage]
Fakta-fakta wilayah pesisir beserta sumberdaya alamnya memiliki makna strategis bagi pembangunan ekonomi Indonesia, telah dikemukakan banyak ahli. Fakta-fakta tersebut antara lain,
o Secara sosial, wilayah pesisir dihuni tidak kurang dari 140 juta jiwa atau 60% dari penduduk Indonesia yang bertempat tinggal dalam radius 50 km dari garis pantai..
o Secara administratif kurang lebih 42 Kota dan 181 Kabupaten berada di pesisir , dimana dengan adanya otonomi daerah masing-masing daerah otonom tersebut memeliki kewenangan yang lebih luas dalam pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir
o Secara fisik, di Indonesia terdapat 47 kota pantai sebagai pusat pelayanan aktivitas sosial-ekonomi, dimana didalamnya terkandung berbagai asset sosial (Social Overhead Capital) dan ekonomi yang memiliki nilai ekonomi dan finansial yang sangat besar.
o Secara ekonomi, hasil sumberdaya pesisir telah memberikan kontribusi terhadap pembentukan PDB nasional sebesar 24 % pada tahun 1989. Selain itu, pada wilayah ini juga terdapat berbagai sumber daya masa depan (future resources) dengan memperhatikan berbagai potensinya yang pada saat ini belum dikembangkan secara optimal, yakni (i) potensi perikanan yang saat ini baru sekitar 58,5% dari potensi lestarinya yang termanfaatkan (ii) Besaran nilai investasi baik PMA dan PMDN yang masuk, pada bidang kelautan dan perikanan selama 30 tahun tidak lebih dari 2% dari total investasi di Indonesia.
o Selanjutnya, wilayah pesisir juga kaya akan beberapa sumber daya pesisir dan lautan yang potensial dikembangkan lebih lanjut meliputi (a) pertambangan dengan diketahuinya 60 cekungan minyak, (b) perikanan dengan potensi 6,7 juta ton/tahun yang tersebar pada 9 dari 17 titik penangkapan ikan dunia; (c) pariwisata bahari yang diakui dunia dengan keberadaan 21 spot potensial, dan (d) keanekaragaman hayati yang sangat tinggi (natural biodiversity) sebagai daya tarik bagi pengembangan kegiatan ââ¬Åecotourismââ¬Â
o Secara biofisik, wilayah pesisir di Indonesia merupakan pusat biodiversity laut tropis dunia karena hampir 30 % hutan bakau dan terumbu karang dunia terdapat di Indonesia,
o Secara politik dan hankam, wilayah pesisir merupakan kawasan perbatasan antar-negara maupun antar-daerah yang sensitif dan memiliki implikasi terhadap pertahanan dan keamanan Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI).
Potensi wilayah pesisir sebagaimana digambarkan di atas, memang menjanjikan, namun faktanya selama puluhan tahun kebijakan pengelolaan wilayah pesisir belum memberikan kontribusi yang memadai dan dilakukan dengan pola sentralistik dan cenderung ekploratif, sehingga menimbulkan berbagai ketidak adilan ditengah masyarakat. Disisi lain sumber daya wilayah pesisisr belum menjadi prime mover otonomi daerah.
Kebijakan pengelolaan wilayah pesisir yang selama ini sentralitik dan sejak beberapa tahun belakangan melalui UU No.22 Tahun 1999 bergeser kedesentralistik, pada satu sisi merupakan energi bagi otonomi daerah, disisi lain adalah beban dan menjadi bomerang bagi daerah ketika pengelolaan wilayah pesisir diserahkan kepada daerah gagal.
Ketika sebagian kewenangan pengelolaan wilayah pesisir dengan sumber daya yang dimiliknya digeser ke daerah, maka instrument pertama yang diperlukan daerah adalah pembentukan peraturan daerah (Perda). Mengapa ? Pertanyaan ini akan menjadi salah satu pemicu dari tulisan ini dalam mengkaji urgensi Perda pengelolaan Wilayah Pesisir dalam konteks otonomi daerah.
