Detail Artikel

Minggu, 03 Mei 2009

Kelapa Sawit, Dampaknya Terhadap Percepatan Pembangunan Ekonomi Pedesaan di Daerah Riau
A. Pendahuluan

Secara kuantitatif pelaksanaan pembangunan di daerah Riau telah mencapai hasil yang cukup baik seperti yang terlihat dari tingkat pertumbuhan ekonomi. Selama periode 2002-2007 pertumbuhan ekonomi Riau sebesar 8,40%, pertumbuhan yang tinggi ini ditopang oleh sektor pertanian khususnya subsektor perkebunan. Pada tahun 1996 sektor pertanian sebagai tulang punggung ekonomi rakyat pedesaan Riau hanya mengalami pertumbuhan sebesar 2 % sementara sektor industri melaju sebesar 14 persen. Namun pada tahun 2002 sektor pertanian sudah mulai membaik dengan angka pertumbuhan sebesar 6,06 persen, sedangkan sektor industri 12,47 persen. Selama periode 2002-2007 perumbuhan sektor pertanian cukup baik yaitu sebesar 6,79. Tingginya pertumbuhan sektor pertanian karena ditunjang oleh tanaman perkebunan yang berorientasi ekspor seperti kelapa sawit, karet, kelapa dan sebagainya (Almasdi Syahza, 2008).

Pertumbuhan ekonomi yang tinggi tidak selalu mencerminkan distribusi pendapatan yang adil dan merata, karena pertumbuhan ekonomi yang tinggi ini hanya dinikmati oleh sekelompok kecil masyarakat, seperti masyarakat perkotaan, sedangkan masyarakat pedesaan atau pinggiran mendapat porsi yang kecil dan tertinggal. Kesenjangan di daerah ini semakin diperburuk karena adanya kesenjangan dalam pembangunan antar sektor, terutama antara sektor pertanian (basis ekonomi pedesaan) dan non-pertanian (ekonomi perkotaan).

Perkembangan sektor pertanian di daerah Riau sampai saat ini secara kuantitatif cukup menggembirakan, yaitu dengan rataan pertumbuhan selama lima tahun terakhir sebesar 6,79%. Namun tingkat pendapatan masyarakat dari usaha pertanian belum meningkat seperti yang diharapkan. Karena itu Pemerintah Daerah Riau mencanangkan pembangunan Daerah Riau melalui program pemberantasan kemisninan, kebodohan dan pembangunan infrastruktur (lebih dikenal dengan program K2I). Setiap pembangunan yang dilaksanakan di Daerah Riau harus mengacu kepada Program K2I. Karena pembangunan daerah sangat ditentukan oleh potensi yang dimiliki oleh suatu daerah, maka kebijaksanaan yang dibuat oleh pemerintah daerah harus mengacu kepada potensi daerah yang berpeluang untuk dikembangkan, khususnya sektor perkebunan (kelapa sawit, karet, dan kelapa). Sampai saat ini kelapa sawit merupakan tanaman primadona masyarakat Riau.

Ada beberapa alasan kenapa Pemerintah Daerah Riau mengutamakan kelapa sawit sebagai komoditas utama, antara lain: Pertama, dari segi fisik dan lingkungan keadaan daerah Riau memungkinkan bagi pengembangan perkebunan kelapa sawit. Kondisi daerah Riau yang relatif datar memudahkan dalam pengelolaan dan dapat menekan biaya produksi; Kedua, kondisi tanah yang memungkinkan untuk ditanami kelapa sawit menghasilkan produksi lebih tinggi dibandingkan daerah lain; Ketiga, dari segi pemasaran hasil produksi Daerah Riau mempunyai keuntungan, karena letaknya yang strategis dengan pasar internasional yaitu Singapura; Keempat, Daerah Riau merupakan daerah pengembangan Indonesia Bagian Barat dengan dibukanya kerjasama Indonesia Malaysia Singapore Growth Triangle (IMS-GT) dan Indonesia Malaysia Thailand Growth Triangle (IMT-GT), berarti terbuka peluang pasar yang lebih menguntungkan; dan kelima, berdasarkan hasil yang telah dicapai menunjukkan bahwa kelapa sawit memberikan pendapatan yang lebih tinggi kepada petani dibandingkan dengan jenis tanaman perkebunan lainnya (Almasdi Syahza, 2002).

