Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 20 Maret 2007 Umum

Produktivitas Tenaga Kerja Dari Perspektif Sosial

PRODUKTIVITAS TENAGA KERJA DARI PERSPEKTIF SOSIAL:
KES: ANEKA INDUSTRI DI INDONESIA

Antoni., SE., ME
Ph.D Student FE-UKM-Malaysia


Pendahuluan
Salah satu dari masalah-masalah utama dalam ketenagakerjaan di Indonesia adalah produktivitas tenaga kerja yang rendah. Padahal, untuk mempertahankan pertumbuhan ekspor non-migas, khususnya ekspor industri manufaktur pada waktu-waktu paska krisis ekonomi, Indonesia tidak dapat lagi mengandalkan diri pada sumber-sumber keunggulan komparatif yang tradisional, seperti tenaga kerja yang murah dan kekayaan alam. Indonesia perlu mengembangkan keunggulan komparatif yang dinamis, yakni sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas, produktif, dan profesional.

Rendahnya produktivitas sering kali dikaitkan dengan tingkat pendidikan. Diasumsikan makin tinggi tingkat pendidikan sesorang, makin tinggi pula tingkat produktivitas yang mungkin dapat dicapainya. Karena ini barangkali, kemampuan membaca dan menulis merupakan salah satu elemen penting tahap-tahap awal program industrialisasi (Wie, 1995). Pada tingkat industrialisasi yang lebih tinggi dibutuhkan ketrampilan teknik yang lebih maju.

Masalah produktivitas tenaga kerja, khususnya mereka yang bekerja di sektor aneka industri menengah dan besar dalam artikel ini merupakan sasaran telaahan. Pembahasan akan dititikberatkan terutama pada aspek sosialnya. Dapatkah masalah produktivitas tenaga kerja dipahami dari aspek sosial yang tercipta di lingkungan kerja? Adakah masalah-masalah sosial khusus tertentu mendorong meningkatnya produktivitas atau justru sebaliknya?

Konsep dan Teori Produktivitas
Pengertian produktivitas tenaga kerja dalam tulisan ini adalah tingkat kemampuan tenaga kerja dalam menghasilkan produk. Cara yang lazim digunakan adalah dengan membagi nilai tambah dengan jumlah tenaga bekerja yang terlibat dalam produksi tersebut (Pangestu, 1997:41).
Dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang telah maju, tingkat per-tumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia sampai tahun 1990 masih ter-belakang, masing-masing sekitar setengah atau dua pertiga di bawah produktivitas tenaga kerja Malaysia dan Thailand (Tabel 1).

Tabel 1. Produktivitas Tenaga Kerja, 1980-1990
(Perbandingan Internasional)

1980 1985 1990 1980-1990
Indonesia 3.519 3.880 4.467 26.9
Malaysia 8.007 10.308 11.903 48.7
Thailand 5.912 6.117 10.059 70.1
India 1.872 2.360 2.762 47.5

Sumber: Haryo Aswicahyono, "Transformation and Structural Change in Indonesia's Manufacturing Sector" in ME Pangestu and Yuri Sato (ed.), 1997: 9.

Di sektor aneka industri, khususnya pada industri tekstil dan garmen, produktivitas tenaga kerja Indonesia menunjukkan kecenderungan yang menurun. Apabila ini merupakan cerminan pertumbuhan produktivitas tenaga kerja Indonesia secara keseluruhan, sementara Malaysia dan Thailand mengalami pertumbuhan yang sama, tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia tentunya akan makin jauh tertinggal.

