Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 07 Agustus 2007 Ekonomi

Dampak Pembangunan Perkebunan Kelapa Sawit Terhadap Multiplier Effect Ekonomi Pedesaan di Riau

PENDAHULUAN

Perkembangan sektor pertanian di daerah Riau sampai saat ini cukup menggembirakan, namun tingkat pendapatan masyarakat dari usaha pertanian belum meningkat seperti yang diharapkan. Karena itu Pemerintah Daerah Riau mencanangkan sasaran pembangunan Daerah Riau harus mengacu kepada Lima Pilar Utama, yaitu: 1) pembangunan ekonomi berbasiskan kerakyatan; 2) pembinaan dan pengembangan sumberdaya manusia; 3) pembangunan kesehatan/olahraga; 4) pembangunan/kegiatan seni budaya; dan 5) pembangunan dalam rangka meningkatkan iman dan taqwa. Pembangunan ekonomi kerakyatan difokuskan kepada pemberdayaan petani terutama di pedesaan, nelayan, perajin, dan pengusaha industri kecil.

Setiap pembangunan yang dilaksanakan harus mengacu kepada lima pilar utama pembangunan daerah Riau. Karena pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, maka kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan, khususnya sektor pertanian. Potensi tersebut antara lain: 1) tanaman hortikultura; 2) tanaman perkebunan; 3) usaha perikanan; 4) usaha peternakan; 5) usaha pertambangan; 6) sektor industri; dan 7) potensi keparawisataan. Pengembangan sektor pertanian dalam arti luas harus diarahkan kepada sistem agribisnis dan agroindustri, karena pendekatan ini akan dapat meningkatkan nilai tambah sektor pertanian, yang pada hakekatnya dapat meningkatkan pendapatan bagi pelaku-pelaku agribisnis dan agroindustri di daerah.

Untuk pembangunan ekonomi pedesaan pemerintah daerah telah mengembangkan sektor pertanian khususnya sub sektor perkebunan. Arah kebijaksanaan sektor perkebunan ini adalah melaksanakan perluasan areal perkebunan dengan menggunakan sistem perkebunan inti rakyat (PIR), program kredit koperasi primer untuk anggota (KKPA) serta memberikan kesempatan kepada perkebunan swasta. Sub sektor ini dapat menyerap tenaga kerja, menunjang program permukiman dan mobilitas penduduk serta meningkatkan produksi dalam negeri maupun ekspor nonmigas. Perkebunan yang banyak dikembangkan di daerah Riau adalah perkebunan kelapa sawit, karet, dan kelapa. Untuk sektor perkebunan Pemerintah Daerah Riau menetapkan kelapa sawit sebagai komoditas unggulan daerah.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit pada hakekatnya adalah pembangunan ekonomi yang berorientasi pedesaan. Sasaran pembangunan sektor perkebunan tersebut adalah dapat meningkatkan pendapatan masyarakat pedesaan. Dengan demikian jumlah masyarakat miskin terutama di pedesaan dapat dikurangi (Saragih, 2001). Tujuan pokok proyek perkebunan yang dilaksanakan itu adalah; pertama, meningkatkan produktivitas kebun-kebun rakyat dengan cara penyuluhan teknologi baru pertanian kepada mereka; dan kedua, menjadikan sistem perkebunan tersebut sebagai program pemerataan baik dari segi penduduk maupun sebagai pemerataan pembangunan.


HASIL PENELITIAN

Analisis Multiplier Effect

Kawasan perkebunan telah menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sampel mengungkapkan sumber pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan. Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten).

Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit. Dari sisi kebutuhan rumah tangga rata-rata pengeluaran petani setiap bulannya sebesar Rp 1.183.288.

Apabila dikaji dari struktur biaya pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang teknis operasionalnya dirancang lebih banyak menggunakan teknik manual, biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja langsung serta tenaga teknis di lapangan memiliki porsi yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut, perputaran uang yang terjadi di lokasi dalam jangka panjang diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah ini dengan tumbuhnya perdagangan dan jasa. Hal ini memberikan arti bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan multiplier effect, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha.

Suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Hal kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasikan (Basri, 2003).

Dengan menggunakan rumus angka pengganda diperoleh nilai MPC = 0,8415 dan nilai PSY =0,7079. Sehingga diperoleh angka pengganda sebesar 2,48. Nilai ini dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 248,00 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa.

Nilai-nilai tersebut diperoleh dengan dasar dan asumsi sebagai berikut:

  • Persentase pendapatan petani sawit dibelanjakan di wilayah setempat (MPC) sekitar 84,15 %.
  • Kebutuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dapat dipenuhi di wilayah setempat (PSY) sebesar 70, 97 %, antara lain:
    1. Kebutuhan peralatan pertanian ringan yang digunakan dalam kelola teknis diproyeksikan mampu dipenuhi oleh wilayah setempat.
    2. Pengadaan sarana prasarana penunjang yang disediakan oleh perusahaan perkebunan dan koperasi dapat dipenuhi oleh wilayah setempat.

