Detail Artikel

Minggu, 04 Juli 2010

Membangun Gerakan Mahasiswa Melawan Kaum Borjuasi Nasional
Melihat realitas sekarang ini, pergerakan mahasiswa sudah mulai mengalami stagnanisasi. Apakah mahasiswa sudah kehilangan identitas ? ataukah medan gerak mahasiswa telah terpenjara oleh sistem sehingga memunculkan pragmatisme dan apatisme dikalangan kaum intelektual sendiri.

Padahal Sang proklamator sebagai Pemimpin Besar Revolusi telah mengamanatkan kepada mahasiswa dan pemuda-pemudi, agar melalui persatuan dan kesolidan mampu menjadi agen perubahan sekaligus kaum intelektual pengimbang rezim pemerintahan.

Menurut akar sejarah bangsa indonesia mulai masa pergerakan nasional Boedi Oetomo 1908 dan Pemuda 1928, kemerdekaan 17 Agustus 1945, Soe Hok Gie tahun 1966, masa Orde Lama, masa Orde Baru sampai masa Orde Reformasi yang sepenuhnya dimotori oleh pergerakan pemuda dan mahasiswa dalam menegakan tonggak kemandirian bangsa secara jelas.

Namun dalam mencermati perjalanan reformasi seiring dengan proses transformasi kepemimpinan nasional, terdapat sejumlah hal yang patut disimak. Yakni berbagai hal kegiatan yang bernuansa politik muncul dipermukaan, dari yang serius bahkan yang bersifat dagelan muncul tanpa ada rem cakram pencegahnya alias blong.

Mulai dari detik, menit, hari, minggu, bulan, tahun hingga saat ini, pengaruh akan mahasiswa dalam melakukan pergerakan serta perubahan Bangsa Indonesia tenyata telah ditutupi oleh mereka yang menjalankan birokrasi secara KKN, yang semakin parah seiring dinamika negeri ditambah lemahnya daya ingat Anak Bangsa akan tragedi saat ini sehingga kemudian nyaris menuju peti es atau malah cukup menjadi arsip catatan sejarah.

Bercermin dengan kasus yang telah terjadi sebelumnya serta masih banyak kasus-kasus pelanggaran HAM yang tidak diselesaikan secara tuntas, mulai dari pembunuhan massal 1965, pelanggaran HAM di Aceh dan Papua, Kasus Tanjung Priok, Kasus Way Jepara-Lampung, Penculikan Para Aktivis Pro-Demokrasi 1997/1998, Kasus 27 Juli 1996, Tragedi Trisakti, Tragedi Mei 98, Tragedi Semanggi I, Tragedi Semanggi II, Kasus Ambon, Kasus Poso, Kasus Pembunuhan Pejuang Penegak HAM Munir, Priok Berdarah, Kasus Korupsi pada tiap bank mulai dari BI, BLBI, Bank Century, hingga Markus yang didalangi dan dibekingi oleh elit-elit politik dan pejabat-pejabat teras yang haus harta dan kekuasaan hingga tega mengorbankan dan menindas rakyat.

Begitu juga dengan kasus yang terjadi di daerah kita sumatera barat yang masih belum mendapat kejelasan-kejelasan sampai detik ini.

Permainan ketoprak humor para politisi ini mulai membingungkan rakyat bahkan cenderung membawa rakyat kepada keputusasaan sosial, ekonomi yang morat-marit, budaya yang semakin terkikis, dan program pendidikan yang tidak jelas sehingga makin membawa rakyat menuju jurang ketidakpercayaan atas perjalanan reformasi dan demokratisasi.

Persoalan ini menjadi dilema yang seakan-akan sulit terpecahkan.

Demikian juga dengan gerakan pro demokrasi yang sangat sulit untuk melepaskan diri dari beban mental proses reformasi ini, ditambah kemunculan kekuatan-kekuatan fundamentalis makin menampakan wajah sangar dari sebuah bias reformasi, entah atas nama kepentingan murni ataukah hanya karena kepentingan kelompok atau bahkan bagian tidak terpisahkan dari strategi kekuatan pro status quo dalam upaya pengalihan tuntutan reformasi sejati dan semua peristiwa yang ada menjadikan daya gerak dan daya dobrak kaum pergerakan menjadi makin keblinger.

MAU KEMANA GERAKAN MAHASISWA?

Pertanyaan yang sekiranya muncul adalah sebuah retorika yang tidak terlalu membutuhkan jawaban teoritis namun justru membutuhkan kerja praktis dan kongkrit

Posisi dilematis memang sedang dihadapi oleh kalangan gerakan pro demokasi terutama gerakan mahasiswa yang sedang dalam keadaan ironis.

Perubahan konstelasi politik yang berubah cepat hampir setiap sepersekian detik, sangat mempengaruhi kajian dan analisa dari gerakan mahasiswa dan secara tidak langsung sangat mempengaruhi kinerja dari gerakan mahasiswa.

Secara tidak langsung kemudian timbul sebuah pertanyaan dalam jiwa kita apa yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ditengah kancah permainan dan manuver borjuasi nasional ini?

Kembali Ke Sektor Kaum Buruh dan Rakyat

Tentunya akan ada pertanyaan lanjutan dari pernyataan ini. Diakui atau tidak bahwa rakyatlah yang paling menentukan dalam proses perubahan bangsa ini, dan gerakan untuk kembali ke rakyat harus dimulai dalam upaya membangun kesadaran politik di kalangan msyarakat bawah (grass root).