II. Wilayah Pesisir dan Otonomi Daerah
Desentralisasi (otonomi) tidak saja dipandang sebagai penolakan terhadap pemerintahaan yang sentralistik tetapi lebih dari itu, susunan organisasi yang bercorak desentralistik mempergunakan desentralisasi sebagai dasar susunan organisasi dan dapat di jumpai baik pada negara yang berbentuk kesatuan maupun pada negara federal. Desentralisasi pada negara kesatuan, berwujud dalam bentuk satuan-satuan permerintah lebih rendah (teritorial atau fungsional ) yang berhak mengatur dan mengurus sendiri sebagian urusan pemerintah sebagai urusan rumah tangganya (Bagir Manan;1990). Desentralisasi dalam negara kesatuan juga sebagai perwujudan dari azas demokrasi di dalam permerintahan negara, dimana diberikan kesempatan kepada rakyat untuk ikut serta menanggung dan memikul tanggung jawab yang dilakukan dengan memakai saluran-saluran tertentu,
Pada masyarakat majemuk upaya mewujudkan keadilan dan kesejahteraan sosial harus memperhatikan corak-corak susunan setempat ( yang bersifat lokal ), perbedaan sistim budaya dan kepercayaan dan sebagainya. Perhatian terhadap perbedaan- perbedaan pelayanan, dan kekuasaan tersebut selanjutnya mengharuskan adanya perbedaan - perbedaan pelayanan, dan cara penyelenggaraan pemerintahan. Tuntan semacam ini hanya mungkin terlaksana dalam suatu pemerintahan desentralistik.
Dengan demikian, tuntutan akan desentralisasi dapat dikatakan beragam, dan tidak sama masing-masing negara. Dan adalah tepat apa yang dikatakan B.C. Smith, bahwa perlunya suatu bentuk desentralisasi itu adalah universal. Dan adalah sulit untuk menentukan mana yang lebih dominan antara sisi politik atau sebagai pemenuhan atas kebutuhan pelayanan terhadap warga negara dari daerah-daerah yang berbeda-beda kebutuhan dan sifat geografis daerahnya. Dengan desentralisasi (otonomi) lebih mudah untuk mengetahui kebutuhan masyarakat setempat ( Daerah ) yang beragam ( majemuk ).
Memahami kebutuhan akan otonomi daerah yang demikian, maka setidaknya mendekatkan kita kepada masalah urgensi Perda pengelolaan wilayah pesisir dalam hubungannya dengan otonomi daerah. Dalam kaitannya ini, dengan dimiliknya kewenangan untuk mengelola wilayah pesisir diwilayahnya masing-masing, maka kewenangan yang diberikan kepada daerah tersebut tidak boleh terlepas dari tujuan utamanya, yakni kesejahteraan daerah dan masyarakat yang ada di dalamnya.
[newpage]
Terlepas dari potensi permasalahan dan kelemahan yang ada pada konsepsi pendesentralisasian pengelolaan wilayah pesisir kepada daerah,, secara teori dan empiris keberhasilan konsep ini pun bukan suatu impian. Salah satu akselerator munculnya konsep otonomi (desentralisasi), khususnya di bidang pengelolaan wilayah pesisir, berjalan seiring dengan pengelolaan sumber daya kelautan yakni adalah ketika para pemikir teori pembangunan mengemukakan gagalnya pendekatan centralized development plan yang banyak dipraktekkan pada era 1960 atau 1970-an.
Wiarda (1983) misalnya sebagaimana dikutip Luky Adrianto (MEDIA INDONESIA, 07/08/01), yang salah satu kritiknya bahwa the role of traditional institutions has been ignored, or worse, derided. Dengan kata lain, pendekatan pembangunan termasuk dalam konteks SDK, seringkali meniadakan keberadaan organisasi lokal. Meningkatnya perhatian terhadap berbagai variabel lokal menyebabkan pendekatan pembangunan dan pengelolaan beralih dari sentralisasi ke desentralisasi yang salah satu turunannya adalah konsep otonomi pengelolaan SDK. Dalam konteks ini pula, kemudian konsep CBM (community based management) dan CM (Co-Management) muncul sebagai policy bodies bagi semangat `kebijakan dari bawah` (bottom-up policy) sejak tahun 1980-an khususnya yang berkaitan dengan pengelolaan sumber daya alam (Neiland, et.al, 1996). Secara empiris, tren menuju otonomisasi pengelolaan SDK ini pun di beberapa negara sudah teruji dengan baik. Contoh bagus dalam hal ini adalah Jepang. Dengan panjang pantai kurang lebih 34.590 km dan 6,200 pulau besar kecil, Jepang menerapkan pendekatan otonomi melalui mekanisme coastal fishery right-nya yang terkenal itu. Dalam konteks ini, pemerintah pusat hanya memberikan basic guidelines dan kemudian kebijakan lapangan diserahkan kepada provinsi (ken) atau kota (machi; shi; tou) melalui FCA (fishebry cooperative assocation).
