Detail Artikel

Kamis, 07 Desember 2006

Ideologi dan Konstitusi Negara (Sebuah Pengantar)
I. Pendahuluan

Ideologi umumnya sering diartikan sebagai sekumpulan konsep bersistem dan sering pula dipahami sebagai paham, teori dan tujuan yang berpadu merupakan satu program sosial politik. Karenanya bersentuhan dengan Idiologi merupakan soal yang sudah sangat tua, tergantung dari sudut mana kita mencoba mendekatinya. Dan pengertian Idiologi cenderung ditangkap dalam artian positif dan negative.

Di sisi lain, idelogi ditangkap dalam artian negative, karena dikonotasikan dengan sifat yang totaliter yaitu memuat pandangan dan nilai yang menentukan seluruh segi kehidupan manusia secara total, serta secara mutlak menuntut manusia hidup dan bertindak sesuai dengan sesuai dengan apa yang telah digariskan Idiologi itu, sehingga akhirnya mengikari kebebasan pribadi manusia serta membatasi ruang geraknya (Soerjanto Poespowardojo;1992). Namun apabila ditengok Negara-negara yang mengalami masa-masa penjajahan bangsa lain, Idiologi merupakan pengertian yang positif terutama sekitar perang dunia ke II, karena menunjuk kepada keseluruhan pandangan cita-cita, nilai dan keyakinan yang inngin mereka wujudkan dalam kenyataan hidup yang kongkrit. Ideologi dalam artian itu bahkan dibutuhkan, karena dianggap mampu membangkitkan kesadaran dan kemerdekaan, memberikan orientasi mengenai dunia berserta isinya serta antar kaitannya, dan menamkan motivasi dalam perjuangan masyarakat untuk bergerak melawan penjajahan dan selanjutnya diwujudkan dalam sistem dan penyelenggaran Negara. (Soerjanto Poespowardojo;1992).

Dengan pendekatan terhadap idelogi sebagaimana dikemukakan tadi, maka kita dapat dengan mudah memahami bagaimana dinamika Idiologi itu di Indonesia. Jika kalangan politisi, ilmuwan, budayawan di Indonesia maupun Pemerintah sejak tahun lima puluhan mempergunakan istilah Idiologi dalam artian yang positif dan apakah istilah Idiologi dalam artian positif itu masih dipergunakan di Indonesia saat ini ? Dalam kesempatan ini, saya tidak akan menjawab pertanyaan ini, tetapi hal itu saya kemukakan sebagai bahan renungan bagi kita, terutama setelah bergulirnya era reformasi di Indonesia tahun 1999 lalu dalam konteks lebih mendalami masalah Idiologi dan konstitusi.


II. Hubungan Ideologi dengan Konstitusi

Di dalam dunia politik istilah konstitusi biasanya dipergunakan sekurang-kurangnya dipergunakan untuk melukiskan seluruh sistem pemerintahan suatu negara, yaitu kumpulan ketentuan-ketentuan tentang menetapkan dan yang mengatur pemerintahan. Ketentuan-ketentuan ini sebagian bersifat aturan hukum dan sebagian bersifat non legal atau ektra legal.

Dengan demikian tidak heran apabila kemudian dinyatakan banyak ahli, bahwa sebuah konstitusi atau UUD merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Setelah itu konstitusi mempunya kedudukan sangat penting karena ia harus menjadi landasan penyelenggaraan negara dari berbagai segi sehingga setiap tingkah laku atau kebijaksanaan politik dari setiap pemimpin negara akan senantiasa terlihat relevansinya dengan ketentuan undang-undang dasar (Moh.Mahfud MD:2000;40). Dan karena konstitusi itu merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik, maka sebuah konstitusi bukan sekedar aturan belaka mengenai ketatanegaraan. Konstitusi sebagai hukum dasar (induk seluruh ketentuan hukum di sebuah negara) merefleksikan banyak hal penting bagi negara bersangkutan. Sebagian substansi konstitusi merefleksikan hal-hal yang monumental dimasa lalu, masa kini dan harapan masa datang.

Memahami eksistensi yang demikian, maka jelas dalam sebuah konstitusi terkandung suatu ideologi dari bangsa negara. Karenanya tidak heran kalau bangsa tertentu memandang konstitusi seakan-akan sebagai “barang keramat” yang tidak dapat disentuh. Demikian pula halnya dengan UUD 1945 sebagai konstitusi negara Indonesia, ia merupakan kristalisasi ide-ide tentang negara menjelang lahirnya negara Indonesia. Ide-ide tentang negara itu tidak dapat dilepaskan dari ideologi yang hidup dan tumbuh dalam diri bangsa Indonesia.

