Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Senin, 19 Maret 2007 Umum

Kualitas Sumberdaya Manusia Ditinjau Dari Sudut Pandang Psikologi

KUALITAS SUMBER DAYA MANUSIA DITINJAU DARI SUDUT PANDANG PSIKOLOGI

Antoni., SE., ME
Student Ph.D Fakulti Universiti Kebangsaan Malaysia

Pendahuluan

Proses menuju abad 21 telah berlangsung sejak tahun tujuh puluhan. Dalam percaturan internasional tak ada yang bisa menghindar atau mengelakkan diri dari proses ini. Pengaruh yang datang tak lagi bisa dibendung, mengalir deras tanpa kenal batas. Film, surat kabar, majalah, radio, televisi gencar menyuguhkan pemikiran, sikap dan perilaku yang sebelumnya tidak dikenal. Gaya hidup baru yang diberi label ‘modern’ diperkenalkan secara luas. Naisbitt dan Aburdene (1990) sebagaimana dikutip oleh Sri Mulyani Martaniah (1991) mengatakan bahwa era globalisasi memungkinkan timbulnya gaya hidup global. Tumbuhnya restoran dengan menu khusus dari mancanegara semakin menjamur, menggeser selera masyarakat yang semula bertumpu pada resep-resep tradisional. Gaya berpakaian dipengaruhi oleh garis-garis mode yang diciptakan oleh perancang kelas dunia. Bentuk-bentuk pasar tradisional yang memungkinkan terjadinya keakraban antara penjual dan pembeli, sehingga keterlibatan emosional ikut mewarnai, perlahan menghilang dan berganti dengan transaksi ekonomi semata ketika muncul pasar-pasar swalayan.

Seiring dengan perubahan zaman, masyarakat pun mengembangkan norma-norma, pandangan dan kebiasaan baru dalam berperilaku. Era globalisasi yang mewarnai abad 21 telah memunculkan pandangan baru tentang arti bekerja. Ada yang lebih luas dari sekadar makna mencari nafkah dan ukuran kecukupan dalam memenuhi kebutuhan keluarga. Orang cenderung mengejar kesempatan untuk bisa memuaskan kebutuhan aktualisasi diri, sekaligus tampil sebagai pemenang dalam persaingan untuk memperoleh yang terbaik, tertinggi, terbanyak. Untuk bisa mengikuti gaya hidup yang baru, diperlukan dukungan kemampuan ekonomi yang tinggi. Kebutuhan ini sangat terasa. Kemajuan teknologi komunikasi abad ini telah memungkinkan berita dan cerita segera menyebar ke seluruh pelosok, menyapa siapa saja, tak peduli penerima pesannya siap atau tidak. Wajah keluarga juga berubah. Perkembangan jaman yang merubah gaya hidup masyarakat ikut mewarnai kehidupan keluarga. Peran suami istri, pola asuh dan pendidikan anak tidak bisa mempertahankan pola lama sepenuhnya. Pengaruh yang diterima suami istri, juga yang diterima anak dalam proses perkembangannya, tak lagi bisa dipisahkan dari dunia di luar rumah. Melalui perangkat teknologi anak bisa langsung menerima pengaruh dari luar, yang tentu saja akan selalu mempunyai dua sisi, baik dan tidak baik, positif dan negatif. Situasi inilah yang akan mewarnai kehidupan anak dan orang tua di abad 21. Orang tua tak lagi menjadi pewarna tunggal dalam pengembangan pola sikap dan tingkah laku anak. Ada lingkungan yang lebih luas dan leluasa memasuki kehidupan keluarga dalam menawarkan berbagai bentuk perilaku untuk diamati, dipilih, dan diambil alih anak.


