Detail Artikel

Rabu, 24 Januari 2007

Pilih "Ngojek" Ketimbang Melaut
Begitu menginjakkan kaki dan melangkah menuju arah tujuan, puluhan tukang ojek segera menyambut mereka. Sepeda motor tukang ojek tersebut telah diparkir dan disiapkan berdasarkan giliran. Para tukang ojek tidak perlu lagi merayu atau berebut sesama tukang ojek memperebutkan penumpang. Telah ada aturan sesama mereka bahkan pada beberapa pangkalan ojek sudah terbentuk organisasi atau yang mengaturnya.
Suasana seperti itu telah menjadi pemandangan sejak tiga tahun terakhir ini. Di manapun sekarang ini, ojek telah menjadi sarana transportasi utama, bukan lagi transportasi alternatif, khusunya pada jalur-jalur yang tidak dilalui angkot dan yang hanya berjarak tidak lebih dari 1 km ke jalan utama sebagaimana yang terjadi juga di sejumlah daerah di Indonesia.

Sejauh ini belum ada angka pasti berapa jumlah pangkalan ojek maupun tukang ojek, khususnya di Sumatera Barat. Namun saat ini diperkirakan jumlahnya bisa mencapai diatas 10.000 tukang ojek di seluruh Sumatera Barat. Di kedua kawasan diatas, dari hari kehari jumlah tukang ojek terus bertambah, terutama sejak berbagai produsen sepeda motor dan lembaga keuangan menawarkan uang muka kredit motor murah, bahkan ada yang hanya bayar DP Rp. 500.000 saja, tanpa jaminan sepeda motor sudah bisa dibawa pulang.

@@@@

Kini menjadi tukang ojek bagi sebagian orang telah menjadi profesi yang lebih menjanjikan bagi masyarakat, tidak terkecuali bagi yang dulunya berprofesi sebagai atau keluarga nelayan. Hal ini terbukti semakin banyaknya pemuda dari keluarga nelayan yang enggan melanjutkan pekerjaan orang tua mereka sebagai nelayan. Momon (20), misalnya, mengaku enggan pergi melaut atau menjadi nelayan lagi karena penghasilan yang diperoleh dari melaut tidak pasti.

”Saya malas melaut, soalnya pengahsilannnya tidak pasti. Kalau lagi musim paceklik, sering tidak dapat ikan. Tetapi jika lagi panen ikan harganya anjlok. Kalau ngojek, penghasilannya kan pasti. Tiap hari saya dapat uang Rp.10.000. sampai Rp. 30.000. Lumayan kan buat bantu orang tua dan membayar cicilan kredit motor,” ujar Momon yang saat ini tidak lagi melanjutkan sekolah.

Selain itu, is mengaku tidak tahan harus hidup dan berpanas-panas dilaut setiap hari, tidak jarang sampai berhari-hari bahkan sampai berminggu-minggu di laut. Bagi pemuda seperti Momon, bekerja sebagai nelayan ibaratnya menantang maut yang setiap saat bisa datang di tengah samudera luas.

@@@@

Makin terpuruknya kehidupan nelayan membuat profesi tukang ojek makin dilirik oleh sebagian dari mereka. Bahkan sejumlah dari mereka telah beralih profesi menjadi tukang ojek untuk mengisi periuk nasi keluarga. Jika tidak punya sepeda motor sendiri, mereka bisa menyewa dengan sistim setoran.

Kendati demikian, sebagian dari meraka juga memilih tetap bertahan melaut, karena profesi tukang ojek juga mengenal pasang surut. ”Jadi tukang ojek kadang-kadang tidak lebih baik dibanding sebagai nelayan. Sebagian tukang ojek itu, kan juga dikejar-kejar setoran. Padahal, kalau lagi sepi juga susah cari penumpang,” ujar Jejen nelayan tradisional di Pasir Parupuk Tabing.

Sejumlah nelayan lain mengaku tetap bertahan jadi nelayan karena tidak ada pekerjaan lain. ”Bagaimana mau ngojek kalau tidak punya sepeda motor. Jangankan untuk meng-kredit apalagi beli motor,uang untuk keperluan sehari-hari saja sulitnya minta ampun. Biasanya ngutang ke warung atau tengkulak ikan,” keluh Jejen.

Profesi nelayan semakin terpinggirkan, sungguh terasa ironis sekali jika melihat tingginya potensi perikanan laut di pesisir kita.Derita tidak berkesudahan membuat sebagian nelayan mulai beralih profesi jadi tukang ojek.”Tidak ada warga ini yang bercita-cita menjadi nelayan.Banyak warga yang ingin memperbaiki nasibnya dengan pergi merantau karena jadi nelayan berarti siap hidup melarat,” kata Jejen mengakhiri obrolan sore itu.

Indrawadi,S.Pi
Humas-Univ.Bung Hatta