Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 01 Agustus 2007 Ekonomi

Pembangunan Agro Estate Kelapa Sawit Dalam Upaya Percepatan Pemberdayaan Ekonomi Pedesaan

PENDAHULUAN

Guna mewujudkan tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan, terutama di sektor pertanian maka dipersiapkan kebijakan strategis untuk memperbesar atau mempercepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan agribisnis yang terencana dengan baik dan terkait dengan pembangunan sektor ekonomi lainnya.

Pengembangan ekonomi kerakyatan bagi pemerintah Daerah Riau dilaksanakan melalui program pengetasan kemiskinan, peningkatan kualitas sumberdaya manusia, dan pembangunan infrastruktur. Program ini lebih dikenal dengan K2I (Kebodohan, Kemiskinan, dan Infrastruktur). Setiap pembangunan di daerah tidak terlepas dari program K2I yang akan dilaksanakan oleh pemerintah daerah.

Pembangunan daerah dengan program K2I sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, maka kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan. Potensi tersebut antara lain: 1) pengembangan tanaman hortikultura; 2) tanaman perkebunan; 3) usaha perikanan; 4) usaha peternakan; 5) usaha pertambangan; 6) sektor industri; dan 7) potensi keparawisataan.

Untuk merangsang pertumbuhan ekonomi di pedesaan khususnya Daerah Riau, kebijaksanaan ekonomi harus menganut paradigma baru dimana pemberdayaan ekonomi rakyat harus menjadi perhatian utama. Sebagian besar rakyat hidup pada sektor pertanian dan sektor ini masih memberikan kontribusi yang besar pada perekonomian daerah. Pemberdayaan ekonomi rakyat melalui pembangunan sektor pertanian juga berarti membangun ekonomi daerah lebih baik.

Tanpa disadari sumber penghasilan penduduk Riau sebagian besar dari sektor pertanian, yaitu dari subsektor perkebunan, tanaman pangan, peternakan, dan hortikultura. Pertanian merupakan mata pencarian pokok masyarakat karena daerah ini memang sesuai untuk kegiatan pertanian terutama sub sektor perkebunan (kelapa sawit, karet). Dari sektor perkebunan menunjukkan hasil yang cukup menggembirakan petani, karena dapat memberikan kontribusi yang tinggi terhadap pendapatan keluarga. Namun sebagian masyarakat yang tidak terlibat dalam kegiatan perkebunan kehidupannya sangat memprihatinkan, karena keterbatasan sumberdaya yang mereka miliki, antara lain: modal, tingkat pendidikan, dan keterbatasan pengetahuan mereka terhadap pemasaran produk pertanian. Dari sisi lain juga masih banyaknya daerah terisolir dan terbatasnya sarana transportasi. Hal ini menyebabkan sulitnya masyarakat petani untuk memasarkan produk mereka ke luar daerah (Almasdi Syahza, 2002b).


HASIL PENELITIAN

Konsep pembangunan perkebunan di pedesaan untuk masa datang, dirancang dalam bentuk kerja sama dengan perusahaan pengembang, yaitu: Agroestate Kelapa Sawit. Model ini merupakan pembangunan perkebunan berbasis kelapa sawit yang diperuntukkan bagi petani peserta baru. Petani ini sama sekali tidak mempunyai lahan untuk jaminan kehidupannya atau tidak mempunyai lahan untuk hidup layak bagi keluarga petani. Model ini merupakan pengembangan dari konsep agropolitan yang dicetuskan oleh Friedman dan Douglass (1976). Konsep agropolitan adalah salah satu strategi dalam percepatan pembangunan ekonomi pedesaan.

Secara singkat konsep model agroestate kelapa sawit yang akan melibatkan masyarakat pedesaan disajikan pada Gambar 1.