Pembentukan perilaku manusia Indonesia dalam masa Orde Baru

Peristiwa di tahun 1965 (pembubaran Partai Komunis Indonesia) kemudian memunculkan arah baru dalam pembentukan perilaku manusia Indonesia. Masa yang dikenal sebagai Orde Baru mengarahkan pembangunan di bidang ekonomi sebagai fokus utama. Masyarakat pun berpaling. Segenap lapisan berusaha mengikuti derap pembangunan yang baru, sesuai dengan kemampuan dan harapannya. Sejalan dengan perkembangan ini maka sikap dan gaya hidup masyarakat pun berubah. Manusia Indonesia seolah dipaksa masuk ke dalam persaingan global yang berciri khas kapitalisme. Para pengusaha siap menjelajah seluruh pelosok dan menelan siapa saja untuk mencapai tujuannya demi laba yang ingin diraih. Arief Budiman (1991) mengemukakan bahwa salah satu aspek ekspansi kapitalisme global adalah diciptakannya manusia-manusia yang serakah dan materialistis, sesuai dengan yang dibutuhkan oleh sistem kapitalisme. Produksi akan macet kalau manusia merasa sudah cukup dan tidak mau berkonsumsi lagi. Akibatnya, melalui iklan dan berbagai bentuk promosi lainnya manusia dibentuk menjadi berperilaku konsumeristis. Sikap serakah, materialistis, dan konsumeristis inilah yang mendorong orang untuk bekerja sekeras-kerasnya, demi memenuhi keinginannya yang tak kunjung terpuaskan. Kekayaan menjadi simbol status dalam sistem kapitalis. Ukuran tidak lagi pada kualitas manusianya, melainkan pada jumlah atau kuantitas harta yang dimiliikinya. Kejujuran tak lagi menjadi ukuran keluhuran perilaku. Menurut istilah Arief, "orang yang jujur tapi miskin tampak bodoh ketimbang orang yang kaya meski kurang jujur."
[newpage]
Sisi lain dari pengembangan sistem kapitalis adalah ditimbulkannya semangat individualistis, baik dalam berkonsumsi maupun berproduksi. Kolektivitas dan solidaritas dianggap tidak rasional. Kemampuan berkompetisi untuk meraih yang terbanyak, tertinggi, lalu berkonsumsi dalam jumlah banyak untuk meraih simbol status adalah tuntutan untuk bisa masuk dan bertahan dalam kehidupan sistem kapitalis. Akhirnya, kapitalisme bukan lagi sekadar sistem perekonomian belaka, tetapi sudah mencampuri nilai-nilai kehidupan dan menentukan arah tujuan hidup. Suasana inilah yang mewarnai periode pemerintahan Orde Baru. Upaya menciptakan manusia yang materalitis, individualistis, memiliki daya saing tinggi agar bisa menjadi pemenang dan mengalahkan pesaing-pesaing lainnya (siapapun dia) menjadi arah pembentukan perilaku oleh berbagai pihak.

Kelompok lain, yaitu mereka yang tidak dapat melakukan cara-cara tersebut, tetapi tetap terimbas oleh kehidupan sistem kapitalis. Akibat bagi kelompok ini adalah perilaku yang menunjukkan perasaan tertekan (stress), depresi, bunuh diri, melarikan diri ke pemakaian obat-obatan dan minuman keras. Sebagian lainnya dari kelompok ini mengembangkan perilaku yang bersifat apatis. Mereka hanya menjadi penonton pasif dan mencoba bertahan dengan apa yang dimilikinya dan bisa dilakukannya, entah sampai kapan.

Ada dua mekanisme belajar yang utama dalam membentuk perilaku manusia, yaitu:

Cara belajar instrumental dan Cara belajar observasional

Belajar instrumental pada dasarnya mengatakan bahwa suatu perilaku yang diikuti oleh konsekuensi yang positif (reinforcement) akan diulangi, sedangkan perilaku yang diikuti oleh konsekuensi negatif (punishment) tidak akan diulangi. Contoh: Bila dalam pengalaman sehari-hari seseorang selalu mengalami bahwa "mengurus KTP dengan mengikuti prosedur yang berlaku" (perbuatan menaati peraturan) membuat dia kehilangan jam kerja berhari-hari, sedangkan dengan "mengurus KTP dengan memberi uang pelicin" (perbuatan melanggar peraturan) petugas malahan mengantar KTP baru ke rumah, maka menurut belajar instrumental, dia akan cenderung memberi uang pelicin setiap kali harus mengurus KTP di masa yang akan datang, walaupun perbuatan itu melanggar hukum. Menurut persepsinya, perbuatan itulah yang menghasilkan reinforcement sedangkan menaati hukum justru menghasilkan punishment.