Sebagaimana telah disinggung, bahwa ideologi dapat dirumuskan sebagai kompleks pengetahuan dan nilai, yang secara keseluruhan menjadi landasan bagi seseorang (atau masyarakat) untuk memahami jagat raya dan bumi seisinya serta menentukan sikap dasar untuk mengolahnya. Berdasarkan pemahaman yang dihayatinya itu seseorang menangkap apa yang dilihat benar dan tidak benar, serta apa yang dinilai baik dan tidak baik. Demikian pula ia akan menjalankan kegiatan-kegiatan sebagai perwujudan keseluruhan pengetahuan dan nilai yang dimilikinya. Dalam konteks ini Soerjanto Poespowardojo (1992) mengemukakan lebih jauh, bahwa dengan demikian akan terciptalah baginya suatu dunia kehidupan masyarakat dengan sistem dan struktur sosial yang sesuai dengan orientasi ideologisnya. Namun ini tidak berarti bahwa dunia kehidupan masyarakat semata-mata merupakan manisfestasi ideologi, sebagaimana dapat dikemukakan menurut alam pikiran Hegel. Karena ideologi bukanlah suatu yang berdiri sendiri lepas dari dari kenyataan hidup masyarakat. Ideologi adalah produk kebudayaan suatu masyarakat dan karena itu dalam arti tertentu merupakan manifestasi kenyataan sosial juga.

Apa yang kita kemukakan di atas tidak lantas dipahami, bahwa ideologi merupakan pandangan hidup. Soerjanto Poespowardojo (1992) lebih lanjut mengemukakan, bahwa Ideologi mencerminkan cara berfikir masyarakat, namun juga membentuk masyarakat menunju cita-cita. Dengan demikian terlihatlah bahwa ideologi bukan sekedar pengatahuan teoritis belaka, tetapi merupakan sesuatu yang dihayati menjadi suatu keyakinan. Ideologi adalah suatu pilihan yang jelas membawa komitmen untuk mewujudkannya. Komitmen itu tercermin dalam sikap seseorang yang meyakini ideologinya sebagai ketentuan normatif yang harus ditaati dalam bermasyarakat. Ini tentu saja berbeda dengan pandangan hidup, dimana pandangan hidup memberikan orientasi secara global dan tidak bersifat eksplisit. Meskipun demikian dapat terjadi pandangan hidup menjadi Idiologi seperti halnya di Indonesia, Pancasila sebagai pandangan hidup bangsa Indonesia sekaligus sebagai Idiologi Negara. Tetapi haruslah dipahami, bahwa Idiologi harus dibedakan dari agama. Ideologi bukanlah agama. Ideologi hanya merupakan hasil pikiran manusia berkat daya refleksinya yang tajam mengenai segala sesuatu dan segala kejadian disekelilingnya, dan daya kreasinya dalam upaya memecahkan masalah yang dihadapinya serta memperhatikan hari depan. Dalam hubungan ini Soerjanto Poespowardojo (1992) menegaskan, bahwa sikap seseorang terhadap Idiologinya bukanlah sikap percaya terhadap suatu ajaran, melainkan sikap natural terhadap prinsip-prinsip hidup yang dikendalikan oleh akal-budi.

Memahami kisi-kisi Idiologi sebagaimana dikemukakan di atas memudahkan kita melihat pertautan antara Idiologi dengan konstitusi. Sebagaimana telah dikemukakan, bahwa konsitusi merupakan kristalisasi dari berbagai pemikiran politik ketika negara akan didirikan atau ketika konstitusi itu disusun. Pemikiran politik dalam konteks ini tentulah tidak mesti dipahami sebagai pemikiran politik praktis. Ini sangat penting karena dalam perkembangannya kata “Idiologi” sebagaimana halnya di masyarakat Indonesia mempunyai konotasi program sosial-politik yang cenderung menempatkan lai-lainnya, termasuk hukum –bahkan konstitusi sendiri—sebagai alat-alatnya dan oleh karena itu berada dalam subordinasinya. Padal menurut A. Hamid S. Attamimi, menurut UUD 1945 hukumlah yang memimpin semua program kehidupan rakyat Indonesia dalam bermasyarakat, berbangsa dan bernegara, termasuk program sosial politiknya. Dalam konteks ini diperlukan suatu kehati-hatian dalam menangkap hubungan antara Idiologi dengan konstitusi.