Dengan demikian, terdapat mozaik pengelolaan yang bersifat site-specific menurut kondisi lokasi di wilayah pengelolaan masing-masing. Dalam amendemen UU Perikanannya, pemerintah Jepang kembali meningkatkan fungsi pelimpahan wewenang ke daerah dalam hal pengelolaan sumber daya perikanan. Contoh lain adalah UU Perikanan Magnusonnya Amerika Serikat (AS) yang meletakkan RFMC (Regional Fishery Managment Council) sebagai ujung tombak pengelolaan perikanan di AS. Turunan dari kebijakan ini misalnya adalah konsep CDQ (Community Development Quota) yang sukses diterapkan di SDK Bering, Alaska.
Tampaknya Indonesia juga memilih visi baru dalam pengelolaan wilayah pesisir dari yang selama ini sentralistik ke desentralistik dan secara factual pertama kali melalui UU No.22 Tahun 1999. Kebijakan baru itu ternyata tidak berjalan sebagaimana yang diharapkan. Selain sebagai akibat dari system pemerintahan yang cenderung sentralistik selama puluhan tahun, otonomi daerah pasca lahirnya UU No.22 Tahun 1999 masih sering dipahami banyak kalangan, dalam mengurus dan mengatur rumah tangganya sendiri masih menunggu kebijakan-kebijakan dari pusat. Sekalipun undang-undang telah memberikan kewenangan kepada daerah untuk mengatur dan mengurus urusan tertentu, termasuk kewenangan dalam mengelola wilayah pesisir, namun kewenangan tersebut belum dapat dioptimalkan bagi penguatan otonomi daerah. Ini setidaknya ditunjukkan masih banyak daerah belum memiliki Peraturan Daerah (Perda) Pengelolaan Wilayah Pesisir, misalnya propinsi Sumatera Barat yang sampai hari ini masih dalam proses., sehingga pemerintah daerah Kabupaten/Kota dihdapkan pada permasalahan yang rumit ketika berinisiatif membentuk Perda Pengelolaan wilayah peisisr di wilayahnya.
Di lain daerah seperti di Sulawesi sudah memiliki Perda Wilayah Pesisir, namun suatu saat Perda tersebut akan dihadapkan pada perubahan mana kala RUU Pengelolaan WIlayah Pesisir disahkan menjadi UU.
Kenyataan sebagaimana dikemukakan di atas, semestinya menjadi prioritas pemerintah untuk penuntasannya. Ini tentu saja jika pemerintah benar-benar ingin menjadikan potensi wilayah pesisir sebagai salah satu penggerak otonomi daerah dalam rangka mensejahterakan daerah dan masyarakatnya .
III. Eksistensi Peraturan Daerah
Otonomi daerah seharusnya tidak diartikulasi sebagai a final destination (tujuan akhir), tetapi lebih sebagai mechanism (mekanisme) dalam menciptakan demokratisasi penyelenggaraan pemerintahan. Mawhood, 1987, misalnya secara tegas mendefinisikan desentralisasi sebagai devolusi kekuasaan dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah, the devolution of power from central to local government. Oleh karenanya dapat dimengerti, bila Mawhood kemudian merumuskan tujuan utama dari kebijaksanaan desentralisasi sebagai upaya untuk mewujudkan political equality, local accountability, dan local responsiveness. Di antara prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai tujuan tersebut adalah pemerintahan daerah harus memiliki teritorial kekuasaan yang jelas (legal territorial of power); memiliki pendapatan daerah sendiri (local own income); memiliki badan perwakilan (local representative body) yang mampu mengontrol eksekutif daerah.
