Rabu, 23 Januari 2008
Dampak Ketidakpastian Globalisasi Ekonomi Terhadap Pertumbuhan Ekonomi Asean
Ekonomi ASEAN pada saat sekarang masih dibayangi oleh ketidakpastian pertumbuhan, ekonominya walaupun masih terlihat dengan pertumbuhan ekonomi yang tinggi beberapa Negara ASEAN tahun 2004. Sedangkan Bank Pembangunan Asia (ADB) memperkirakan pertumbuhan ekonomi Indonesia pada tahun 2005 akan mencapai 5,7 persen. Angka ini berarti meningkat dibandingkan prediksi semula sebesar 5,5 persen tahun 2004. Dampak ketidakpastian tersebut disebabkan oleh lonjakan harga minyak dunia. Selain itu ketidakstabilan nilai tukar mata uang. Sehingga ketidakpastian tersebut, juga akan mengganggu proses pemulihan ekonomi yang sedang berlangsung.Pertumbuhan ekonomi ASEAN yang cukup tinggi selama tahun 2004 tersebut antara lain disebabkan oleh meningkatnya permintaan eksternal dan naiknya harga komoditas non-minyak. Kenaikan harga minyak saat ini akan memberikan dampak yang lebih besar pada ekonomi ASEAN. Kenaikan harga minyak tersebut diperkirakan akan menekan nilai tukar di kawasan ASEAN dan meningkatkan tekanan inflasi. Selain dari itu perlambatan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat dan Cina yang menjadi mitra dagang utama negara ASEAN diperkirakan akan memberikan dampak yang cukup signifikan di kawasan ASEAN.
Dari beberapa negara ASEAN, hanya Indonesia dan Kamboja yang revisi pertumbuhan ekonominya dinaikkan. Pertumbuhan ekonomi Thailand direvisi dari 5,6 persen menjadi 4 persen. Malaysia direvisi dari 5,7 persen menjadi 5,1 persen. Filipina direvisi dari 5 persen menjadi 4,7 persen. Sementara Vietnam tetap di kisaran 7,6 persen. Faktor menyebabkan pertumbuhan ekonomi ASEAN bergerak melemah. Misalnya saja Filipina dan Thailand yang cukup terpukul oleh tingginya harga minyak dan gagal panen. Filipina plus Malaysia juga tertekan oleh melambatnya sektor elektronik dunia. Namun khusus untuk Indonesia, ADB menilai faktor-faktor negatif tersebut bisa ditutupi oleh membaiknya iklim investasi. Sementara Vietnam tertolong oleh tingkat pertumbuhan yang baik. Secara keseluruhan, ADB merevisi pertumbuhan ekonomi Asia Tenggara turun menjadi 5 persen, dari semula 5,4 persen. ADB juga menyebutkan, karena kebanyakan negara Asia adalah net importir minyak dan juga digolongkan sebagai kawasan yang tidak efisien dalam penggunaan energi, maka kawasan Asia sangat rentan oleh kenaikan harga minyak dunia.