Tentu dalam hal ini keterkaitan (contingency) antara suatu perilaku dengan konsekuensi yang menyertainya harus terjadi secara konsisten untuk suatu jangka waktu tertentu sebelum pola perilaku yang diinginkan dapat terbentuk. Tanpa adanya konsistensi ini maka perilaku yang diinginkan tidak akan dapat terbentuk. Misalnya bila pada suatu waktu si Anu akan melewati lampu merah dilarang oleh polisi, sedangkan ketika ia melakukan hal yang sama pada waktu lain polisi membiarkan saja hal tersebut maka tidak akan terjadi proses pengkaitan antara "melewati lampu merah" dengan "penilangan oleh polisi." Sebagai konsekuensinya tidak akan terbentuk perilaku "berhenti setiap kali melihat lampu merah."

Belajar observasional mengatakan bahwa seseorang dapat mempelajari perilaku baru atau memperkuat perilaku yang sudah dimilikinya hanya dengan mengamati orang lain (model) melaksanakan perilaku tersebut. Besarnya pengaruh perilaku model terhadap perilaku si pengamat tergantung pada tiga hal, yaitu:
penilaian pengamat tentang kemampuannya untuk dapat melaksanakan perilaku yang ditunjukkan oleh model
persepsi pengamat tentang hasil perilaku yang ditunjukkan model, yaitu apakah menghasilkan konsekuensi positif atau negatif
perkiraan pengamat, apakah ia akan menghasilkan konsekuensi yang sama bila ia juga melaksanakan perilaku yang ditunjukkan model.

[newpage]
Peranan Keluarga Dalam Pembentukan Perilaku

Suasana pembangunan yang lebih terfokus di bidang ekonomi ditingkah dengan era globalisasi telah mengubah tatanan kehidupan masyarakat. Tawaran untuk menikmati gaya hidup global telah mendorong semua orang untuk sibuk mencari uang, dengan berbagai cara. Setiap orang, laki-laki dan perempuan, berusaha pagi dan petang. Mereka membanting tulang dan memeras keringat untuk meraih yang terbaik demi gaya hidup global. Tentu saja kondisi ini berpengaruh terhadap kehidupan kekeluargaan, yang menjadi kurang terbina. Mulailah terjadi kerenggangan antara suami istri, orang tua dan anak, yang tentunya sukar untuk diharapkan sebagai tempat persemaian tumbuh kembang anak secara optimal. Era globalisasi juga melahirkan kompetisi yang membutuhkan kompetensi tinggi di segala bidang untuk bisa menjadi pemenang. Hanya yang terbaik yang bisa memenangkan kompetisi. Akibatnya, orang tua memaksa anak meninggalkan dunianya dan mengisinya dengan upaya pembekalan diri untuk dapat meraih kompetensi sebanyak-banyaknya. Dunia kanak-kanak yang ceria tak lagi bisa dinikmati, berganti dengan jadwal ketat yang mengantarnya pada situasi yang selalu serius dan memandang jauh ke depan. ‘Paksaan’ yang melanda anak dalam penafsiran era globalisasi di bidang ekonomi ini tentunya bisa berdampak negatif terhadap perkembangan anak di kemudian hari, baik terhadap kehidupan pribadinya maupun dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Newman & Newman (1981) menyebutkan tiga unsur pendukung kemampuan seseorang untuk bisa menyesuaikan diri dengan baik, yaitu dirinya sendiri, lingkungan dan situasi krisis dalam pengalaman hidupnya yang sangat membekas dalam dirinya. Pada unsur pribadi (diri sendiri) tercakup kemampuan untuk bisa merasa, berpikir, memberikan alasan, kemauan belajar, identifikasi, kesediaan menerima kenyataan, dan kemampuan memberikan respon sosial. Kemampuan tersebut didasari oleh tingkat kecerdasan yang dimiliki, temperamen, bakat, dan aspek genetika. Berdasarkan konsep tersebut maka proses penyesuaian diri bagi anggota masyarakat merupakan keterkaitan yang sangat erat antara kondisi pribadi, situasi lingkungan dan kemampuan mengelola pengalaman.