Perkembangan luas areal kebun kelapa sawit di Riau selama periode tahun 2002-2006 sebesar 3,9% per tahun, yakni pada tahun 2002 seluas 1.312.661 ha menjadi 1.530.150 ha pada tahun 2006. Sementara perkembangan luas kebun karet dan kelapa pada periode yang sama justru turun yaitu kelapa -3,25% dan karet 1,67%. Ini memperlihatkan terjadinya alih fungsi lahan dari kebun karet dan kelapa menjadi kebun kelapa sawit. Beralihnya petani dari usahatani keret dan kelapa menjadi kelapa sawit lebih disebabkan karena kelapa sawit mampu memberikan pendapatan yang lebih tinggi dibandingkan usahatani lainnya.

Pembangunan perkebunan kelapa sawit bertujuan untuk menghilangkan kemiskinan dan keterbelakangan khususnya di daerah pedesaan, di samping itu juga memperhatikan pemerataan perekonomian antar golongan dan antar wilayah. Pembangunan pertanian yang berbasis perkebunan dalam arti luas bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan hidup masyarakat sehingga terjadi suatu perubahan dalam pola hidup masyarakat di sekitarnya.

Tulisan ini mencoba mengidentifikasi dampak pembangunan perkebunan kelapa sawit terhadap percepatan pembangunan ekonomi masyarakat di pedesaan. Kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit diharapkan dapat mengangkat perekonomian masyarakat khususnya mereka yang bermata pencaharian dari sektor pertanian. Dampak dari pembangunan tersebut akan terlihat dari beberapa indikator, antara lain:

1. Angka multiplier effect ekonomi yang diciptakan dari kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit di pedesaan
2. Indek kesejahteraan masyarakat pedesaan sebagai akibat dari pembangunan perkebunan kelapa sawit.
3. Indek kesenjangan ekonomi antar golongan dan antar wilayah.

B. Multiplier Effect Ekonomi

Hasil penelitian Almasdi Syahza (2005), pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau membawa perubahan besar terhadap keadaan masyarakat pedesaan. Di samping itu dengan berkembangnya perkebunan kelapa sawit juga merangsang tumbuhnya industri pengolahan yang bahan bakunya dari kelapa sawit. Pembangunan perkebunan kelapa sawit mempunyai dampak ganda terhadap ekonomi wilayah, terutama sekali dalam menciptakan kesempatan dan peluang kerja. Pembangunan perkebunan kelapa sawit ini telah memberikan tetesan manfaat (trickle down effect), sehingga dapat memperluas daya penyebaran (power of dispersion) pada masyarakat sekitarnya. Semakin berkembangnya perkebunan kelapa sawit, semakin terasa dampaknya terhadap tenaga kerja yang bekerja pada sektor perkebunan dan sektor turunannya. Dampak tersebut dapat dilihat dari peningkatan pendapatan masyarakat petani, sehingga meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, baik untuk kebutuhan primer maupun kebutuhan sekunder.

Dampak terhadap masyarakat sekitar pengembangan perkebunan kelapa sawit, tercermin dalam terciptanya kesempatan kerja bagi masyarakat tempatan. Begitu juga timbulnya kesempatan berusaha, seperti: membuka kios makanan dan minuman, jasa transportasi, industri rumah tangga, erta jasa perbankan. Semuanya ini akhirnya menimbulkan munculnya pasar-pasar tradisional di daerah permukiman dan pedesaan. Dengan demikian pendapatan dan tingkat kesejahteraan masyarakat meningkat. Dari sisi lain menyebabkan pola konsumsi dan pendidikan masyarakat akan meningkat pula (Almasdi Syahza, 2007b).