Pada satu sisi pancasila adalah Idiologi Negara dan disisi lain Pancasila mempunyai kedudukan sebagai cita hukum yang menguasai Hukum Dasar Negara. Apabila pokok-pokok pikiran yang terkandung dalam pembukaan UUD 1945 mewujudkan cita hukum, maka pokok-pokok pikiran itu tidak lain melainkan Pancasila. Dengan demikian, maka pokok-pokok pikiran yang mewujudkan cita hukum itu ialah Pancasila yang sekaligus merupakan ideologi negara. Karena itu jelaslah, bahwa apabila konstitusi dipahami sebagai kristalisasi dari pemikiran politik ternyata bukan dalam artian politik praktis atau sebagai kristalisasi dari program sosial politik.

Dilain pihak sebagai dampak dari berkembangnya paham negara konstitusional yang telah memperkembangkan suatu perangkat peraturan dan ketentuan yang sangat jelas bagi berjalannya ketiga fungsi pemerintahan (eksekutif, legislatif dan yudikatif) yang bersumber pada konstitusi. Namun, karena konstitusi adalah karya manusia maka tentunya tidak tidak lepas dari kekurangan-kekurangan. Ia juga bukan sebuah dogma yang harus berlaku abadi tanpa diutak-atik. Dimanika kehidupan sosial bergerak begitu cepat sering kali tidak bisa diprediksikan para pembuat konstitusi pada saat konstitusi disusun. Terhadap hal ini Lito Exposto mengemukakan, bahwa Konstitusi pada kurun waktu tertentu mungkin dianggap sempurna tetapi pada lain waktu dianggap tidak memadai lagi. Beberapa ahli menyebut bahwa perubahan itu penting karena dua hal: (a) ia sesungguhnya adalah hasil sebuah kompromi dari beberapa kekuatan politik dengan kepentingan-kepentingan yang berbeda dan (b) kemampuan para penyusunnya yang terbatas. Oleh karena itu, sebuah konstitusi tidak dapat berlaku seterusnya tanpa perubahan.

Dalam kaitannya dengan perubahan konstitusi itu, apakah sekagus perubahan terhadap ideologi ? Inilah sebenarnya pertanyaan penting ketika kita membincangkan hubungan antara ideologi dan konstitusi. Terutama ketika dalam suatu masyarakat negara menghendaki reformasi dalam penyelenggaraan pemerintahan.

[newpage]
III. Antara Idelogi dan Perubahan Konstitusi

Reformasi merupakan suatu proses menyeimbangkan in put, proses dan out put. Dalam padangan banyak orang, reformasi bertujuan untuk membuka babak baru atau membuat langkah awal yang baru (to make a fresh start) dalam kehidupan bernegara. Pandangan ini bisa diterima, apabila reformasi tidak diterjemahkan atau dipahami sebagai revolusi. Dan sebagaimana dikemukakan Indra Perwira (2005), bahwa sebelum melangkah dibutuhkan arah tujuan baru yang jelas dan sebelum membuat arah tujuan itu diperlukan sebuah paradigma, keyakinan, dan kerangka idiologi yang baru, yang pada akhirnya akan melahirkan perombakan sistem ketatanegaraan baik suprastruktur maupun infra struktur. Perombakan sistem ketatanegaraan itu lazimnya ditandai dengan perubahan atau penggantian konstitusi, baik secara formal (formal amandement) maupun melalui interprestasi (judicial interpretation, usage and costum).

Sebelumnya sudah dikemukakan bahwa antara Idiologi dan konstitusi adalah suatu hal yang integral. Dengan demikian, pendapat yang menyatakan konstitusi yang tidak dapat beradaptasi dengan dinamika masyarakat akan kehilangan makna dan hanya menjadi sebuah dokumen yang tidak bermanfaat, saya pikir adalah pendapat yang berlebihan. Padangan demikian, sebenarnya telah kehilangan cita mengenai hakikat konstitusi yang hanya dilihat dan dipahami sebagai sebuah aturan biasa. Meskipun kita setuju, bahwa esensi perubahan bagi sebuah konstitusi adalah agar konstitusi itu dapat merespons kebutuhan dan tuntutan zaman yang dengan demikian ia dapat bertahan. Namun persoalannya dalam konstitusi itu termuat suatu Idiologi atau cita hukum. Jadi masalahnya bukan sekedar apakah konstitusi itu memberikan perluang untuk perubahan atau tidak, melainkan sejauhmana urgensi dari perubahan itu diperlukan dan keterkaitannya dengan cita hukum yang tertuang dalam konstitusi sebagai suatu kristalisasi dari berbagai pemikiran politik.

