Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 10 Desember 2008 Kependidikan

Bimbel, The Super Bussiness!

Bimbel, The Super Bussiness!



Kue bisnis bimbingan belajar (bimbel) masih menawarkan jatah untuk dibagi-bagi dan dinikmati. Bagi pemilik modal bisnis ini merupakan ladang subur. Selain ceruk usahanya masih terbuka lebar, bisnis bimbel ini pun diyakini memiliki usia bisnis yang panjang dengan keuntungan fantastis!

Dalam beberapa waktu terakhir ini, arus perkembangan bisnis ini menjadi hal yang fenomenal. Lembaga bimbel mulai memenuh-sesaki sudut-sudut kota, bak cendawan di musim hujan. Mereka turut mewarnai denyut nadi ekonomi kota.

Meski bisnis ini bukan merupakan bisnis baru, namun, tetap saja bisnis ini banyak digandrungi. Di samping itu, merebaknya bisnis ini menyebabkan persaingan ketat. Logikanya, jika kondisi makin kompetitif gerak usaha dan tingkat kesulitan untuk menumbuh-kembangkan usaha kian tinggi.

Apalagi yang ditawarkan hampir-hampir sama di tiap bimbel. Sudah begitu, stigmatisasi yang berkembang mengenai bimbel adalah tarif biaya yang, ‘wow’, mahal. Bagi bimbel yang baru berumur jagung tarif yang dipatok bisa mencapai 300 ribu, tapi bagi yang sudah ‘senior’ dan merasa memiliki nama besar tarifnya bisa 2-3 juta per bulan. Seolah punya segmen pasar sendiri-sendiri, tarif itu juga amat bersaing berdasarkan isi kantong.

Persaingan antar bimbel masih berlanjut ketika siswanya mampu lulus ujian nasional dan berhasil memasuki institusi pendidikan terkemuka. Dari sinilah sebenarnya tolok ukur keberhasilan sebuah lembaga bimbingan belajar mensugesti cara pandang masyarakat.



Sistem Pendidikan

Melihat ini rasanya pertanyaan yang tepat untuk diajukan ialah mengapa suasana kompetitif ini tak menyurutkan minat berbisnis bimbel? Alasan yang mungkin paling relevan ialah system yang berlaku di pendidikan Indonesia sekarang.

Tak bisa dipungkiri bisnis ini memang sudah subur sejak lama, namun setidaknya hal ini lebih dikuatkan oleh kondisi pendidikan kita dewasa ini. Misalnya saat menjelang ujian nasional (UN). Pelbagai ujian bimbel beramai-ramai mengusung paket intensif.

Di sisi lain sekolah sebagai tempat utama siswa belajar tak bisa menjalankan peran dengan efektif. Metode belajar di sekolah dianggap tidak bisa mengatasi masalah dalam UN relative sulit dan kuntitas soal yang banyak. Metode sekolah menawarkan metode konvensional yang pengerjaannya membutuhkan waktu panjang.

Sedangkan bimbel mengajarkan metode smart solution yang simple sehingga waktu pengerjaan soal-soal yang pendek. Pas sekali untk menaklukkan soal-soal UN. Apalagi tahun ini mata pelajaran yang diujikan dan standard kelulusan di tambah. Dari sinilah bisnis bimbel semakin mendapat tempat dalam dunia pendidikan kita. Padahal, tanpa ini semua bisnis bimbel cukup diminati.

Kemudian pasca menghadapi UN, lagi-lagi bimbel memperdaya pelanggan (siswanya) dengan paket-paket intensif atau semacamnya guna mengahadapi SPMB. SPMB juga adalah juga yang tak diperhitungkan pihak sekolah. Mungkin, pikir mereka (pihak sekolah) bisa meluluskan semua siswanya saja sudah untung. Alih-alih meluluskan siswanya meluluskan siswa mereka di ujian SPMB.

Sebaliknya, bimbel tak bisa membuang kesempatan emas ini. Sebisa mungkin lembaga bimbel meluluskan siswanya untuk mampu lulus di ujian SPMB. Karena di sisnilah sebenarnya pertaruhan lembaga bimbel. Selama ini keberadaan bimbel cukup efektif dalam mencarikan jalan keluar untuk siswanya. Maka, tidak heran jika orang tua siswa rela mengeluarkan biaya yang tidak sedikit untuk anak-anaknya agar lulus UN dan SPMB. Sebagai orang tua yang peduli pasti akan berusaha agar anaknya belajar di bimbel.

Dengan begini usia bisnis bimbel kedepannya relatif panjang. Dialektika pendidikan menemukan titik kompleksitas, manakala sudah menjadi problema rumah tangga. Keluarga-keluarga Indonesia sudah tidak mampu lagi membantu mengatasi masalah pendidikan, khsususnya mengatasi kesulitan belajar anaknya. Alahasil, wajar jik menyerahkan itu semua padalembaga bimbel. Bagi orang tua mungkin berpandangan sekolah adalah tantangan, sedangkan lembaga bimbel adalah jawaban.

Degradasi pendidikan Indonesia pasca era 80-an hingga sekarang juga berkonstribusi besar menyuburkan bisnis ini. Keadaan yang kemudian ditindaklanjuti pemerintah. Hingga muncullah wacana menaikkan standard kelulusan ujian nasional.



Segmen Pasar

Yang perlu dilakukan para peminat bisnis ini agar lebih tumbuh subur ialah memperlbar segmen pasar. Ada kesan kuat lembaga bimbel hanya untuk masyarakat ekonomimnegah keatas. Ini bisa dilihat dari tarif yang dipatok di tiap bimbel. Tarifnya yang relatif mahal.

Namun begitupun masih banyak yang mendaftarkan diri ke lembaga bimbel. Namun sekali lagi untuk kalngan menengaah ke atas. Dengan mendirikan bimbel yang murah, maka diharapkan akan dapat menyentuh kebutuhan masayarakat ekonomi menengah ke bawah.

Dengan pelebaran segmen pasar, diproyeksikan bisnis bimbel tak hanya tumbuh subur seperti yang sudah ada tapi bakal menjelma menjadi super bisnis pendidikan Indonesia. Namun memang perlu dibedakan antara pendidikan dengan tujuan bisnis yang profit oriented agar tak menciderai makna pendidikan.