Detail Artikel

Rabu, 17 Desember 2008

Bimbel; Lahan Bisnis dalam Pendidikan
[html] Bimbingan belajar (bimbel) merupakan bagian tidak terpisahkan dalam praktek pendidikan di Indonesia. Jaman dulu, fenomena bimbel lekat dengan les privat dan bimbingan tes menjelang ujian sekolah atau menuju jenjang perguruan tinggi. Pendek kata, bimbel hanyalah sebatas bimbingan ujian untuk menjawab soal dengan cepat dan tepat.

Saat ini, pengertian bimbel tidak hanya sebatas seperti yang telah dipaparkan di atas. Persepsi masyarakat terhadap bimbel telah bergeser. Bimbel telah menjadi bagian dari gaya hidup. Artinya, bimbel telah menjadi suatu kebutuhan sehari-hari sebagai tempat belajar tambahan di luar sekolah. Hebatnya lagi, kebutuhan tersebut terus membesar seiring makin besarnya kesadaran pelajar akan arti pentingnya bimbel untuk mereka. Sebab itu, jangan heran jika sekarang ini bimbel-bimbel setiap harinya selalu ramai dan dipenuhi oleh siswa, tidak hanya sebatas ketika musim ujian saja.

Sejatinya, bisnis bimbel adalah suatu bisnis yang sangat mudah dijalankan oleh siapa saja serta terbukti tidak rentan oleh gejolak ekonomi. Adanya pergeseran persepsi di masyarakat tentunya menjadikan bisnis bimbel semakin menjanjikan karena selain sudah menjadi kebutuhan, bisnisnya juga tidak musiman lagi. Makanya, tidak heran jika sekarang ini bisa dikatakan bahwa bisnis bimbel merajai, yang ditandai dengan banyaknya orang berlomba-lomba untuk membuka bisnis bimbingan belajar.

Pertanyaannya, apakah semua bimbel yang menjamur di Indonesia tidak hanya dijalankan atas dasar bisnis semata, namun juga tetap mengedepankan visi pendidikan?

Semakin besar jumlah bimbel yang ada, semakin ketat pula persaingan di antara mereka. Adanya prestise, tuntutan dan kegalauan orang tua agar anaknya memperoleh hasil belajar yang optimal menjadi dasar adanya persaingan tersebut. Sehingga setiap bimbel selalu berlomba-lomba memenuhi segala tuntutan konsumen dengan berbagai cara. Bahkan, tidak sedikit pula bimbel yang telah murni menjadi sebuah bisnis besar dari dunia pendidikan tanpa bisa membimbing anak untuk dapat belajar dengan usahanya sendiri dan sesuai dengan hakikat belajar. Hakikat belajar adalah suatu proses psikis yang berlangsung dalam interaksi aktif subjek dengan lingkungannya dan yang menghasilkan perubahan-perubahan dalam pengetahuan, pemahaman, ketrampilan dan nilai sikap yang bersifat konstan atau menetap.

Sebagaimana kita ketahui, di bimbel, anak dijejali dan didrill dengan soal-soal. Hakikat belajar dibelokkan menjadi kemampuan menjawab soal. Nilai tambah bimbel dibanding sekolah adalah ketersediaannya memberikan rumus-rumus praktis pelajaran. Bahkan tidak tertutup kemungkinan adanya oknum bimbel yang berkolusi dengan aparat pendidikan untuk mendapatkan bocoran soal dan kunci jawaban ulangan umum hingga ujian nasional (UN). Hal ini dilakukan agar para siswanya memperoleh nilai tinggi di sekolahnya atau lulus UN dengan nilai yang memuaskan. Dengan berbagai cara yang sekalipun tidak sesuai dengan visi pendidikan itulah, pebisnis bimbel memuaskan konsumen. Kepuasan konsumen inilah yang nantinya akan membawa nama baik bimbel dan menjadi daya tarik konsumen lain serta tentunya menjadi pelaris bisnis bimbel demi profit yang menggiurkan.

Fenomena di atas, baik secara langsung ataupun tidak telah mendestruksi nilai-nilai edukatif dan moral anak serta menumbuhkembangkan mental penerabas, mau gampangnya saja. Nilai kejujuran tercabik-cabik. Terjadilah superioritas semu. Bila anak dikondisikan terus menerus seperti itu, pada gilirannya akan menimbulkan reduksi moral yang permanen. Orang tua dan masyarakatlah kelak yang akan menanggung dampaknya.

Bimbel adalah bimbel dan kita adalah kita. Kepintaran, semangat dan niat sukses bukan ditentukan oleh bimbel, tapi oleh diri anak didik sendiri. Kalau toh memang sukses dan kebetulan ikut bimbel, sukses UN dan lolos SPMB, selayaknya siswa, orang tua dan bimbel sendiri jangan terlalu membesarkan jasa bimbel. Memang hebat bila hanya dalam bulanan bahkan mingguan siswa tiba-tiba dibuat hebat dalam menjawab soal-soal tes. Tapi sebenarnya dasar kehebatan atau pemahaman itu berawal dari peran sekolah. Ibarat tak mungkin bisa berlari bila tidak belajar berjalan dulu dan tak mungkin membangun rumah bila tiba-tiba meletakkan genting tanpa membangun dulu pondasi dan dinding temboknya. Maka, tak mungkin tanpa belajar dulu di sekolah mampu berprestasi besar, karena sekolahlah pondasi kesuksesan tersebut.

Saya tetap menghargai rekan-rekan yang berbisnis di bimbel karena mereka memiliki hak berenterpreneur di bidang apapun. Saya berharap, semoga mereka tidak hanya berorientasi pada profit besar yang harus mereka dapatkan sehingga menghalalkan segala cara sekalipun bertentangan dengan nilai moral, namun mereka juga harus mengaplikasikan hakikat belajar dan visi pendidikan dalam bisnis bimbelnya karena mereka pun menjadi bagian pendukung terwujudnya tujuan pendidikan. Selamat berjuang para pebisnis bimbel, jalanilah bisnis dengan tetap istiqomah di jalan yang semestinya!!


[/html]