Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Kamis, 14 Mei 2020 Keteknikan

New Normal Pembelajaran Pascapandemi Covid-19

New normal bukanlah istilah baru. Istilah new normal muncul lebih dari dua dekade yang lalu, saat setelah krisis keuangan pada tahun 2007 s.d. 2008 dan kemudian setelah resesi global pada tahun 2008 s.d. 2012. Selanjutnya, istilah ini digunakan dalam berbagai keadaan lain untuk menyiratkan bahwa sesuatu yang tidak biasa atau belum pernah dilakukan sebelumnya, telah menjadi biasa.

Belakangan ini, disebabkan pandemi Covid-19, istilah new normal kembali muncul dalam konteks yang lebih luas, seperti ekonomi, politik, kehidupan sosial, pendidikan dan kebiasaan sehari-hari di masyarakat awam. Mulai dari hal yang paling sederhana, seperti pemakaian masker; membersihkan tangan setiap kali setelah menyentuh pegangan pintu atau tombol ATM; menempatkan petugas pengukur suhu tubuh di pintu-pintu masuk pusat perbelanjaan dan kantor-kantor; hingga hal-hal yang kompleks seperti bekerja dari rumah dan seminar online.

Dalam konteks pendidikan, disadari atau tidak, "new normal" telah mulai terjadi secara global sejak pandemi Covid-19. Kegiatan belajar mengajar yang bisanya dilaksanakan secara tatap muka secara langsung, yakni pendidik dan peserta didik hadir secara fisik di ruang-ruang kelas dan tempat-tempat belajar, kini digantikan dengan kegiatan pembelajaran melalui media elektronik (e-learning) baik secara singkron ataupun secara nir-singkron.

E-learning nir-singkron dapat dilakukan secara dalam jaringan (daring) maupun secara luar jaringan (luring). Pada pembelajaran daring, pendidik dan peserta didik pada waktu yang sama berada dalam aplikasi atau platform internet yang sama dan dapat berinteraksi satu sama lain layaknya pembelajaran konvensional yang dilakukan selama ini. Sementara itu, pada pembelajaran luring, pendidik melakukan pengunggahan materi melalui web, mengirim lewat surat elektronik (e-mail) ataupun mengunggahnya melalui media sosial untuk kemudian dapat diunduh oleh peserta didik. Dengan cara luring, peserta didik melakukan pembelajaran secara mandiri tanpa terikat waktu dan tempat. Di sisi lain, e-learning secara singkron hanya dapat terjadi secara daring.

Meskipun pada kenyataannya, kegiatan belajar mengajar secara e-learning telah dilakukan oleh beberapa perguruan tinggi dari sejak lama, namun cara pembelajaran seperti ini adalah kesadaran (awareness) terhadap era Industrial Revolution 4.0, era yang membawa perubahan pada cara manusia dalam bekerja, berinteraksi, dan bertransaksi. Dalam perspektif pendidikan, istilah umum yang digunakan oleh para ahli teori pendidikan sebagai implikasi dari Industrial Revolution 4.0 adalah Education 4.0, untuk menggambarkan berbagai cara untuk mengintegrasikan teknologi di era Industrial Revolution 4.0 baik secara fisik maupun tidak ke dalam pembelajaran. 

Education 4.0 merupakan inovasi dunia pendidikan di era Industrial Revolution 4.0, yakni sebuah jawaban dari pertanyaan "Bisakah kita melakukan?" Education 4.0 dapat dilihat sebagai sebuah respon kreatif, yakni manusia memanfaatkan teknologi digital, open sources contents dan global classroom dalam penerapan pembelajaran sepanjang hayat (life-long learning), flexible education system, dan personalized learning, untuk memainkan peran yang lebih baik di tengah-tengah masyarakat.

Di sisi lain, new normal pembelajaran secara e-learning bukanlah jawaban dari sebuah pertanyaan, tetapi adaptasi dari sebuah kondisi yang semua orang "terpaksa" melakukannya. Sejak dikeluarkannya Surat Edaran Nomor 36962/MPK.A/HK/2020 tertanggal 17 Maret 2020 oleh Mendikbud dan diberlakukan beberapa hari kemudian, seluruh kegiatan belajar mengajar baik di sekolah-sekolah maupun kampus-kampus dilaksanakan secara daring sebagai upaya pencegahan terhadap perkembangan dan penyebaran pandemi Covid-19.

Tidak ada yang bisa menjangka kapan pandemi Covid-19 akan berakhir. Namun demikian, pasca pandemi Covid-19 nantinya, new normal pendidikan yang telah dimulai seharusnya diteruskan dan disempurnakan hingga memenuhi konsep blended learning, yakni sebuah konsep pendidikan yang mengombinasikan metode kuliah tatap muka di ruang kelas dengan e-learning sehingga pada gilirannya, dunia pendidikan akan benar-benar berada dalam era education 4.0.