Dalam konteksnya dengan pandangan Mawhood, maka sejak diundangkannya UU No.22 Tahun 1999 kewenangan pengelolaan wilayah laut, termasuk kedalamnya wilayah pesisir sudah menjadi kewenangan daerah. Untuk mengimplementasikan kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir itu, instrument pertama yang harus ada adalah Perda. Ini berarti eksistensi Perda pengelolaan wilayah pesisir menjadi sangat urgen dalam pengelolaan wilayah pesisir dalam upaya mewujudkan tujuan otonomi daerah. Karena itu Perda Wilayah pesisir maka pembentukan suatu Perda Pengelolaan Wilayah Pesisir tidak dapat dilepaskan dari kedudukan dan fungsinya.
Berdasarkan UU No 22 Tahun 1999 kedudukan dan fungsi Perda adalah dalam rangka penyelenggaraan Otonomi Daerah dan penjabaran lebih lanjut dari peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi, sedangkan berdasarkan UU No.32 Tahun 2004, maka pembentukan Perda adalah untuk :
1. Perda dibentuk dalam rangka penyelenggaraan otonomi daerah provinsi/kabupaten/kota dan tugas pembantuan.
2. Perda dibentuk merupakan penjabaran lebih lanjut dari perundang-undangan yang lebih tinggi dengan memperhatikan cirri khas masing-masing daerah.
3. Perda yang dibentuk dilarang bertentang dengan kepentingan umum dan/atau peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Berkaitan dengan tujuan dan fungsi pembentukan Perda, UU No.32 Tahun 2004 memberikan beberapa asas dalam pembentukan Perda. Asas-asas ini tidak kita temui sebelumnya dalam UU No.22 Tahun 1999. Asas-asas tersebut antara lain; (1) Kejelasan tujuan; (2) Kelembagaan atau organ pembentuk yang tepat; (3) Kesesuai antara jenis dan materi muatan; (4) Dapat dilaksanakan; (5) Kedayagunaan dam kehasilgunaan; (6) Kejelasan rumusan, dan; (7) Keterbukaan.
Sementara itu materi muatan Perda menurut UU No.32 Tahun 2004 mengandung asas;
- Pengayoman;
- Kemanusian;
- Kebangsaan;
- Kekeluargaan;
- Kenusantaraan;
- Bhineka tunggal ika;
- Keadilan;
- Kesamaan kedudukan dalam hukum dan pemerintahan;
- Ketertiban dan kepastian hukum; dan atau
- Keseimbangan, keserasian dan keselarasan.
Apakah suatu Perda yang dalam pembentukannnya dan materi muatannya telah memenuhi asas-asas sebagaimana dikemukakan di atas, dapat dipandang sebagai Perda yang baik ? Jika kita pahami asas-asas tersebut, maka tidak semua asas-asas dimaksud akan menghasilkan Perda yang baik, sebaliknya justeru akan menghasil Perda yang kurang baik, terutama berkaitan dengan asas materi muatan. Kesan kita, pengimplementasian asas materi muatan bukanlah pekerjaan mudah dan cenderung protektif.
Mengingat demikian pentingnya kedudukan Perda, termasuk Perda Pengeloaan Wilayah Pesisir, maka baik atau tidaknya, berkualitas atau tidaknya serta daya guna Perda dimaksud, ditentukan oleh cara-cara (teknik) dan proses perancangannya. Tanpa pengetahuan yang cukup mengenai cara merumuskan, perancangan akan menemui kesulitan dalam mewujudkan kehendak pembentuk Perda dan tujuan yang hendak dicapai. Dalam konteks ini, dalam perancang Perda Pengelolaan WIlayah Pesisir selain mengetahui cara merumuskan harus pula mengetahui dan menguasa beberapa hal sebagai berikut :
1. Tujuan pembentukan Perda Pengelolaan Wilayah Pesisisr.
2. Fungsi Perda (seperti fungsi ketertiban, fungsi keadilan, fungsi penunjang pembangunan, fungsi meendorong perubahan social).
3. Benar-benar menguasa materi Wilayah Pesisir yang hendak diatur. Dalam kaitan ini termasuk pengetahuan tentang apakah materi tersebut pernah di atur. Mengapa perlu diatur. Apakah materi yang diatur tepat atau merupakan kapasitas Perda. Kemudian, termasuk pula pengetahuan-pengetahuan mengenai keterbatasan-keterbatasan yang mungkin dicapai oleh suatu Perda.
