Detail Artikel

Senin, 01 Desember 2008

Pragmatisme vs Kecanggihan Tekhnologi
[html] Ide dasar pemikiran pragmatisme mulai dicetuskan oleh Pierce dan Kant pada sekitar abad 18-an, dewasa ini pemikiran pragmatis mulai mempengaruhi pola pikir manusia di hampir seluruh belahan dunia. Pada dasarnya pemikiran pragmatis mendasarkan pemikiran dan pandangan kepada sesuatu yang praktis dan punya nilai guna.
 
Secara gampang bisa didefinisikan bahwa pragmatisme adalah suatu karakter dimana seseorang lebih menginginkan mencapai sesuatu hasil dengan cara-cara praktis, simple, instant, dan efisien, tapi tepat guna. Sesuatu yang instant dan praktis erat sekali kaitannya dengan teknologi canggih, terlebih lagi pada era dimana orang-orang disibukkan dengan berbagai macam hal dan menuntut mereka melakukan segala sesuatunya dengan cepat dan praktis.

Kecanggihan teknologi sekarang ini sedikit banyak memberikan pengaruh besar pada ke-eksis-an pragmatisme itu sendiri, semisal saja; banyak sekali mahasiswa yang ketika mengerjakan tugasnya merasa sangat terbantu dengan adanya internet, begitu browsing langsung dapat referensi yang dibutuhkan. Tapi ternyata, dibalik kecanggihan teknologi dan pemikiran pragmatis yang memang praktis itu, banyak sekali hal yang mungkin ditimbulkan oleh pengaruh pragmatisme. Jelas, mahasiswa sebagai pelajar dituntut untuk selalu berperilaku ilmiah. Akan tetapi pada kenyataannya, pemikiran pragmatis tidak pernah sejalan dan disatukan dengan perilaku ilmiah itu. terlebih lagi, perilaku ilmiah memang tidak bisa digeneralisasikan pada seluruh mahasiswa. Akibat yang ditimbulkan ternyata lebih berbahaya dari manfaat yang mungkin didapat.

Seseorang dengan pemikiran pragmatis akan cenderung lebih menyukai hal-hal yang mudah dan tidak ribet, ini jelas sangat bertentangan dengan perilaku ilmiah yang menuntut seseorang untuk berperilaku secara sistematis dan terstruktur dengan runtun. Sehingga kemungkinan-kemungkinan yang timbul adalah seseorang akan lebih memilih jalan tengah dalam setiap penyelesaian masalah yang timbul, contoh konritnya ketika seorang mahasiswa dihadapkan pada soal ujian yang seharusnya mudah untuk dikerjakan, sementara pikirannya sudah dipenuhi dengan pemikiran pragmatis tanpa menempuh urutan yang runtun- yakni dengan mepelajari materi-, potong kompas dengan menyimpan kertas “ajaib” yang bisa disembunyikan dan dibuka kapanpun jadi pilihan yang praktis, dan benar saja “kertas ajaib” nan prakstis itu punya nilai guna yang tinggi buat kelancaran akademisnya, setidak untuk tidak dapat status “TIDAK LULUS”. Tidak hanya dalam hal ujian, membuat suatu karya ilmiah saja terkadang mahasiswa sangat kreatif dengan hanya sekedar copy-paste hak cipta orang lain yang kebetulan ia temukan saat browsing. Yang lebih mencengangkan lagi, orang bisa saja memanfaatkan si candu “kepraktisan” alias mahasiswa dengan pikiran pragmatis – sebagai bahan bisnis pembuat skripsi. Bukankah orang dengan jalas pikiran prakstis akan menyukai hal yang simple dan tidak repot? Terutama bagi yang mampu- tinggal bayar saja, mahasiswa langsung terima jadi. Bisnis ini pun sudah tidak menjadi bisnis langka- menengok ada campur tangan dosen sendiri didalamnya.

Ternyata lebih dari yang kita duga, dibalik kebaikannya, kecanggihan teknologi mampu dengan rapi menyembunyikan efek buruk bagi kaum pemikir pragmatis. Segalanya bisa dihadirkan dengan mudah, efektif dan efisien. Namun kenyataan yang ada membuat kita-para mahasiswa harus mampu lebih kritis menghadapi berkembangnya pemikiran pragmatis. Pemikiran ini hadir bukan untuk kita hentikan, karena pada kenyataannya pragmatisme memang tak dapat dihapuskan mengingat sifat manusia yang memang suka akan kemudahan, akan tetapi pragmatisme patut kita waspadai dan diatasi. Tentu saja, dikerenakan pragmatisme yang merongrong otak manusia dapat menghentikan dan membuat otak kita “malas” bekerja, ini terjadi karena kita salah mengaplikasikan dasar pragmatisme itu sendiri.

Sebagai seorang manusia yang dibekali Tuhan dengan kesempurnaan otak untuk berfikir, terutama bagi para mahasiswa –yang tergolong sebagai orang dewasa- sudah menjadi kewajiban kita untuk dapat membedakan baik dan buruk efek dari suatu benda. Pragmatisme bukanlah suatu hal buruk yang harus dihindari, tapi dia juga bukan hal baik yang patut kita ikuti dengan semena-mena. Harus ada keseimbangan dalam media berfikir kita untuk melihat bagaimana efek pragmatisme kalau dia terlanjur mengakar pada jaringan pikir kita.

Nyatanya, masih sangat sulit sekali bagi para mahasiswa- yang sudah bukan siswa- untuk menyelaraskan antara pemikiran praktis dengan potong kompas.
Semacam inikah wujud pendidikan kita sekarang? Menyukai cara yang mudah dan praktis, dan cenderung tak berproses. Segala sesuatu yang tak memalui proses, hasilnya juga tidak akan maksimal. Tidak ada yang instant didunia ini, meskipun kecanggihan teknologi ada untuk membuat manusia lebih mudah menjalani hidupnya, manusia tetap harus menggunakan otaknya untuk berfikir- bukan sekedar “ongkang-ongkang”-. Kecanggihan teknologi ada untuk kita manfaatkan, pengetahuan ada untuk kita saring dan kita proses dalam otak kita, jadi tidak pernah ada alasan bagi kita untuk mendasarkan pikiran kita pada pemikiran pragmatis- meskipun pemikiran itu tidak pernah bisa kita elakkan juga. [/html]