Pembentukan perilaku normatif dimulai dari pengenalan terhadap aturan yang berlaku dan terapannya dalam kehidupan sehari-hari, yang kemudian menjadi pengalaman yang terekam dalam kehidupan seseorang. Selanjutnya, dengan bekal kemampuan yang dimilikinya, terjadi proses pengambilalihan norma di luar diri menjadi pengembangan nilai-nilai yang dijadikan pegangan dalam berperilaku (internalisasi). Tergantung dari tingkat kematangan pribadinya, pengembangan nilai dalam diri sendiri bisa dilakukan secara mandiri, bahkan bernuansa luas, dan mampu dipertahankan secara tangguh dalam berbagai kondisi dan situasi. Pada tingkat seperti ini orang tersebut tidak akan mudah terpengaruh atau terbawa suasana lingkungan. Dia tahu memilih yang benar, yang perlu, yang bermanfaat dan bisa dengan mudah membedakannya dari hal-hal yang bisa merugikan pribadi maupun lingkungannya. Pengalamannya berpadu dengan penalaran pikirnya, menghasilkan dialog yang terus menerus sebelum memutuskan sikap dan perilaku dengan kesadaran terhadap konsekuensinya, baik untuk diri sendiri maupun lingkungan.


Pendidikan adalah upaya membekali anak dengan ilmu dan iman agar ia mampu menghadapi dan menjalani kehidupannya dengan baik, serta mampu mengatasi permasalahannya secara mandiri. Bekal itu diperlukan karena orang tua tidak mungkin mendampingi anak terus menerus, melindungi dan membantunya dari berbagai keadaan dan kesulitan yang dihadapinya. Anak tidak akan selamanya menjadi anak. Dia akan berkembang menjadi manusia dewasa. Kalau perkembangan fisiknya secara umum berjalan sesuai dengan pertambahan umurnya, maka kemampuan kecerdasan dan perkembangan emosi serta proses adaptasi atau penyesuaian diri dan ketakwaannya sangat memerlukan asuhan dan pendidikan untuk bisa berkembang optimal. Melalui bekal pendidikan dan proses perkembangan yang dialaminya selama mendapatkan asuhan dari lingkungannya, diharapkan anak akan mampu menyongsong dan menjalani masa depannya dengan baik.

Memberi bekal adalah sikap yang mencerminkan pemikiran dan pandangan ke depan. Artinya, kondisi atau keadaan dan situasi yang akan dihadapi anak nantinya, ketika ia sudah menjadi orang dewasa, sangat perlu diperhitungkan. Kehidupan berjalan ke depan. Jadi, sangatlah penting mempertimbangkan kondisi dan situasi di masa depan itu dalam upaya memberikan bekal kepada anak. Sosok manusia dewasa hasil asuhan dan pendidikan orang tua dalam kurun waktu sekarang akan terlihat secara jelas dalam perkembangan anak menjadi orang dewasa. Berhasilkah pendidikan dan asuhan yang telah diberikan? Tercapaikah harapan dan cita-cita atau impian orang tua? Bahagiakah anak dengan yang diperoleh dan dimilikinya? Mampukah ia menjadi sosok pribadi yang diangankannya sendiri, yang mungkin sama dengan harapan orang tua dan lingkungan pendidiknya yang lain? Semua jawaban itu baru akan tampak nanti, ketika anak sudah menjadi dewasa.


Proses pendidikan berlangsung dinamis, sesuai dengan kondisi perkembangan pribadi anak dan situasi lingkungan. Era globalisasi yang menandai abad 21 seyogianya tidak hanya dilihat sebagai hal yang mengancam, dengan dampak kecemasan atau kekhawatiran dalam mendidik anak, yang mungkin hanya akan menghasilkan kondisi perkembangan yang kurang menguntungkan. Kecemasan dan kekhawatiran biasanya akan menyebabkan orang tua menjadi tegang dan tertekan sehingga kurang mampu melihat alternatif, lalu justru menekan anak padahal tindakan itu lebih ditujukan untuk dapat menenteramkan dirinya sendiri.
[newpage]
Kondisi jaman dalam era globalisasi justru bisa dimanfaatkan untuk membangun sosok-sosok pribadi yang tangguh dan mandiri, antara lain karena terbiasa menghadapi persaingan yang ketat dan mampu memanfaatkan fasilitas dan peluang yang dibukakan oleh "pintu globalisasi." Untuk itu orang tua sangat perlu menyadari, bahwa kehidupan terus berkembang sesuai perputaran dunia, jaman pun berubah. Sangat diperlukan kemampuan dan kemauan untuk mengikuti perubahan dan senantiasa menyesuaikan diri.