Sebagaimana diketahui, bahwa inisiatif pembuatan/pembentukan Perda sesungguhnya ada daya dorongnya. Pertama, karena tuntutan dari ketentuan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi. Kedua, adanya kebutuhan masyarakat yang perlu dituangkan dalam bentuk kebijakan daerah melalui Peraturan Daerah.
Dari kedua daya dorong itu, ternyata inisiatif pembuatan Perda tidak selalu dikarenakan adanya permasalahan dalam masyarakat, melainkan sebagai bagian dari tuntutan peraturan perundang-undangan guna menyelenggaran pemerintahan daerah dan sekaligus guna mewujudkan pelayanan terhadap publik. Inisiatif pembuatan perda yang merupakan sebagai pelaksanaan dari ketentuan perundang-undangan yang lebih tingggi, ia tidak lagi harus dipertanyakan kenapa dan kapan harus dibuatkan Perda. Berbeda halnya dengan Perda-perda yang akan mengatur materi yang tidak merupakan perintah langsung dari peraturan perundangan yang lebih tinggi atau permbuatan perda-perda pengembangan dan spesifik daerah.
IV. Urgensi Peraturan Daerah Pengelolaan Wilayah Pesisir.
Sukar dipungkiri, bahwa pembangunan kelautan dan perikanan, termasuk kedalamnya pengelolaan wilayah pesisir, memang harus berbasis daerah apabila tujuannya untuk menggerakkan pembangunan ekonomi daerah. Dengan pembangunan yang berbasis daerah akan memberikan insentif bagi daerah untuk sepenuhnya melakukan pengelolaan wilayah pesisir melalui peningkatan efektivitas pengawasan sehingga pengelolaan wilayah pesisir bisa berjalan optimal dan berkelanjutan. Dengan demikian, maka daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir tidak menghindarkan diri untuk mengaturnya melalui suatu produk hukum dan membangun kelembagaannya secara terpadu.
Dengan sistem hak pemanfaatan wilayah territorial sebagaimana diatur UU No.22 tahun 1999 jo UU No.32 Tahun 2004 dan RUU mengenai Pengelolaan Kawasan Pesisir dan Pulau-pulau kecil, hal ini sebenarnya merupakan suatu penghargaan terhadap tradisi lokal atau hak ulayat laut dan itu harus menjadi bagian yang harus dipertimbangkan ketika mendesain suatu kebijakan yang dilakukan pemerintah daerah. Walaupun di lain pihak semangat otonomi dalam pengelolaan wilayah pesisir bukan berarti tanpa kelemahan dan masalah. Seperti yang akhir-akhir ini dikhawatirkan oleh beberapa pengamat, potensi out of control mechanism dari para pengambil kebijakan di daerah sebagai akibat dari euforia desentralisasi berpeluang menghambat tercapainya tujuan otonomisasi pengelolaan wilayah pesisir.
Selain itu, kekhawatirkan praktik-praktik chauvinism berlebihan juga memiliki potensi kontribusi kegagalan yang sama. Padahal, pengelolaan wilayah pesisir tidak bisa hanya dilihat dari pendekatan lokal saja melainkan juga harus dilihat dari dimensi global khususnya untuk sumber daya perikanan dan problem-prolem pencemaran. Dimensi global ini terasa semakin penting ketika pemda berencana memberdayakan masyarakat pesisir dan nelayan kecil khususnya .
Berkaitan dengan pengelolaan sumberdaya alam dalam konteks otonomi daerah, dalam Pasal 10 UU ini dinyatakan bahwa pemerintah daerah berwenang untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan sumberdaya alam yang tersedia di daerahnya, tidak terkecuali dalam hubungan ini sumber daya alam yang terdapat diwilayah pesisir. Upaya pemanfaatan dan pengelolaan sumberdaya tersebut kiranya harus dilaksanakan dengan tetap memelihara kelestarian lingkungan hidup secara bertanggung jawab dan disesuaikan dengan potensi dan kenekaragaman daerah. Artinya, untuk mengatur pengelolaan dan pemanfaatan potensi sumber daya wilayah pesisir mau tidak mau harus membentuk peraturan perundang-undangan yang dalam hal ini berupa Peraturan Daerah (Perda).
