Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 10 Desember 2008 Kemahasiswaan

Kuliah, Tidak Sekedar Mendapatkan Gelar Kesarjanaan

Menapaki tahun 2008 ini, jumlah lulusan SMA semakin meningkat. Salah satu SMA–sebut saja SMA X di wilayah Kudus telah meluluskan sekitar 300an siswanya. Berapa kali lipat lagi jumlah keseluruhan lulusan SMA tahun ini.?

Fenomena di atas dibarengi dengan berbondong–bondongnya Para lulusan SMA menuju Perguruan-Tinggi. Melanjutkan pendidikan dari SMA ke Perguruan-Tinggi sudah menjadi Gaya Hidup (Life Style) di kalangan masyarakat kita.

Di sebuah Perguruan-Tinggi di Kudus, Seorang mahasiswa sebut saja namanya Uun-yang terkesan santai dalam menjawab, saat dimintai keterangannya tentang apa orientasinya melanjutkan ke Perguruan-Tinggi. Dengan nada setengah bercanda, diapun mengatakan kuliah hanya untuk mengikuti gaya hidup. Hitung-hitung setelah lulus ia dapat menyandang gelar kesarjaan sekaligus di Perguruan-Tinggi yang sedang ditempatinya sekarang.

Itulah secuil gambaran dari sekian banyak mahasiswa seperti Uun, yang berpendapat demikian. Tetapi tak sedikit pula mereka yang memang benar-benar melanjutkan pendidikan untuk menambah ilmu pengetahuan sesuai disiplin ilmu yang telah mereka pilih, kehidupan perkuliahan juga akan membina soft skills seperti kemampuan bekerja sama multidisiplin, ketrampilan berorganisasi, ketrampilan presentasi, dan komunikasi, serta mengembangkan bakat dan minat.

Seorang Uun sebagai contoh kecil misalnya, dalam pemikirannya, perkuliahan hanya sebagai media untuk mendapatkan gelar kesarjanaan semata. Sebagai seorang mahasiswa dia tidak menemukan kendala dalam perkuliahannya. Hadir tepat waktu di kelas perkuliahan, duduk, absen, mendengarkan apa yang dosen terangkan, serta disiplin dalam mengerjakan tugas dengan baik. Inilah ritual yang biasanya dilakukan Uun selama mengikuti perkuliahan.

Memang apa yang dilakukan Uun tidak ada yang salah, tetapi di sisi lain apa yang ia akan dapatkan setelah menyandang gelar yang ia inginkan. Hanya secarik kertas ijazah berisi sejumlah mata kuliah beserta nilainya dalam bentuk Indeks Prestasi (IP).

Gelar yang mentereng bukan jaminan dalam dunia kerja, tetapi lebih diutamakan pada Soft Skill yang ia miliki. Fenomena pada Uun di atas sangatlah bertolak belakang dengan pandangan salah satu tokoh pendidikan Indonesia, Ki Hajar Dewantara. Menurut beliau, manusia memiliki daya jiwa cipta, rasa, dan karsa. Pengembangan manusia yang seutuhnya menuntut pula pengembangan ketiga daya jiwa tersebut secara seimbang. Jika hanya menitikberatkan pada satu daya saja, tentu saja akan menghasilkan ketidakutuhan dan ketidakseimbangan bagi pengembangan manusia itu sendiri.

Dikatakannya juga pendidikan yang hanya didasarkan pada aspek intelektual belaka, hanya akan menjauhkan dan mengisolasikan manusia tersebut dari masyarakat dan lingkungan sekitarnya. Jika hal ini berlanjut terus akan menjadikan manusia itu sendiri kurang manusiawi (humanis). Jadi dalam pendidikan harus ada keseimbangan antara ketiga aspek tersebut