The Global Development Finance (GDF) mencatat, selama tahun 2004, sekitar 74 persen atau US$ 143,7 miliar dari total arus modal yang mengalir ke negara emerging market masuk ke Asia, termasuk ASEAN. Tingginya arus modal masuk ini terutama disebabkan oleh beberapa faktor, seperti keterbukaan ekonomi, penerapan kebijakan ekonomi yang market friendly dan prospek ekonomi yang dinilai baik. Meskipun mendapat keuntungan dari masuknya modal (capital inflow) yang sebagian besar di antaranya dalam bentuk Foreign Direct Investment (FDI), arus modal juga telah meningkatkan kerentanan terhadap mata uang negara ASEAN. Berdasarkan kepada teori ekonomi dan penelitian sebelumnya, terdapat dua bentuk hubungan antara FDI dengan perdagangan antar negara iaitu sama ada (1) FDI merupakan pengganti atau pelengkap kepada perdagangan antar negara, atau (2) FDI menjadi penyebab kepada perdagangan antar negara atau sebaliknya. Karena FDI dianggap sebagai satu pemicu pertumbuhan ekonomi khususnya melalui pertumbuhan sektor ekspor dan import, menyediakan peluang pekerjaan, transfer teknologi dan sebagainya Foreign direct investment semenjak masuknya ke negara ASEAN tahun 2002 disebabkan semakin menguatnya stabilitas ekonomi dan pasar baik di pasar uang maupun pasar modal. Mengenai perkembangan perekonomian ASEAN-5 yang terdiri dari Indonesia, Malaysia, Singapura, Thailand dan Philipina semakin tumbuh dan berkembang. Sedangkan perekonomian ASEAN-4 yang terdiri dari Kamboja, Laos, Myamar dan Vietnam serta Brunei Darusalam semakin terbuka dan tumbuh. Investasi Langsung Luar negeri (FDI) dan perkembangan perdagangan di dunia wujud di negara-negara ASEAN, karena menarik FDI dari negara maju di samping meningkatkan investasi dan perdagangan antar ASEAN.
Oleh karena itu Bank Sentral negara ASEAN menerapkan berbagai kebijakan yang bersifat spesifik dan berjangka waktu relatif pendek, yang ditujukan untuk memelihara kestabilan nilai tukar. Hal itu dimaksudkan agar dapat memberikan peluang yang lebih besar untuk mencapai tujuan kebijakan ekonomi masing-masing negara, yaitu pertumbuhan ekonomi yang berkesinambungan. Namun demikian, hal ini bukan berarti ASEAN akan meninggalkan pendekatan kebijakan yang bersifat terbuka dan berorientasi pasar. Tetapi ASEAN akan tetap mempertahankan kebijakan ekonomi yang terbuka, dengan berupaya mencapai kebijakan arus modal yang stabil dan lancar. Mata uang ASEAN saat ini sangat rentan karena faktor internal dan eksternal. Secara internal, mengecilnya pasar valas menjadi faktor utama. Secara eksternal, rentannya mata uang ASEAN disebabkan oleh beberapa faktor, seperti ketidakseimbangan dunia, kemungkinan naiknya suku bunga The Fed, dan meningkatnya spekulasi dalam rangka mengantisipasi revaluasi yuan. Untuk mengantisipasi tantangan tersebut, perekonomian ASEAN cenderung untuk membatasi spekulasi yang berlebihan akibat meningkatnya arus modal yang kurang terkendali. Upaya lain untuk mengurangi kerentanan eksternal di kawasan regional adalah dengan membuat kesepakatan antara Bank Sentral negara-negara ASEAN.
Disamping itu Bank Indonesia memberikan langkah-langkah inisiatif bagi ekonomi nasional (Indonesia) kedepananya, yang pertama di bidang moneter yang terdiri dari 3 inisiatif yaitu memperdalam pasar keuangan domestik, memperkuat efektivitas penerapan Inflation Targeting Framework (ITF) dan membangun perangkat analisa kebijakan menyongsong Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015. Kedua Inisiatif di bidang sektor riil. Perbaikan daya saing daerah untuk menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015 adalah kunci bagi perbaikan daya saing nasional di era tersebut (bank Indonesia 2008). Oleh karena itu, Bank Indonesia melihat pentingnya untuk lebih mempertajam fungsi-fungsi advisory dan fasilitasi Kantor-Kantor BI (KBI) di daerah serta pemanfaatnya sebagai pembentuk modal sosial di daerah kerjanya. Oleh karena itu, program Reorientasi KBI perlu perkuat implementasinya (Baharuddin, bank Indonesia 2008). Selain dari tu dalam memperdalam pasar keuangan domestik untuk meningkatkan daya tahan dan stabilitas sistem keuangan serta meminimalisir potensi gejolak dari pasar keuangan global, perlu adanya pasar keuangan domestik yang lebih kuat, dalam dan likuid.