Kewenangan Kota/kabupaten untuk mengatur dan mengurus sendiri potensi kelautannya merupakam modal dasar bagi peningkatan kemampuan daerah dalam berotonomi dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena itu, kewenangan Kota/kabupaten dalam pemamfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya kelautan sebagaimana telah ditentukan dalam peraturan perundang-undangan, baik dalam rangka otonomi daerah maupun dalam kaitannya dengan penyelenggaraan dekonsentrasi dan tugas pembantuan, maka kebijakan pemerintah daerah harus dilakukan secara simultan, terencana dan terpadu.
Untuk mencapai dayaguna dan optimalisasi pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisisr dituntut adanya kebijakan daerah yang sejalan dengan kebijakan nasional, untuk hal khusus dan tertentu Pemerintah Kota/Kabupaten dapat mengambil kebijakan-kebijakan yang sesuai dengan aspirasi dan kebutuhan daerah. Dalam konteks ini, maka kebijakan daerah dalam pemanfaatan dan pengelolaan potensi sumber daya pesisir dapat dilakukan berdasarkan kewenangan yang telah diberikan undang-undang dan dengan memperhatikan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi.
Desentralisasi dalam pengelolaaan wilayah pesisir bukanlah hal yang mudah karena banyak sekali yang harus dipersiapkan untuk itu, mulai dari aspek hukum, sosial ekonomi hingga aspek politisnya. Kebingungan-kebingungan dalam merumuskan kebijakan dalam pengelolaaan wilayah pesisir dalam konteks otonomi daerah tidak hanya dialami di tingkat daerah, namun di tingkat pusat pun mengalami hal yang sama. Karena selama ini belum terdapat formulasi yang khusus mengatur proses desentralisasi dalam pengelolaaan wilayah pesisir, sehingga hubungan kelembagaan dalam mengatur pengelolaan sulit dijalankan. Ketiadaan produk hukum daerah menjadi hambatan utama dalam optimalisasikan potensi sumber daya pesisir. Inilah satu satu sisi dari urgensi Perda pengelolaan wilayah pesisir dalam kerangka otonomi daerah.
Karena pembentukan Perda pengelolaan WIlayah Pesisir merupakan tuntutan dari kebijakan yang telah ditetapkan dalam pengelolaan wilayah pesisir, sehingga memerlukan beberapa aspek yang menjadi titik perhatian dari kebijakan pengelolaan dan pemanfaatan wilayah pesisir itu terjelma dan menjadi rujukan dalam pembentukan Perda pengelolaan wilayah pesisir, antara lain;
1. Aspek Filosofis, Perda haruslah dibuat dengan berlandaskan pada kebenaran dan prinsip-prinsip keadilan. Di dalamnya juga termuat penghormatan terhadap hak asasi manusia (HAM) dan prinsip kesetaraan jender, termasuk pengakuan atas hak masyarakat hukum adat, jaminan perlindungan atas hak-hak pribadi, serta jaminan atas kesejahteraan masyarakat dan kelestarian ekosistem.
2. Aspek sosiologis, Perda pengelolaan wilayah pesisir harus dibangun diatas karakteristik wilayah pesisir suatu daerah, kebutuhan, aspirasi dan kemampuan masyarakat setempat dalam mengelola dan memanfaatkan sumberdaya wilayah pesisir. Selain itu, Perda pengelolaan wilayah pesisir juga harus dapat meningkatkan ekonomi masyarakat, sekaligus memberikan kesempatan bagi pengembangan kemampuan mereka.
3. Aspek ekologis: Perda yang mengatur pengelolaan wilayah pesisir harus dapat mengurangi tumpang tindih pengaturan dalam penguasaan dan pemanfaatan sumberdaya pesisir, mewujudkan keselarasan peran antar pusat dan daerah, serta antar sektor. Selain itu, tujuan pengelolaan sumberdaya alam tidak hanya untuk mendapatkan manfaat dan hasil yang optimal, tetapi tetap harus memperhatikan daya tampung dan daya dukung lingkungan, serta mengubah orientasi eksploitasi menjadi semangat rehabilitasi lingkungan serta pengelolaan dan pemanfaatan lingkungan hidup yang berkelanjutan.