Pengembangan Pola Perilaku Manusia Indonesia Yang Berkualitas Tinggi

Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, dengan latar belakang berbagai periode yang telah dijalaninya memerlukan kajian lintas disiplin ilmu agar bisa dirumuskan secara jelas dan tegas. Dalam kaitan ini sangat disadari bahwa kompleksitas permasalahan yang dihadapi dalam memunculkannya sekaligus mensyaratkan adanya dialog/komunikasi yang bersifat saling isi dan melengkapi antar berbagai ilmu yang terkait, sesuai dengan kondisi dan situasinya. Forum Organisasi Profesi Ilmiah Indonesia (FOPI) yang beranggotakan berbagai Organisasi Profesi Ilmiah (OPI) diharapkan secara ilmiah mampu merumuskan Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi sehingga arah pembangunan bangsa dan negara pun bisa ditata lebih baik. Untuk itu perlu dicarikan upaya agar dapat memberdayakan Manusia Indonesia dengan meningkatkan kualitas ketangguhan dan kemandirian dengan tetap peduli lingkungan (alam, sosial, budaya) sehingga lebih mampu menyikapi berbagai perubahan kondisi dan situasi. Hasil kajian tersebut diharapkan dapat memunculkan karakteristik Manusia Indonesia yang berkualitas tinggi, yang menggambarkan manusia dan budayanya (akhlak, moral, budi pekerti) serta kaitannya dengan kehidupan lingkungan (kependudukan, politik, ekonomi, sosial, alam). Gambaran tersebut kemudian dikaitkan dengan kondisi dan situasi yang harus dihadapi masyarakat Indonesia di masa depan, sehingga bisa dicarikan berbagai alternatif upaya yang perlu dan harus dilakukan agar Manusia Indonesia bisa menerima dan memahami dirinya serta mampu menyesuaikan diri dengan kondisi dan situasi lingkungan pada jamannya.


PENUTUP

Manusia Indonesia Abad 21 Yang Berkualitas Tinggi ditandai oleh lima ciri utama dari aspek-aspek perkembangan yang berlangsung secara seimbang dan selaras, yaitu perkembangan tubuh (fisik), kecerdasan (inteligensi), emosional (afeksi), sosialisasi, spiritual. Pola perawatan, asuhan, dan pendidikan anak hendaknya mengacu pada upaya pengembangan kelima aspek tersebut secara harmonis dan seimbang agar terbentuk pribadi yang sehat, cerdas, peka (sensitif), luwes beradaptasi dan bersandar pada hati nurani dalam bersikap dan bertindak. Dengan demikian meskipun ia berhadapan dengan gaya hidup global, pijakannya pada akar kehidupan tradisional yang menjadi cikal bakal kehidupan bangsa dan negaranya tidak akan hanyut terbawa arus kehidupan global. Justru ia akan dapat memilih dan memutuskan yang terbaik untuk diri, bangsa dan negaranya, baik untuk keperluan jangka pendek maupun jangka panjang. Penegakan hukum dan contoh yang diperlukan sebagai model pembentukan perilaku, baik yang ditunjukkan orang tua maupun masyarakat, menjadi penting.

Kerjasama antar disiplin ilmu dalam memecahkan masalah yang dihadapi saat ini sangat diperlukan. Pembangunan harus diarahkan pada cita-cita bangsa dan negara ketika republik ini didirikan. Kebersamaan menjadi penting untuk dapat menjaga kesatuan dan persatuan. Menyadari keterbatasan kemampuan diri sebagai individu dan kelebihan bekerja sama akan dapat menghindarkan suasana yang saling tuding, saling hujat, saling mencemooh, saling menepuk dada, saling melecehkan, adu kuasa dan adu kekuatan seperti yang tampak sekarang ini. Selain merugikan kehidupan bangsa dan negara, memunculkan ancaman perpecahan, perilaku tersebut tidak akan menempatkan individu dalam proses belajar memahami dan mentaati hukum. Apatis, tidak percaya diri dan tidak mampu bersaing di tatanan global atau menjadi bangsa yang memiliki self-efficacy, percaya diri dan mampu bersaing di tatanan global.