Di sub sektor tekstil dan garmen, tampak ada kesejajaran antara pola pertumbuhan sektor tersebut dan pola pertumbuhan produktivitas tenaga kerjanya. Industri tekstil, seperti industri pemintalan dan pertenunan modern, meluas dengan cepat sejak awal tahun 1970-an, sebagai akibat dari meningkatnya investasi secara cepat baik oleh investor domestik ataupun asing. Situasi waktu itu, memang menunjang, seperti permintaan domestik terhadap produksi tekstil meningkat dengan cepat, insentif yang menguntungkan yang diberikan oleh pemerintah untuk para investor. Hanya saja industri garmen berkembang agak lambat dibanding industri tekstil. Industri ini baru mulai tumbuh dengan cepat akhir tahun 1970-an, juga akibat adanya permintaan domestik yang terus meningkat dan kesempatan yang terus bertambah untuk ekspor. Awal tahun 1980-an, ekspor produk garmen mulai dilakukan, sehubungan dengan melemahnya permintaan domestik terutama oleh terjadinya hal-hal sebagai berikut: berakhirnya boom minyak; keuntungan komperatif rendahnya upah buruh; pemanfaatan quota dan adanya subsidi tingkat bunga kredit yang menguntungkan untuk ekspor. Akan tetapi, pertumbuhan industri-industri tersebut secara bertahap mengalami penurunan kembali, dan bahkan sampai tahun-tahun terakhir ini, yang disebabkan oleh turunnya harga penjulan akibat menurunnya perekonomian Amerika, Eropa dan Jepang dan sebagian disebabkan juga makin kuatnya persaingan yang muncul dari negara-negara seperti Cina, India dan Pakistan. Di pasar-pasar non-quota, daya saing ekspor garmen Indonesia lemah (Pangestu, 1997:51).

