Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 24 Juli 2007 Umum

Riset Perguruan Tinggi Berhenti di Perpustakaan?

Mahasiswa sendiri, cenderung menganggap penelitian yang dilakukannya sekadar memenuhi tugas akhir. "Dipakai atau tidak, itu urusan nanti. Sekarang sih yang penting beres kuliah dulu. Biarpun nggak dipakai di masyarakat, kan bisa dipakai untuk praktikum anak-anak angkatan bawah, ujar Fajar, salah seorang mahasiswa PTS.
Ignatius Haryanto di harian Kompas (Kamis, 28 Februari 2002) mengatakan bahwa banyak penelitian yang seharusnya dilakukan oleh perguruan tinggi kini malah banyak diambil alih oleh lembaga swadaya masyarakat (LSM), yang berstatus lembaga studi atau konsultan. Padahal sebenarnya aktivitas penelitian di perguruan tinggi sebenarnya lebih banyak dilakukan oleh mahasiswa S1, S2, maupun S3. Akan tetapi, karena dosen yang memegang otoritas manajemen penelitian di perguruan tinggi akhirnya hanya dosen saja yang banyak melakukan aktivitas penelitian. Padahal, jangan lupa bahwa penelitian mahasiswa untuk skripsi S1, tesis S2, dan disertasi S3 pun ada yang bermutu dan layak untuk dikembangkan. Hanya saja karya-karya itu kebanyakan sekadar formalitas, memenuhi KUM untuk naik pangkat dan pada akhirnya tertumpuk di perpustakaan.

Konsep Tridarma Perguruan Tinggi, yaitu pendidikan, penelitian, dan pengabdian pada masyarakat yang didukung oleh penelitian. Industri sebagai konsumen hasil penelitian pun akan tertarik memakainya untuk kemudian memberi dana pelaksanaan riset di perguruan tinggi. Itulah relasi yang secara umum diharapkan akan tejadi. Namun demikian, selama ini industri belum melihat penelitian perguruan tinggi sebagai sesuatu yang harus dimanfaatkan. Selama ini banyak dana penelitian dari pemerintah hampir sebagian besar disalurkan melalui Dewan Riset Nasional di bawah Kementerian Riset dan Teknologi. Sejak 1993 pemerintah membuat program riset unggulan terpadu (RUT). Kemudian juga ada program riset unggulan kemitraan (RUK). Mengingat banyak peneliti di Indonesia--sebenarnya staf pengajar pada berbagai perguruan tinggi--lewat Departemen Pendidikan Nasional, pemerintah juga menelurkan proyek dan penelitian hibah bersaing.

Sebenarnya, menjual hasil penelitian bagi PTN dan PTS memiliki nilai yang strategis. Lembaga perguruan tinggi dengan staf akademik yang berpengalaman atau lembaga-lembaga studi di bawahnya adalah aset yang bernilai tinggi dan tak dimiliki oleh lembaga lain. Maka, dosen-dosen dan lembaga studi diharapkan lebih banyak berkarya di perguruan tinggi masing-masing.

Selama ini, kita mengenal dua jenis riset. Pertama, riset yang memiliki kontribusi pada pengembangan sains dan teknologi. Biasanya, penelitian ini harus dipublikasikan ke dalam jurnal ilmiah. Output yang diharapkan adalah adanya dialog ilmiah antar ilmuwan. Yang kedua, riset yang bersifat terapan, yang output-nya harus dipatenkan, dan bila masyarakat atau industri bermaksud mengaplikasikannya harus membayar.

Mekanisme pembayaran inilah yang akan menjamin relasi perguruan tinggi, industri dan dunia penelitian akan terjaga konsistensinya. Namun demikian, berkait dengan bidang ilmu yang diasuh di perguruan tinggi, tidak selamanya hasil riset bisa dipatenkan. Bagi ilmuwan sosial tentu hasil riset tak selalu menghasilkan barang yang bisa dipakai langsung oleh masyarakat. Juga, riset sosial seperti ini bisa menarik dana yang besar. Penelitian juga bisa didesain lintas disiplin, sehingga mampu melibatkan semua sivitas berbagai fakultas.

Kini dana dana penelitian dari pemerintah semakin lancar dan beragam. Selain itu, banyak lembaga funding dari luar yang menawarkan dana-dana penelitian kepada perguruan tinggi, sehingga kini harapan akan hasil penelitian perguruan tinggi yang hebat akan semakin nyata. Penelitian sosial di perguruan tinggi sepertinya juga sudah saatnya untuk melirik kebutuhan pasar. Misalnya penelitian tentang konflik sosial atau upaya rekonsiliasi dan penelitian yang benar-benar dibutuhkan oleh masyarakat Indonesia. Sebab, para funding pun kini telah mengubah orientasi bantuannya dari sekadar mengucurkan dana ke studi yang cermat atas persoalan-persoalan yang mengemuka di wilayah tempat penelitiannya.

Menjual hasil penelitian dan penelitian itu sendiri adalah jalur strategis, maka pola manajemen dan pencarian ide harus secepatnya dibenahi, sehingga perguruan tinggi mampu memberikan output yang benar-benar sesuai bidangnya. Di sisi lain juga akan memberikan terobosan untuk memperoleh dana, sehingga tidak mengandalkan satu-satunya sumber keuangan, SPP mahasiswa seperti yang terjadi selama ini.**

  • (Indrawadi,S.Pi Univ.Bung Hatta Padang)