Karena demikian esensialnya isi konstitusi, maka konstitusi tidaklah boleh dikritisi melulu dari kepentingan politik—apalagi kepentingan politik praktis-temporer--. Pemikiran pembaharuan atau perubahan terhadap konstitusi mestilah dilakukan dengan cita pemikiran ideal dan visioner. Misalnya para elite politik termasuk juga parpol dinilai korup dan hanya mendahulukan kepentingan sendiri dan tidak peduli dengan nasib rakyat dan negara. Publik, walaupun masih percaya terhadap demokrasi, namun kecewa dan tidak percaya terhadap elite politik, partai politik (parpol), serta institusi publik lainnya. Politik dilihat sebagai sesuatu yang kotor, busuk dan didominasi segelintir orang yang tidak peduli dengan nasib bangsa. Pemerintahan baru yang demokratis pun dinilai tidak mampu untuk menangani berbagai masalah seperti korupsi dan kejahatan. Kondisi serupa ini tidaklah menjadi alasan untuk melakukan perubahan konstitusi, karena bisa jadi hal itu terjadi karena para elit penyelenggara Negara tidak melakukan tugasnya sesuai dengan yang diamanatkan konstitusi. Ujungnya adalah penegakkan hukum, termasuk konstitusi.

Dalam hubungan itulah setidaknya kita dapat melihat korelasi antara ideologi dan perubahan konstitusi. Karena Idiologi atau cita hukum yang tertuang dalam konstitusi mempunyai dua fungsi sebagaimana halnya dengan Pancasila di Indonesia. Sebagaimana kita ketahui bahwa cita hukum selain mempunyai fungsi konstitutif yang menentukan dasar suatu tatanan hukum, yang tanpa itu suatu hukum kehilangan arti dan maknanya sebagai hukum, juga mempunyai fungsi regulative yang menentukan apakah suatu hukum positif adil atau tidak adil. Demikian juga dalam hal Pancasila merupakan cita hukum, maka nilai-nilai yang terdapat dalam Pancasila mempunyai fungsi konstitutif, disamping fungsi regulative. Sementara kedudukan Pancasila sebagai Norma hukum tertinggi dalam hal ini sebagai pokok-pokok pikiran Pembukaan Hukum Dasar (UUD 1945) yang menciptakan pasal-pasal UUD 1945, menentukan isi dan bentuk lapisan hukum yang lebih rendah.

Dari pandangan yang dikemukakan di atas, maka jelaslah bahwa keberadaan Idiologi dengan konstitusi berada dalam suatu tatanan yang integral. Ideologi berada dalam dua kedudukan; Pertama Idiologi berkedudukan dalam tata hukum namun terletak diluar sistem norma hukum. Dalam kedudukannya yang demikian Idiologi berfungsi secara konstitutif dan secara regulatif terhadap norma-norma yang ada dalam sistem norma hukum. Dan sebagai norma hukum tertinggi ideologi dalam sistem norma hukum karena menjadi pokok-pokok pikiran dalam konstitusi, maka ideologi merupakan norma dasar. Masalah kemudian tentu apakah ideologi dan konstitusi selalu merupakan sesuatu yang selalu terintegrasi. Jika tidak tentu masalah jadi lain, tetapi dalam konstitusi-konstitusi negara modern, konstitusi dibangun atas dasar ideologi yang hidup dan tumbuh dalam masyarakat-negara bersangkutan. Itulah sebabnya mengapa dikatakan konstitusi bukan sekedar hukum yang adil dan biasa. Justeru konstitusi adalah sebuah hukum yang fundamental.

Karenya perubahan konstitusi tidaklah sekedar merespon tuntutan zaman, apalagi sekedar memenuhi kepentingan politik, melainkan yang paling penting adalah dalam rangka memenuhi kebutuhan bangsa dalam rangka mencapai tujuan bernegara. Dengan demikian, konstitusi tidak selalu dipahami sebagai alat untuk membatasi kekuasaan negara. Ini tentu saja dengan mendekatkan diri pada makna konstitusi yang lebih mendalam yakni ada dalam konstitusionalisme.


IV. Penutup

Paparan singkat ini mengenai idelogy dan konstitusi belumlah menggambarkan pengkajian yang mendetail, melainkan hanya sebuah pengantar guna memahami lebih jauh antara ideologi dan dan konstitusi.



Boy Yendra Tamin, SH. MH,
Staf Pengajar Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta/Advokat