Produktivitas tenaga kerja di sub-sektor garmen mengalami peningkatan tertinggi dibandingkan dengan sub-sektor lainnya. Bahkan pada waktu produktivitas tenaga kerja di sektor pemintalan dan pertenunan mengalami penurunan yang tajam pada tahun 1990-1993, produktivitas tenaga kerja sektor garmen mengalami peningkatan sampai tiga kali lipat dibandingkan dengan produktivitas pada periode 1986-1990. Pertumbuhan ini sejajar dengan kenyataan bahwa ada peningkatan yang luar biasa pada perusahaan-perusahaan asing di sub-sektor garmen, khususnya perusahaan-perusahaan Korea.
Walaupun begitu, karena sejumlah perusahaan asing menarik diri dan adanya perkembangan lain yang kurang menguntungkan yang terjadi sejak tahun 1993, pertumbuhan produktivitas sektor garmen diperkirakan mengalami penurunan dalam periode antara tahun 1993 dan 1996 (Pangestu, 1997, 42-43). Krisis ekonomi yang terjadi di Indonesia sejak pertengahan tahun 1997 dan yang belum menampakkan tanda-tanda berakhir sampai saat ini yang berakibat mengalirnya modal ke luar negeri dan macetnya ekspor produk garmen, tentu saja akan memperburuk tingkat produktivitas tenaga kerja sektor garmen tersebut.
Rendahnya tingkat produktivitas tenaga kerja Indonesia yang masih rendah bila dibandingkan dengan negara-negara Asia lainnya yang lebih maju tentu saja melahirkan kekhawatiran, mengingat Indonesia makin dituntut untuk mampu melakukan kompetisi di pasar internasional akibat makin kuatnya sistem perdagangan bebas. Produktivitas tenaga kerja yang tinggi merupakan salah satu variabel penting dalam keunggulan persaingan (Hadisuwito, 1996: 79-86).
Berbagai faktor mempengaruhi produktivitas tenaga kerja, termasuk juga faktor sosial ketenagakerjaan, sehingga produktivitas tenaga kerja mengalami penurunan atau tetap rendah. Berbagai faktor yang berkenaan dengan sosial ketenagakerjaan tersebut dapat dikelompokkan ke dalam sebab yang kondisional, yang mendasar sifatnya, sebab tidak langsung dan sebab yang langsung. Gaya hidup industrial merupakan sebab yang sifatnya mendasar tersebut. Posisi dan status pekerja dalam bekerja merupakan sebab tidak langsungnya. Sementara tingkat kepuasan pekerja terhadap hasil pekerjaan merupakan sebab langsung dari merosot atau rendahnya produktivitas tenaga kerja.
Gaya Hidup Industrial
Pekerja-pekerja di perusahaan aneka industri menengah dan besar yang diteliti bersifat heterogen. Paling tidak hal itu dapat dilihat dari segi etnis. Garis pemisah antara satu etnis dengan etnis lain cukup jelas, sekalipun di daerah tertentu, garis pemisah itu tampak samar-samar. Perbedaan yang bersifat kesukuan ini tampaknya tercermin pada kebiasaan kerja mereka.
Sebuah fenomena yang mencolok adalah dominasi pekerja suku bangsa Jawa, mencapai 62,2% dari seluruh pekerja yang bekerja di perusahaan-perusahaan aneka industri menengah dan besar (Hikam, 1998; Wiranta, 1998) Melihat kenyataan tersebut, apakah produktivitas tenaga kerja yang ada dipengaruhi oleh kebiasaan kerja pekerja-pekerja orang Jawa? Atau lebih jauh dari itu, apakah kemerosotan produktivitas tenaga kerja sebagaimana yang telah diuraikan diatas ada kaitanya dengan filsafah Jawa "alon-alon waton kelakon" (lambat-lambat asal selamat)?
Sejumlah manajer personalia dari perusahaan-perusahaan yang berbeda yang diwawancarai memberikan informasi yang menarik tentang perilaku pekerja orang Jawa. Dikatakan bahwa pekerja orang-orang Jawa mempunyai sifat-sifat dan kebiasaan yang menguntungkan. Mereka ulet, teliti, sabar, mempunyai toleransi yang tinggi, dan mudah diatur. Yang demikian ini, menurut mereka, sangat membantu untuk meningkatkan produktivitas. Bahkan seorang manajer dari sebuah perusahaan kayu lapis mengaku telah mengembangkan sistem menajemen yang diilhami oleh kebiasaan orang Jawa. Perlu dicatat bahwa perusahaan yang dipimpinnya mempekerjakan orang-orang Jawa, yang mencapai 75%, sementara ia sendiri bukanlah orang Jawa.
Terdapat banyak faktor yang mempengaruhi seseorang, atau suku bangsa tertentu, mempunyai sikap industrial yang kuat. Salah satu faktor penting adalah faktor ekonomi, khususnya kesempatan atau alternatif lain yang memungkinkan seseorang, atau sekelompok orang memilih profesi sebagai sumber perekonomian mereka. Kebiasaan kerja yang ulet, teliti, dan sabar merupakan unsur-unsur yang mendukung ke arah tercapainya produktivitas yang tinggi. Selain ulet, teliti dan sabar, bukankah sifat-sifat toleransi yang tinggi dan mudah diatur merupakan modal untuk penerapan peraturan perusahaan, khususnya yang berkaitan dengan pengupahan, sehingga dengan demikian dapat lebih menguntungkan perusahaan. Berapa penelitian tentang UMR yang belakangan ini dilakukan oleh LIPI menunjukkan banyak perusahaan yang memberikan upah di bawah UMR, atau menggunakan UMR sebagai standar maksimal pengupahan yang diterapkan (Hikam 1998, Wiranta, 1998). Ini semua memang menyangkut hal-hal yang sulit dan sangat peka. Untuk memberikan jawaban yang memadai tentu saja perlu terlebih dahulu dilakukan penelitian khusus yang mendalam, hati-hati, dalam kurun waktu yang panjang.
Barangkali mudah dimengerti bahwa situasi kerja mempunyai pengaruh penting terhadap proses terbentuknya sikap kompetitif dalam mencapai hasil kerja yang berkualitas di kalangan pekerja. Berikut adalah pembahasan terhadap beberapa faktor yang dapat mempengaruhi situasi kerja yang dimaksud, khususnya tentang sistem upah dan sistem bonus. Sistem upah dan sistem bonus dalam arti yang objektif bukanlah masalah. Akan tetapi, bila hal yang objektif itu diterjemahkan dalam pengertian yang subjektif, yang diinterpretasikan sebagai ketidakadilan, pemerasan, dan sebagainya, sistem upah dan bonus tersebut mempunyai pengaruh besar terhadap hubungan kerja yang tercipta, yang selanjutnya ikut mempengaruhi tingkat produktivitas.
Sistem Upah