Sejalan dengan tujuan pembangunan pertanian, tujuan utama pengembangan agribisnis kelapa sawit adalah 1) menumbuhkembangkan usaha kelapa sawit di pedesaan yang akan memacu aktivitas ekonomi pedesaan, menciptakan lapangan kerja dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dan 2) menumbuhkan industri pengolahan CPO dan produk turunannya serta industri penunjang (pupuk, obat-obatan dan alsin) dalam meningkatkan daya saing dan nilai tambah CPO dan produk turunannya (Almasdi Syahza, 2004).

Dari potensi yang ada, maka pembangunan perkebunan kelapa sawit di daerah Riau juga akan membuka peluang pembangunan industri hulu-hilir kelapa sawit, membuka peluang usaha, tumbuhnya diversifikasi usaha, dan meningkatkan sumber devisa bagi daerah Riau. Pembangunan ini juga akan membuka peluang kerja di daerah dan akan menumbuhkan sektor ekonomi lainnya yang pada gilirannya akan memunculkan daerah-daerah baru sebagai pusat-pusat pertumbuhan wilayah (Almasdi Syahza, 2007a).

Pengembangan perkebunan di pedesaan telah membuka peluang kerja bagi masyarakat yang mampu untuk menerima peluang tersebut. Dengan adanya perusahaan perkebunan, mata pencaharian masyarakat tempatan tidak lagi terbatas pada sektor primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak usahanya pada sektor tertier. Bermacam sumber pendapatan yang memberikan andil yaitu pedagang (dagang barang-barang harian, dagang karet, tiket angkutan dan penjual es), pegawai (guru, pemerintahan desa), industri rumah tangga (industri tahu, roti, dan percetakan genteng), buruh kasar, nelayan, pencari kayu di hutan dan tukang kayu.

Selain besaran jumlah pendapatan pada masing-masing rumah tangga petani kelapa sawit, hal yang perlu dicermati dalam mengamati dampak pelaksanaan investasi perkebunan adalah timbulnya usaha-usaha baru yang dikelola oleh masyarakat. Kegiatan usaha tersebut pada dasarnya merupakan upaya pemanfaatan peluang usaha yang tercipta sebagai akibat adanya mobilitas penduduk, baik yang terpengaruh secara langsung maupun sebagai akibat usaha yang tercipta oleh adanya pengaruh tidak langsung dari pembangunan perkebunan yang memungkinkan terbukanya peluang usaha lainnya.

Suatu peluang usaha akan menjadi sumber pendapatan yang memberikan tambahan penghasilan kepada masyarakat jika mampu menangkap peluang usaha yang potensial dikembangkan menjadi suatu kegiatan usaha yang nyata. Dengan demikian kemampuan masyarakat memanfaatkan peluang yang ada akan dipengaruhi oleh kemampuan masyarakat dalam menangkap peluang itu sendiri. Yang kedua adalah kemampuan mengorganisir sumberdaya yang dimiliki sedemikian rupa sehingga peluang yang potensial menjadi usaha yang secara aktual dapat dioperasionalkan.

Walaupun tidak semua kegiatan perkebunan memberikan atau menyebabkan timbulnya sumber-sumber pendapatan bagi masyarakat, namun tergantung kepada jenis investasi perkebunan (inti atau plasma) dan sektor ekonomi yang akan dilakukan. Investasi tersebut pada akhirnya akan berpengaruh kepada seberapa besar manfaat kegiatan perkebunan memberi tetesan pada masyarakat sekitarnya. Kebijaksanaan pemerintah dan kemampuan masyarakat dalam memperoleh manfaat dari adanya pembangunan perkebunan sangat berpengaruh. Hal ini akan menentukan variasi sumber-sumber pendapatan yang muncul kemudian.