Gambar 1. Skema Konseptual Agroestate Kelapa Sawit di Pedesaan

  1. Perusahaan pengembang (developer) membangun kebun (usahatani) dan pabrik pengolahan hasil kebun (agribisnis) sampai kebun dalam bentuk siap menghasilkan dan pabrik industri dalam bentuk siap operasi. Sumber dana untuk membangun kebun pabrik dapat menggunakan dana sendiri atau pinjaman dari bank atau pihak lain yang memungkinkan.
  2. Kebun dan pabrik yang sudah dibangun oleh developer dijual dalam bentuk unit kaveling atau saham pabrik kepada petani aktif yaitu petani yang benar-benar berminat untuk mengelola kebun dan pesertanya adalah masyarakat pedesaan. Sebagai pemilik kebun petani peserta akan menerima sertifikat pemilikan tanah dan sebagai bukti pemilikan pabrik petani peserta akan menerima surat berharga dalam bentuk lembaran saham.
  3. Para petani peserta membeli kebun dan saham pabrik dengan menggunakan fasilitas kredit lembaga pembiayaan yang ada. Skim kredit ini difasilitasi ketersediaannya oleh pengusaha pengembang atau dapat pula oleh koperasi. Para petani peserta sebagai pemilik unit kavling menyerahkan pengelolaan (manajemen fee) yang besarnya telah ditentukan didalam kontrak manajemen berdasarkan kesepakatan. Perusahaan jasa manajemen akan mengelola kebun dan pabrik dengan prinsip-prinsip manajemen perkebunan yang terbaik dan profesional.
  4. Kepemilikan modal pabrik kelapa sawit (PKS) bagi petani peserta dibatasi maksimum 40 % dari total modal kerja, selebihnya dimiliki oleh perusahaan inti dan saham pemerintah daerah. Ini bertujuan untuk menjaga profesional pengelolaan PKS.
  5. Dalam pengelolaan kebun, petani aktif dikelompokkan ke dalam kelompok petani hamparan (KPH) dan diperlukan sebagai tenaga kerja yang mendapatkan upah sesuai kesepakatan.
  6. Pendapatan petani diharapkan cukup besar, karena dapat berasal dari berbagai sumber. Bagi petani aktif pendapatannya akan bersumber dari hasil panen kebun miliknya, upah kerja, dan dividen saham pabrik. Keunggulan lain adalah kontiniutas bahan baku untuk PKS akan terjamin karena petani merasa memiliki PKS sehingga kemungkinan menjual TBS ke PKS lain akan terhindar.
  7. Perusahaan pengembang (developer) akan mengembalikan modal yang dipakai (dana sendiri, dan pinjaman dari lembaga pembiayaan) dan akan mendapatkan keuntungan dari hasil kebun dan saham pabrik industri yang telah dibangun.

Di dalam model pengusahaan agribisnis kelapa sawit terdapat dua kegiatan bisnis utama yaitu yang pertama kegiatan bisnis membangun kebun dan pabrik industri yang akan dilakukan oleh perusahaan pengembang (developer), sedangkan yang kedua adalah bisnis usahatani kelapa sawit dan pabrik milik petani peserta serta memasarkan hasil olahannya yang dilakukan oleh koperasi, yaitu suatu badan usaha jasa manajemen pengelola (sebagai operator atau administrator kebun dan pabrik).

Mengingat banyak pihak yang terlibat dalam bisnis pengembangan dan pengelolaan usaha kelapa sawit, antara lain: developer, badan usaha pengelola (koperasi), petani peserta, dan lembaga pembiayaan. Untuk itu diperlukan pengaturan mekanisme kerja yang baku/standar yang menjadi pedoman bagi pihak yang berkepentingan dalam bisnis kelapa sawit.


KESIMPULAN

Untuk mewujudkan tujuan pengembangan ekonomi kerakyatan melalui program K2I, terutama di sektor pertanian maka perlu dipersiapkan kebijakan strategis untuk memperbesar atau mempercepat pertumbuhan sektor pertanian, khususnya peningkatan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Salah satu cara untuk mencapai tujuan tersebut adalah pengembangan agribisnis yang terencana dengan baik dan terkait dengan pembangunan sektor ekonomi lainnya.

Pembangunan industri hilir kelapa sawit harus dirancang dalam bentuk agroestate kelapa sawit. Konsep agroestate kelapa sawit merupakan bentuk kerjasama antara perusahaan inti dengan petani peserta dalam bentuk kepemilikan kebun dan saham PKS. Petani membeli paket melalui koperasi yang terdiri dari kebun kelapa sawit dan saham PKS.

Pembangunan agroestate yang dirancang harus mengutamakan prinsip saling menguntungkan dan dapat meningkatkan pendapatan serta kesejahteraan masyarakat pedesaan. Kelembagaannya dirancang dalam jaringan kerja berdasarkan kemampuan dan profesionalisme yang dimiliki dari berbagai pelaku bisnis.



Almasdi Syahza,
Staf Pengajar pada Program Studi Agribisnis Universitas Riau
Email: syahza@telkom.net; asyahza@yahoo.co.id