4. Aspek politis: pembentukan Perda Pengeloaan Wilayah Pesisir haruslah memuat semangat demokratis dengan dengan memberi porsi keterlibatan masyarakat yang lebih besar. Peda yang baik bukan saja memuat aturan yang baik secara substantif tetapi juga peka terhadap dinamika perubahan masyarakat, peka terhadap kemungkinan timbulnya konflik vertical maupun horizontal, serta didukung oleh system penyelenggara pemerintahan daerah yang profesional dan bebas dari korupsi, kolusi dan nepotisme.
5. Aspek yuridis: terjadinya perubahan dan pergeseran ketatapemerintahan yang sentralistik beralih ke pola yang desentralistik, maka . dalam proses ini penegakan hukum secara konsisten menjadi suatu tuntutan untuk tercapainya kepastian hukum, keadilan dan kebenaran, serta supremasi hukum. Produk hukum yang keluar dari proses ini juga harus dapat menumbuhkan kepercayaan masyarakat
Beberapa rujukan dalam pembentukan Perda Pengelolaan WIlayah Pesisir sebagaimana dikemukakan di atas, saya pikir tidak dapat diabaikan dalam penataan kembali pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir setelah bergesernya visi pengelolaan wilayah laut dari sentralistik ke desentralistik. Meski dilain pihak, kita menyadari betul, bahwa dalam upaya menata kembali pemanfaatan dan pengelolaan wilayah pesisir tidak mudah, bahkan sangat kompleks, antara lain:
1. Banyaknya inisiatif untuk melakukan pencabutan atau perubahan peraturan perundang-undangan,
2. Sumberdaya pesisir, baik yang dapat diperbaharui maupun yang tidak dapat diperbaharui memerlukan pengkajian yang mendalam.
3. Kesalahan pengelolaan sumberdaya pesisir dimasa lampau yang harus dapat dijadikan pelajaran, dan diperbaiki untuk menghindari kesalahan yang lebih fatal di masa yang akan datang,
4. Perlunya memahami sumberdaya pesisir sebagai salah satu faktor pendukung penguatan otonomi daerah dalam rangka meningkatkan kesejehateraan masyarakat. Pengelolaan yang baik terhadap factor pendukung tersebut selain dapat meningkatkan taraf hidup masyarakat local, tentunya juga memberi nilai tambah bagi perekonomian nasional.
Dengan memahami, bahwa desentralisasi dan otonomi daerah sebenarnya bukan hanya persoalan pengaturan birokrasi pemerintah di berbagai tingkat, tetapi juga berisi pengaturan hubungan antara pemerintah dengan rakyat, maka Perda pengelolaan wilayah pesisir menjadi sangat urgen dalam kerangka otonomi daerah. Mengapa ? Hal ini bukan saja karena UU No. 22/1999 jo UU No.32 Tahun 2004 dengan beberapa pengecualian menyatakan bahwa semua bidang pelayanan pemerintah merupakan kewenangan daerah otonom , termasuk pengelolaan wilayah pesisir. Hal yang subtantif adalah, bahwa perubahan dalam pengelolaan wilayah pesisir yang ditawarkan di era otonomi daerah melalui proses desentralisasi, maka wewenang untuk mengelola sumberdaya lokal di serahkan kepada pemerintah dan masyarakat di daerah sehingga proses perencanaan, pemanfaatan dan pengawasan akan semakin efektif. Dalam konteks inilah sebenarnya terletak urgensi Perda Pengelolaan kawasan pesisir.