Secara umum dapat diungkapkan bahwa dengan adanya kawasan perkebunan telah menyebabkan munculnya sumber-sumber pendapatan baru yang bervariasi. Sebelum dibukanya kawasan perkebunan di pedesaan, sumber pendapatan masyarakat relatif homogen, yakni menggantungkan hidupnya pada sektor primer, memanfaatkan sumberdaya alam yang tersedia seperti apa adanya tanpa penggunaan teknologi yang berarti. Data lapangan mengungkapkan pada umumnya masyarakat hidup dari sektor pertanian sebagai petani tanaman pangan (terutama palawija) dan perkebunan (karet). Pada masyarakat di sekitar aliran sungai mata pencaharian sehari-hari pada umumnya sebagai nelayan dan pencari kayu di hutan. Selain teknologi yang digunakan sangat sederhana dan monoton sifatnya tanpa pembaharuan (dari apa yang mampu dilakukan). Orientasi usahanya juga terbatas kepada pemenuhan kebutuhan keluarga untuk satu atau dua hari mendatang tanpa perencanaan pengembangan usaha yang jelas (subsisten).

Kondisi sebelum pembangunan perkebunan dengan setelah adanya kegiatan perkebunan pendapatan masyarakat semakin beragam. Keragaman ini semakin memperkuat stabilitas struktur pendapatan rumah tangga karena memberikan alternatif pemasukan bagi keluarga pada saat sumber pendapatan lain mengalami kegagalan usaha. Rataan pendapatannya dari masyarakat pedesaan dari kelapa sawit sebesar 87,64% dan 12,36% bersumber dari pendapatan di luar perkebunan kelapa sawit.

Kegiatan pembangunan perkebunan telah menimbulkan mobilitas penduduk yang tinggi. Akibatnya di daerah-daerah sekitar pembangunan perkebunan muncul pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di pedesaan. Kondisi ini menyebabkan meningkatnya daya beli masyarakat pedesaan, terutama terhadap kebutuhan rutin rumah tangga dan kebutuhan sarana produksi perkebunan kelapa sawit.

Apabila dikaji dari struktur biaya pengusahaan perkebunan kelapa sawit yang teknis operasionalnya dirancang lebih banyak menggunakan teknik manual, biaya yang berkaitan dengan tenaga kerja langsung serta tenaga teknis di lapangan memiliki porsi yang cukup besar. Berdasarkan hal tersebut, perputaran uang yang terjadi di lokasi dalam jangka panjang diperkirakan dapat merangsang pertumbuhan ekonomi di wilayah ini dengan tumbuhnya perdagangan dan jasa. Hal ini memberikan arti bahwa kegiatan perkebunan kelapa sawit di pedesaan menciptakan multiplier effect, terutama dalam lapangan pekerjaan dan peluang berusaha.

Penelitian Almasdi Syahza (2005), pembangunan perkebunan kelapa sawit telah memberikan dampak ekonomi secara berantai, ini ditunjukkan dengan angka pengganda sebesar 2,48. Nilai ini dapat memberikan arti bahwa setiap pembelanjaan oleh petani kelapa sawit di lokasi dan sekitarnya sebesar Rp 100, secara sinerjik menjadikan perputaran uang di lokasi tersebut dan sekitarnya sebesar Rp 248 melalui bentuk-bentuk usaha, baik sektor riil maupun jasa. Nilai-nilai tersebut diperoleh dengan dasar dan asumsi sebagai berikut:

1) Persentase pendapatan petani sawit dibelanjakan di wilayah setempat (MPC) sekitar 84,15 %.
2) Kebutuhan kegiatan perkebunan kelapa sawit yang dapat dipenuhi di wilayah setempat (PSY) sebesar 70, 97 %, antara lain:
» Kebutuhan peralatan pertanian ringan yang digunakan dalam kelola teknis diproyeksikan mampu dipenuhi oleh wilayah setempat.
» Pengadaan sarana prasarana penunjang yang disediakan oleh perusahaan perkebunan dan koperasi dapat dipenuhi oleh wilayah setempat.