Tidak akan pernah ada revolusi yang berhasil tanpa disertai oleh massa yang sadar (Soekarno), pernyataan dari mantan revolusioner tersebut seharus dicamkan oleh kalangan gerakan mahasiswa jika ingin mewujudkan perubahan yang sejati.

Penyadaran itu dapat dimulai dengan mengadakan pendampingan-pendampingan pada daerah berkasus, dan ini sangat signifikan untuk dilakukan karena pada dasarnya jiwa perlawanan ada pada setiap manusia yang mengalami penindasan secara langsung.

Namun perlu ditegaskan disini, pendampingan sekaligus penyadaran politik bukan berarti datang dan terus menjadi malaikat.

Kesadaran yang dibangun bukan dengan memberikan pendidikan sistematis ataupun pendidikan ala bankir, dimana masyarakat hanya menerima dan dijejali dengan teori tertentu sebagai upaya penyadaran hak sebagai warga negara, namun yang lebih mendasar adalah memberikan penyadaran tentang hak mereka dan selanjutnya menempatkan masyarakat ini sebagai subyek dari proses pendidikan ini.

Pendidikan ini dikatakan berhasil apabila masyarakat sudah bisa melepaskan diri dari sikap fatalismenya dan mempunyai mobilitas yang tinggi serta secara aktif terlibat dalam sistem politik. Penumbuhan kesadaran ini sangat efektif untuk mencegah terjadinya bahaya laten kerinduan terhadap Orde Baru dan juga hegemoni rezim korporatokrasi, pada akhirnya pendidikan ini berupaya untuk membuat rakyat memiliki, Goldman, kesadaran riil melalui kesadaran yang sangat memungkinkan (real consciuosness through maximal possibble consciuosness, Paulo Freire) yang merupakan inti dan dasar dari sebuah revolusi.

Kembali Ke Kampus

Bukan berarti bahwa gerakan kembali ke kampus disini sama dengan gerakan NKK/BKK, tapi berupa penilaian dan refleksi yang sangat obyektif dalam memandang arah dan pola gerakan mahasiswa. Berkaca dari gerakan mahasiswa di daratan Eropa dan Amerika Latin tahun 60-an, dimana sebagian besar gerakan rakyat tumbuh dari akumulasi gerakan / gejolak dalam kampus.

Ini seharusnya menjadi acuan yang sangat mendasar bagi pola gerakan di negara ketiga khususnya Indonesia.

"Kembali ke kampus" bukan berarti mahasiswa untuk seterusnya menjadi kutu buku, namun gerakan ini harus mulai membangun kekuatan untuk sebuah revolusi pendidikan.

Mau tidak mau harus diakui bahwa menyurutnya gerakan mahasiswa juga sebagai akibat dari sistem pendidikan Indonesia yang sangat menindas.

Kondisi ini yang sekarang harus mulai didobrak oleh kalangan pro demokrasi, dan ini telah dilakukan oleh sebagian besar kampus di Indonesia, namun semua ini barulah pada tahapan permukaan belum pada tataran yang lebih substansional.

Penyadaran tentang hak politik mahasiswa dan pemahaman tentang penindasan negara melalui sistem pendidikan harus mulai diinjeksikan kepada kalangan grass root mahasiswa sebagai upaya membangun kekuatan dan konsolidasi menghadapi manuver kaum borjuasi nasional.

Sehingga dalam kurun beberapa waktu kedepan bukan sekadar segelintir aktivis mahasiswa tetapi akan tumbuh ratusan bahkan ribuan mahasiswa yang siap untuk revolusi.

Dua hal ini sekiranya yang harus dilakukan oleh gerakan mahasiswa ditengah permainan elit politik sekarang ini. Dengan mempertimbangkan situasi nasional dan psikologis rakyat yang sudah mulai jenuh dengan perjalanan reformasi total yang belum tuntas, sudah seharusnya gerakan mahasiswa mengubah pola gerak yang ada, namun tetap harus disesuaikan dengan kondisi tiap daerah tertentu.

Namun begitu disadari bahwa kondisi geografis Indonesia yang sebagian besar dibatasi oleh lautan, tidak memungkinkan melakukan gerakan seperti mahasiswa di belahan Amerika Latin dan Eropa dengan pola bola saljunya.

Tetapi keterbangunan musuh bersama (common enemy) dikalangan gerakan mahasiswa terutama di kalangan gerakan mahasiswa yang radikal sudah semestinya dilakukan untuk sebuah gerakan yang masif.

Dengan melakukan penyadaran di kedua sektor ini maka suatu saat dalam sebuah momentum politik yang tepat, maka diyakini akan timbul sebuah perlawanan dari rakyat yang sadar.

Dan pola ini bukan berarti meninggalkan tuntutan reformasi tetapi justru menjadi entry point yang sangat kuat untuk melangkah kepada tuntutan itu dengan meminimalisir ketakutan rakyat akibat kesadaran politik yang semu dari negara.

Membangun kekuatan dimana rakyat melakukan perlawanan bukan atas dasar ajakan tetapi lebih karena sadar akan adanya ketertindasan. Educacao como practica da liberdade (Paulo Freire), pendidikan adalah sebagai praktik pembebasan keyakinan akan massa yang sadar dan keyakinan akan sebuah pendidikan pembebasan, maka sudah seharusnya gerakan mahasiswa tidak ragu-ragu lagi dengan gerakan penyadaran dan pengorganisiran massa.

Salam Perjuangan Kawan.!!!!