Berdasarkan data-data empiris, sistem upah yang umumnya diberlakukan di perusahaan-perusahaan menempatkan pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan. Dalam pembagian keuntungan misalnya, kelompok kerja menempati posisi yang marginal. Penetapan upah kerja didasarkan pada prinsip keuntungan yang sebesar-besarnya bagi perusahaan, dan dinamika upah kerja tidak berkaitan langsung dengan produktivitas. Artinya tinggi rendahnya upah riil banyak tergantung pada manajer perusahaan, atau bahkan pada pemilik perusahaan (Hikam, 1996; Wiranta, 1998: 17). Dalam penetapan upah, pekerja merupakan kelompok yang tidak perlu dilibatkan dan mereka kurang menikmati keuntungan perusahaan yang seharusnya mereka peroleh. Kondisi seperti ini antara lain yang mendorong pemerintah campur tangan dan memberlakukan UMR. (Masduqi, 1996; Hikam, 1998).
Rendahnya upah kerja jelas menyebabkan pekerja tidak betah bekerja dan mendorong pekerja berusaha pindah kerja, mencari pekerjaan lain yang menjanjikan upah yang lebih besar. Dari hasil penelitian kasus di Aceh, Samarinda, dan Semarang, terlihat tingginya persentase perpindahan kerja. Sebagian besar atau 54,1% dari 150 responden menyatakan pernah pindah pekerjaan (Hikam, 1996). Padahal, apabila pekerja telah setia dan bekerja di satu perusahaan dalam waktu yang lama, mereka akan menjadi makin produktif. Pengalaman kerja yang lama tersebut akan memberikan keterampilan bagaimana melakukan pekerjaan yang lebih baik, menguasai cara-cara untuk memperkecil biaya produksi, dan bagaimana meningkatkan kualitas.
Selain upah yang kecil, sistem pengupahan yang tidak mempertimbangkan masa kerja juga mempunyai pengaruh yang kurang baik. Pekerja yang bekerja sebagai operator, yakni tingkat terbawah dari pelapisan pekerja di perusahaan-perusahaan, akan menerima upah yang sama, baik bulanan atau harian, dengan pekerja yang baru masuk, sekalipun ia telah bekerja bertahun-tahun di perusahaan tersebut (Wiranta, 1998). Sementara kesempatan untuk promosi menempati jenjang yang lebih tinggi dalam struktur kepegawaian perusahaan sangat terbatas.
Training atau pelatihan-pelatihan yang diselenggarakan oleh perusahaan selain tidak banyak, juga kurang mendukung promosi karir mereka. Latihan-latihan yang diadakan lebih bermanfaat untuk meningkatkan ketrampilan pekerja dalam menjalankan tugas mereka. Penetapan upah harian atau upah bulanan juga tidak didasarkan pada aturan yang jelas. Di perusahaan-perusahaan, sering terjadi kasus seseorang pekerja yang baru masuk memperoleh upah bulanan. Sementara mereka yang telah bertahun-tahun bekerja di perusahaan tersebut tetap berstatus sebagai pekerja dengan upah harian. Dari keterangan beberapa pekerja yang kebetulan di unit kerjanya terjadi kasus demikian diketahui bahwa pekerja-pekerja seperti tersebut adalah mereka yang dibawa atau yang dimasukkan oleh mandor atau shift master. Upah bulanan lebih menguntungkan pekerja dibandingkan dengan upah harian. Seorang pekerja dengan upah bulanan akan mendapatkan gaji penuh, sekalipun ia absen tidak masuk kerja asalkan dengan alasan yang dapat diterima. Sementara pekerja dengan upah harian akan menerima gaji dengan potongan jumlah hari tidak masuk, sekalipun dengan alasan yang kuat. Sistem penggajian yang menempatkan para pekerja pada posisi yang kurang menguntungkan dapat melahirkan interpretasi yang negatif, dan yang seperti ini tentu saja akan berpengaruh pada semangat kerja mereka.
Sistem Bonus
Faktor lain yang mungkin mempengaruhi suasana kerja dan yang lebih lanjut menyebabkan rendahnya semangat kompetitif di kalangan pekerja adalah sistem bonus dan penilaian prestasi yang kurang transparan. Penentuan siapa yang berhak memperoleh uang insentif, bonus atau bentuk insentif yang lain, adalah wewenang perusahaan. Pekerja tidak mengetahui secara jelas dasar penilaian prestasi tersebut. Berdasarkan data lapangan, level terendah yang mengetahui sistem penilaian ini adalah mandor. Lebih dari itu, hasil wawancara dengan sejumlah manajer personalia dan manajer produksi memberi kesan kuat bahwa pemberian insentif tidak didasarkan atas hak yang harus diperoleh pekerja, tetapi pada usaha untuk meningkatkan produksi.
Ada sejumlah penghasilan tambahan yang dapat dikelompokkan pada uang insentif. Pertama adalah THR, yakni insentif yang diberikan satu tahun sekali menjelang hari Idul Fitri. Uang THR ini diberikan pada setiap pekerja dengan jumlah yang telah ditetapkan sebelumnya. Sejauh ini uang insentif THR tidak menimbulkan hal-hal yang negatif di kalangan pekerja. Selain THR, ada uang insentif tiga bulanan, tahunan atau uang insentif lainnya yang diberikan kepada orang-orang tertentu. Berbeda dengan THR, pada saat-saat pemberian uang insentif ini, ketidakpuasan selalu muncul dan kasak-kusuk senantiasa terjadi di antara mereka, yang isinya ketidakpuasan terhadap orang-orang tertentu yang menurut penilaian mereka tidak pantas mendapat uang insentif. Di kalangan pekerja pabrik garmen di Semarang misalnya saat-saat seperti ini disebut sebagai saat-saat (periode) nggrundel (ngomel-ngomel). Bisa dimengerti karena sistem pemberian uang insentif dengan kriteria yang hanya diketahui oleh sekelompok kecil orang membuka peluang terjadinya ketidakjujuran.
Kepuasan dan Terbatasnya Inisiatif
Selain menyebabkan munculnya sikap yang skeptis dan statis, kurang tumbuhnya sikap kompetitif di kalangan pekerja juga mendorong lahirnya sikap yang cepat puas dan kurangnya inisiatif, mereka sulit memahami bahwa keterkaitan antara prestasi dan imbalan (upah) yang diperolehnya itu ada. Lebih-lebih bagi para pekerja yang merasa seharusnya mendapat insentif karena prestasinya, ternyata tidak memperoleh. Sementara yang kebetulan menerima uang insentif merasa bahwa itu adalah atas kebaikan perusahaan, dan bukannya sesuatu yang memang merupakan hak bagi mereka.