C. Indek Kesejahteraan Masyarakat

Aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit yang melibatkan banyak tenaga kerja dan investasi yang relatif besar untuk industri hilirnya, diperkirakan secara positif merangsang, menumbuhkan dan menciptakan lapangan kerja serta lapangan berusaha. Melalui kegiatan ekonomi yang menghasilkan barang dan jasa yang diperlukan selama proses kegiatan perkebunan kelapa sawit dan pembangunan industri hilirnya akan mempunyai keterkaitan ke belakang (backward linkages). Pada proses kegiatan ini akan muncul antara lain jasa kontruksi, jasa buruh tani, jasa angkutan, perdagangan pangan dan sandang, perdagangan peralatan kerja serta bahan dan material yang dibutuhkan selama proses tersebut. Sedangkan pada kegiatan ekonomi waktu pascapanen dan proses produksi akan mempunyai keterkaitan ke depan (foreward linkages). Proses foreward linkages yang diperkirakan akan muncul adalah sektor jasa, antara lain: angkutan, perhotelan, koperasi, perbankan, perdagangan, industri kecil di pedesaan yang memproduksi alat produksi pertanian (Almasdi Syahza, 2007c). Semua aktivitas ini akan meningkatkan indek kesejahteraan masyarakat di daerah sekitarnya.
Pertumbuhan indek kesejahteraan petani kelapa sawit di Riau pada tahun 1995 hanya sebesar 0,49 yang berarti tingkat pertumbuhan kesejahteraan meningkat sebesar 49 persen. Pada tahun 1998 terjadi penurunan indeks kesejahteraan sebesar –1,09. Penurunan ini disebabkan kondisi ekonomi nasional pada waktu itu tidak menguntungkan, harga barang melonjak naik, nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika menurun. Namun untuk tingkat golongan 80 persen berpendapatan rendah mengalami peningkatan. Yang paling besar adalah golongan 20 % terendah. Ini disebabkan karena ketergantungan mereka terhadap produk luar (barang sektor modern sangat rendah). Mereka lebih banyak memakai barang sektor tradisional atau produksi lokal.

Setelah ekonomi pulih kembali pada tahun 2003 indeks pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit meningkat lagi menjadi 1,72. Berarti pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit mengalami kemajuan sebesar 172 persen. Pertumbuhan ini hanya dinikmati oleh kelompok yang berpenghasilan 40 persen tertinggi sebesar 32,8 persen, sedangkan kelompok 60 persen terendah justru mengalami penurunan kesejahteraan sebesar –15,6 persen. Namun pada tahun 2006 memperlihatkan indek pertumbuhan kesejahteraan petani kelapa sawit sangat dirasakan oleh kelompok pendapatan 40% terendah (miskin), ini dibuktikan dengan angka indek pertumbuhan kesejahteraan bernilai positif 0,23. Kelompok berpenghasilan tertinggi (20% tertinggi) justru mengalami penurunan kesejahteraan.
Hasil penelitian Almasdi Syahza (2003) menunjukkan, aktivitas pembangunan perkebunan kelapa sawit memberikan pengaruh eksternal yang bersifat positif atau bermanfaat bagi wilayah sekitarnya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: 1) Memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; 2) Peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan 3) Memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah.
Beberapa kegiatan yang secara langsung memberikan dampak terhadap komponen ekonomi pedesaan dan budaya masyarakat sekitar, antara lain: 1) Kegiatan pembangunan sumberdaya masyarakat desa; 2) Pembangunan sarana prasarana yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat setempat, terutama sarana jalan darat; 3) Penyerapan tenaga kerja lokal; 4) Penyuluhan pertanian, kesehatan dan pendidikan; dan 5) Pembayaran kewajiban perusahaan terhadap negara (pajak-pajak dan biaya kompensasi lain).
Kegiatan pengusahaan perkebunan kelapa sawit baik dalam bentuk perusahaan maupun swadaya membutuhkan tenaga kerja langsung (tidak termasuk skilled-labour) dan tenaga teknis perkebunan dalam pengelolaannya. Secara ideal tenaga kerja direkrut dari masyarakat sekitar perkebunan, terutama untuk tenaga kerja teknis perkebunan yang diambil dari masyarakat desa sekitarnya. Kegiatan perkebunan kelapa sawit ini menyerap tenaga kerja cukup banyak, di samping itu kegiatannya bersifat manual sehingga tenaga kerja manusia sangat diperlukan.
Adanya aktivitas kegiatan pembangunan perkebunan kelapa sawit, khususnya pengadaan sarana prasarana menyebabkan aktivitas dan mobilitas masyarakat makin tinggi. Hal ini berpengaruh terhadap peningkatan kesempatan berusaha terutama dalam bidang jasa dan perdagangan.
Kegiatan pembangunan jaringan jalan juga meningkatkan mobilitas masyarakat, membantu masyarakat dalam pemasaran hasil pertaniannya. Di samping itu kebutuhan hidup masyarakat di pedesaan dapat dipenuhi dari hasil pertanian masyarakat itu sendiri. Pengadaan kebutuhan perusahaan dapat bekerjasama dengan masyarakat setempat. Ini merupakan salah satu dampak positif terhadap peningkatan kesempatan berusaha bagi masyarakat sekitar.