Pengabaian terhadap beberapa hal yang subtantif dalam pengelolaan wilayah pesisir, apalagi hanya didasarkan pada Perda yang berorientasi teknis, maka pendesentralisasian pengelolaan wilayah pesisir kepada daerah pada gilirannya akan merapuhkan otonomi daerah dan berlawanan dengan maksud semula dalam rangka penguatan otonomi daerah. Urgensi Perda Pengelolaan wilayah pesisir tidak dapat dilepaskan dari potensi dari wilayah pesisir itu sendiri, yakni :
1. Potensi wilayah pesisir dipandang dari segi fisik;
2. Potensi Wilayah peisisir dipandang dari segi Pembangunan adalah: (a) Sumberdaya yang dapat diperbaharui seperti; Perikanan (Tangkap, Budidaya, dan Pascapanen), Hutan mangrove, Terumbu karang, Industri Bioteknologi Kelautan dan Pulau-pulau kecil. (b) Sumberdaya yang tidak dapat diperbaharui seperti ; Minyak bumi dan Gas, Bahan tambang dan mineral lainnya serta Harta Karun. (c) Energi Kelautan seperti; Pasang-surut, Gelombang, Angin, OTEC (Ocean Thermal Energy Conversion) Jasa-jasa Lingkungan seperti; Pariwisata, Perhubungan dan Kepelabuhanan serta Penampung (Penetralisir) limbah. (DKP, dalam Rohmin Dahuri, 2001)
3. Potensi wilayah pesisisir dipandang dari segi Perikanan meliputi; Perikanan Laut (Tuna/Cakalang, Udang, Demersal, Pelagis Kecil dan lainnya), Mariculture (Rumput Laut, ikan dan kerang-kerangan serta Mutiara,, Budidaya Tambak, Budidaya Air Tawar, dan Potensi Bioteknologi Kelautan.
4. Potensi wilayah pesisir dipandang dari segi penduduk adalah sekitar 60 % penduduk Indonesia bermukim di wilayah pesisir, sehingga pusat kegiatan perekonomian seperti : Perdagangan, Perikanan laut, Budidaya perikanan, Transportasi laut, dan Pariwisata berkonsentrasi di wilayah pesisir.
5. Potensi wilayah pesisir dari segi ekonomi adalah pertumbuhan ekonomi masyarakat pesisir sangat lamban dan sebagian besar penduduknya masih termasuk kategori miskin.
6. Potensi wilayah pesisisr dipandang dari segi kelembagaan adalah masih sangat terbatas.
Dengan memperhatikan potensi wilayah pesisir pada satu pihak, dan pemberian kewenangan daerah dalam pengelolaan wilayah pesisir di pihak lain, maka keperluan akan Perda pengelolaan wilayah pesisir sebenarnya menjadi skala prioritas bagi pemerintah daerah untuk membentuknya. Prioritas itu terutama dikarenakan wilayah pesisir itu merupakan sebuah kompleks dan Perda Pengelolaan wilayah pesisir akan menjadi acuan bagi Perda khusus sub sentor dalam kawasan pesisir. Ketiadaan Perda pengelolaan kawasan pesisir sekaligus pengelolaan sub setor dikawasan pesisir menjadi menjadi terhambat pula.
Urgensi Perda Pengelolaan wilayah pesisir menjadi factor kunci apabila pengelolaan wilayah pesisir yang sudah didesentralisasikan dilakukan dengan model co-management, tidak terjadi dominansi peran salah satu pihak dalam pengelolaaan wilayah pesisir. Peran pemerintah daerah sebagai penentu kebijakan lokal tetap dipertahankan. Namun keterlibatan unsur-unsur masyarakat baik itu dalam bentuk institusi-institusi adat maupun dalam bentuk perwakilan masyarakat seimbang dengan peran yang dilakukan oleh pemerintah. Artinya disini ada kerjasama antara pemerintah daerah dan masyarakat dalam mengelola sumberdaya lokal baik itu mulai pengambilan kebijakan (menetapkan aturan-aturan) hingga pengawasannya.
Kemudian urgensi Perda pengelolaan pesisir tidak terlepas dari system pengelolaan wilayah pesisir yang ada selama ini. Artinya, pengelolaan wilayah pesisir tidak boleh lagi gagal sekalipun sudah didesentralisasikan. Sistem sentralistis/top down yang selama ini diterapkan telah menimbulkan ketidakteraturan dalam pengelolaan sumberdaya pesisir sehingga sangat rawan terhadap munculnya konflik antar nelayan.
V. PENUTUP
Tulisan ini sengaja tidak membuat kesimpulan, karena hanya sebuah pengantar. Demikianlah paparan singkat ini disampaikan, semoga bermanfaat.
Padang, 20 November 2006.