[newpage]
Seperti yang diungkapkan Wijaya (2002), manfaat berkoperasi: 1) membantu meningkatkan standar sosial ekonomi di daerah dengan memanfaatkan potensi dan penyerapan tenaga kerja; 2) bermanfaat langsung, karena sesuai dengan kehidupan masyarakat pedesaan; dan 3) ekonomi pedesan bisa tumbuh karena koperasi berakat kuat di pedesaan.

Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan banyak tenaga kerja dan investasi yang relatif besar untuk industri hilirnya, diperkirakan secara positif merangsang, menumbuhkan dan menciptakan lapangan kerja serta lapangan berusaha. Melalui kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan selama proses kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan industri hilirnya akan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages). Pada proses kegiatan ini akan muncul antara lain jasa kontruksi, jasa buruh tani, jasa angkutan, perdagangan pangan dan sandang, perdagangan peralatan kerja serta bahan dan material yang dibutuhkan selama proses tersebut. Kegiatan ekonomi waktu pascapanen dan proses produksi akan mempunyai keterkaitan ke depan (foreward linkages). Proses foreward linkages yang diperkirakan akan muncul adalah sektor jasa, antara lain: angkutan, perhotelan, koperasi, perbankan, perdagangan, industri kecil di pedesaan yang memproduksi alat produksi pertanian (alsintan).

Dari segi penanaman investasi yang dilaksananakan, hampir semua daerah kabupaten/kota memanfaatkan investasi. Tetapi kalau dilihat dari segi dampak ekonominya belum menunjukkan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan karena investasi pada beberapa daerah kabupaten/kota mempunyai multiplier efek yang kecil kecuali untuk daerah Batam dan Pekanbaru (Syahza, 2003).

Ada empat kemungkinan sebab mengapa fenomena ini terjadi. Pertama, investasi sektor industri di daerah kabupaten/kota yang menyebabkan disparitas spasial semakin membesar disebabkan oleh industri milik swasta dengan fasilitas PMA dan PMDN bukan investasi pemerintah. Investasi sektor swasta lebih mengutamakan target keuntungan, sementara invesatsi pemerintah lebih mengutamakan nilai manfaat untuk masyarakat. Dalam penelitian ini karena keterbatasan data dan waktu, industri milik pemerintah tersebut belum berhasil diungkapkan sebaran geografisnya; Kedua, kemungkinan industri dengan fasilitas PMDN dan PMA di masing-masing daerah kabupaten/kota ada yang tinggi nilainya tetapi menimbulkan multiplier effect yang kecil sehingga tidak memperbesar PDRB daerah bersangkutan (seperti sektor pertanian). Sebaliknya investasi swasta dengan fasilitas PMA dan PMDN, walaupun nilainya kecil di suatu daerah kabupaten/kota tetapi mempunyai multiplier effect yang besar sehingga dapat mempertinggi PDRB daerah bersangkutan; Ketiga, penanaman investasi pada daerah kabupaten/kota baik PMDN maupun PMA terfokus pada sektor pertanian yang pengembalian tingkat investasinya dalam jangka waktu yang agak lama; dan keempat, kemungkinan investasi yang dilakukan oleh sektor pemerintah baik swasta yang bersumber PMDN dan PMA tertanam pada sektor sosial yang mempunyai multiplier effect yang kecil serta tingkat pengembaliannya yang lambat.


KESIMPULAN

Perkebunan yang diusahakan secara swadaya sepertinya jalan sendiri tanpa bergantung kepada inti. Untuk pembangunan perkebunan kelapa sawit ke depan dirancang berbentuk kemitraan antara petani dengan perusahaan inti, dimana petani memiliki kebun kelapa sawit dan ikut pemilikan modal pada PKS.

Untuk merangsang investor melakukan investasi yang berbasis pedesaan, maka harus ada kebijakan pemerintah daerah terhadap kegiatan investasi tersebut. Kebijakan itu antara lain; memperpendek rantai birokrasi perizinan; membebaskan PPN dalam jangka waktu tertentu; atau pengurangan pemotongan pajak penghasilan. Sehingga biaya produksi dapat ditekan.

  • Prof. Dr. H. Almasdi Syahza, SE., MP
    Staf pengajar dan peneliti senior Universitas Riau
    Pusat Pengkajian Koperasi dan Pemberdayaan Ekonomi Masyarakat Universitas Riau
    Email: syahza@telkom.net; asyahza@yahoo.co.id