Tingkat Kepuasan Kerja
Sikap cepat puas diri terhadap hasil pekerjaan yang dicapai, apapun kualitasnya, dapat membawa mereka pada skala ekonomi subsistem, dan yang lebih lanjut akan berpengaruh pada kreativitas mereka. Sekalipun mereka tetap bekerja, akan tetapi apa yang mereka lakukan lebih didasarkan pada pandangan tenaga atau kemampuan yang ada untuk mem-peroleh ha- sil sekedar mencukupi kebutuhan, bukannya berdasarkan prinsip ekonomi murni, yakni dengan kemampuan dan tenaga yang dimiliki diusahakan untuk memperoleh hasil yang sebanyak-banyaknya. Pandangan seperti itu sedikit banyak tercermin pada sebagian besar pekerja di perusahaan-perusahaan aneka industri. Mereka pada umumnya menjawab berpenghasilan cukup bila ditanya tentang pendapatan mereka. Ketika ditanya kemungkinan pindah kerja untuk memperoleh upah yang lebih besar, hampir semuanya mempunyai keinginan untuk itu. Akan tetapi, mereka tidak mela-kukannya karena takut tidak dapat memperoleh lagi pekerjaan. Kemampuan untuk bersaing dari mereka tampaknya cukup terbatas. Lebih-lebih bila diingat surplus angkatan kerja yang cukup tinggi (Hadisuwito, 1996: 79-86; Anonim, 1994: 25-28).
Tingkat upah yang pas-pasan ditambah dengan situasi kerja yang membuka kemungkinan munculnya ketidakpuasan sebagaimana yang telah diuraikan kurang memacu semangat pekerja untuk lebih berprestasi. Mereka bekerja sebatas wajar-wajar saja, sekalipun sebagian besar dari mereka (93,2%) menyadari bahwa pekerja yang rajin dan disiplin dapat meraih sukses di masa mendatang (Hikam, 1996).
Keterbatasan Inisiatif
Selain pada terbatasnya tingkat kepuasan, kurangnya inisiatif juga merupakan akibat logis dari rendahnya tingkat kompetitif di kalangan pekerja. Ini terlihat misalnya pada kebanggaan yang tidak pada tempatnya terhadap pekerja yang mereka miliki. Pekerja-pekerja yang penuh inisiatif tentunya akan merasa bangga terhadap pekerjaannya bila dapat menunjukkan prestasi yang gemilang. Sebaliknya, kebanggaan pekerja-pekerja yang kurang inisiatif, bila ada, bukannya didasarkan pada prestasi yang mereka capai, tetapi dapat juga karena faktor lain.
Hasil penelitian tentang produktivitas dan kinerja pada pekerja di sektor aneka industri di Aceh, Samarinda, dan Semarang menunjukkan hasil yang menarik. Hampir semua responden yang diteliti, yakni 85% menyatakan bangga atas pekerjaan yang mereka miliki. Hanya 4,7% yang menyatakan tidak bangga. Selebihnya tidak menjawab atau tidak tahu (Hikam, 1996). Akan tetapi kebanggaan mereka tidak didapatkan pada prestasi yang mereka capai, melainkan karena ia bekerja dan dengan statusnya itu mereka merasa lebih dihormati masyarakat, mereka mendapatkan "dirinya", atau karena alasan yang lain. Tabel 4 berikut menunjukkan kecilnya jumlah pekerja (31,8%) yang bangga terhadap pekerjaan mereka karena keahlian atau prestasi mereka.
Yang lebih menarik adalah bahwa 82,4% dari responden yang menyatakan bangga terhadap pekerjaan mereka adalah responden yang berumur antara 20 tahun sampai 34 tahun, yakni masa-masa produktif bagi seseorang. Kebanggaan terhadap pekerjaan yang bukan berdasarkan pada prestasi kerja tentu saja mencerminkan terbatasnya kreativitas pekerja, yang pada gilirannya jelas akan mempengaruhi tingkat produktivitasnya. Lebih-lebih bila diingat sikap seperti itu meliputi sebagian besar angkatan kerja usia produktif.
Penutup
Hasil kajian ketenagakerjaan di Indonesia ternyata sedikit banyak dapat memberikan visi lain tentang produktivitas tenaga kerja Indonesia. Dari paparan diatas terlihat bahwa hubungan sosial yang kurang serasi, menciptakan situasi yang tidak kondusif terhadap tumbuhnya semangat kompetitif di kalangan pekerja, yang pada gilirannya berpengaruh pula pada munculnya sikap yang cepat puas diri terhadap hasil pekerjaan, inisiatif yang terbatas, dan bahkan sikap yang skeptis dan statis di kalangan pekerja. Diskusi seperti ini tentu saja dapat melengkapi studi-studi tentang produktivitas tenaga kerja Indonesia dari prespektif yang berbeda. Apapun kebijasanaan yang diterapkan, bila dapat memperkecil atau menghilangkan faktor-faktor penghambat tersebut, produktivitas yang tinggi tentu saja dapat diharapkan.