D. Indek Kesenjangan Ekonomi
Dari segi penanaman investasi yang dilaksananakan, hampir semua daerah kabupaten/kota memanfaatkan investasi. Tetapi kalau dilihat dari segi dampak ekonominya belum menunjukkan hasil yang diharapkan, hal ini disebabkan karena investasi pada beberapa daerah kabupaten/kota mempunyai multiplier effect yang kecil kecuali untuk sektor industri dan jasa di daerah perkotaan Dumai dan Pekanbaru.
Ada empat kemungkinan sebab mengapa fenomena ini terjadi. Pertama, investasi sektor industri di daerah kabupaten/kota yang menyebabkan disparitas spasial semakin membesar disebabkan oleh industri milik swasta dengan fasilitas PMA dan PMDN bukan investasi pemerintah. Investasi sektor swasta lebih mengutamakan target keuntungan, sementara invesatsi pemerintah lebih mengutamakan nilai manfaat untuk masyarakat; Kedua, kemungkinan industri dengan fasilitas PMDN dan PMA di masing-masing daerah kabupaten/kota ada yang tinggi nilainya tetapi menimbulkan multiplier effect yang kecil sehingga tidak memperbesar PDRB daerah bersangkutan (seperti sektor pertanian). Sebaliknya investasi swasta dengan fasilitas PMA dan PMDN, walaupun nilainya kecil di suatu daerah kabupaten/kota tetapi mempunyai multiplier effect yang besar sehingga dapat mempertinggi PDRB daerah bersangkutan; Ketiga, penanaman investasi pada daerah kabupaten/kota baik PMDN maupun PMA terfokus pada sektor pertanian yang pengembalian tingkat investasinya dalam jangka waktu yang agak lama; dan keempat, kemungkinan investasi yang dilakukan oleh sektor pemerintah baik swasta yang bersumber PMDN dan PMA tertanam pada sektor sosial yang mempunyai multiplier effect yang kecil serta tingkat pengembaliannya yang lambat.

Subsektor perkebunan memberikan kontribusi pembangunan di pedesaan, sehingga dapat menekan ketimpangan ekonomi antar wilayah. Besamya indek Williamson antar daerah kabupaten/kota pada tahun 2003 sebesar 0,5060. Pada tahun 2005 mengalami penurunan menjadi 0,4429 dan terus menurun sehingga pada tahun 2007 angka indek Williamson hanya sebesar 0,3327. Penurunan indek ketimpangan ini lebih banyak disebabkan kegiatan perkebunan menyebabkan mata pencaharian masyarakat tidak lagi terbatas pada sektor primer dalam memenuhi kebutuhan keluarganya, tetapi telah memperluas ruang gerak usahanya pada sektor tertier. Kegiatan ini menimbulkan pusat-pusat pertumbuhan ekonomi di sekitamya. Manfaat kegiatan perkebunan ini terhadap aspek ekonomi pedesaan, antara lain: memperluas lapangan kerja dan kesempatan berusaha; peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitar; dan memberikan kontribusi terhadap pembangunan daerah.