Daftar Pustaka

Anonim. (1994). Analisis Pengkajian Pembangunan Sumber Daya Manusia Propinsi Daerah Tingkat I Jawa Tengah, 1993/1994, Departemen Tenaga Kerja Kantor Wilayah Propinsi Jawa Tengah.
Aswicahyono, H. (1997) "Transformation and Structural Change in Indonesia's Manufacturing Sector", in Mari E. Pangestu and Yuri Sato, Waves of Change in Indonesia's Manufacturing Industry, Tokyo, Institute of Developing Economies.
Hadisuwito, S. (1996). "Manfaat Momentum Kenaikan Upah", Prisma, No.7.
Hikam, M.A.S., (ed.). (1996). Studi Kebijakan Pemerintah Dalam Masalah Tenaga Kerja: Kinerja dan Produktivitas Tenaga Kerja di Sektor Industri. Jakarta: PEP-LIPI.
-------------., (ed.). (1998). Strategi Kebijaksanaan Pemerintah Dalam Masalah Pengupahan Tenaga Kerja: Studi Kasus Pada Perusahaan Menengah dan Besar di Sektor Industri Pengolahan Ringan. Jakarta, PEP-LIPI.
Masduqi, T. (1996). "Menunggu Reformasi Lewat Politik", Prisma, No.7.
Pangestu, M. E. and Sato, Y., (ed.). (1997). Waves of Change in Indonesia's Manufacturing Industry. Tokyo: Institute of Developing Economics.
Pangestu, M. E. (1997). "The Indonesian Textile and Garment Industry: Structural Change and Competitive Challenges", in Mari E Pangestu and Yuri Sato, Waves of Change in Indonesia's Manufacturing Industry. Tokyo: Institute of Developing Economies.
Wie, T.K. (1995). Pengembangan Kemampuan Teknologi di Indonesia. Jakarta: PEP-LIPI.
Wiranta, S. (ed.). (1998). Penanganan UMR Dalam Sektor Industri Manufaktur. Jakarta: Puslitbang Ekonomi dan Pembangunan (PEP)-LIPI.