Terkait e-learning di perguruan tinggi, jika yang menjadi ukuran adalah “dapat dilakukan”, maka tidak bisa dipungkiri bahwa semua kampus dapat melakukannya. Namun, apakah kualitas e-learning tersebut dapat terpenuhi sesuai dengan yang diingini? Tentu saja akan sulit dijawab karena dalam hal ini melibatkan banyak faktor, memerlukan keterlibatan berbagai pihak, dan harus dipersiapkan sebaik mungkin. Pada titik ini, penulis berpendapat, paling tidak ada enam hal penting yang patut menjadi perhatian sebuah perguruan tinggi dalam mempersiapkan e-learning sebagaimana yang diuraikan berikut ini:

Pertama, dosen dan mahasiswa harus meningkatkan keterampilan internet dan literasi komputer. Paling tidak, dosen harus mampu memanfatkan kanal-kanal yang tersedia, seperti Learning Management System, media komunikasi berbasis audio-video, media sosial serta media penyimpan data yang dapat digunakan membantu terjadinya kegiatan belajar mengajar yang berkualitas. secara umum, keterampilan internet dan literasi komputer mahasiswa lebih baik daripada dosen, sehingga yang menjadi pertimbangan dari sisi mahasiswa adalah koneksi internet, terutama di daerah-daerah terpencil, terdepan dan tertinggal, dan beberapa mahasiswa mungkin akan terbebani jika menggunakan paket data.

Kedua, dosen harus melakukan penjajaran konstruktif (constructive aligment) ulang terhadap keselarasan tiga komponen Outcome Based Education (OBE), yakni (1) capaian pembelajaran, (2) aktifitas pembelajaran, dan (3) metode asesmen yang telah disusun dalam Rencana Pembelajaran Semester (RPS). RPS tidak perlu dirubah secara total, namun cukup dengan menentukan kembali capaian pembelajaran mana yang dapat disampaikan secara e-learning dan mana yang tidak, karna tidak semua capaian pembelajaran dapat terpenuhi dengan pelaksanaan e-learning, seperti keterampilan yang bersifat hands on, terutama pada program-program studi vokasi. Selanjutnya lakukan pemetaan ulang capaian pembelajaran terhadap aktifitas pembelajaran, termasuk penentuan metode asesmen yang sesuai bagi setiap capaian pembelajaran.

Ketiga, dosen harus menjamin kesiapan (readiness) materi kuliah dengan perspektif “belajar mandiri” dalam format digital sedemikian rupa sehingga mahasiswa mudah memahami materi kuliah, terutama jika diberikan secara luring. Untuk matakuliah umum, dasar keahlian dan pengetahuan terapan, penyampaian materi kuliah dalam bentuk ringkasan kuliah sebaiknya dihindari, akan lebih tepat jikalau dosen memberikan catatan kuliah, penggunaan software simulasi yang open source, ataupun rekaman audio-video. Materi kuliah praktek yang menggunakan toolbox, dosen diharapkan menyiapkan rekaman tutorial, untuk dipelajari mahasisa secara mandiri.

Keempat, Tentukan durasi setiap unit pembelajaran. Durasi pembelajaran erat kaitannya dengan beban belajar mahasiswa (Sudent Learning Time/SLT) yang ditentukan dengan jumlah satuan kredit yang diambil mahasiswa. Untuk pembelajaran daring, perhatikan waktu yang koheren sesuai dengan tingkat pengaturan diri dan kemampuan metakognitif mahasiswa. Penentuan durasi setiap unit pembelajaran sangatlah penting, terutama dalam memberikan tugas kepada mahasiswa. Tugas yang menyita waktu dapat membuat beban belajar mahasiswa menjadi jauh lebih tinggi dari beban kredit yang dambilnya.

Kelima, Asesmen dalam bentuk kuis dan tugas mandiri lainnya harus direncanakan sedemikian rupa, sehingga kualitas soal tetap memenuhi taxonomy level yang sesuai dengan jenjang program studi. Ujian formatif dan sumatif sebaiknya tetap dilakukan secara langsung dan terjadwal sebagaimana cara konvensional yang dipraktekan selama ini.

Keenam, kampus harus mempersiapkan infrastruktur dan bandwidth yang cukup jika menggunakan jaringan kampus. Lonjakan pengguna secara tiba -tiba dan pemakaian yang simultan akan menyebabkan server mengalami bottleneck, hang, hingga down. Selain itu, kampus harus menetapkan aplikasi atau platform yang dipakai guna menghindari mahasiswa mengunduh dan mencoba terlalu banyak aplikasi atau platform.

Tentu saja perguruan tinggi tidak semata-mata menumpukan perhatian kepada enam hal yang diuraikan di atas. Namun, setidaknya bisa menjadi langkah awal bagi perguruan tinggi saat menyusun e-learning dalam menerapkan Blended Learning guna mewujudkan Education 4.0 yang akan menjadi New Normal di era Industrial Revolution 4.0 pasca pandemi Covid-19 nantinya.

*) Tulisan yang sama telah terbit di halaman OPINI Harian Padang Ekspres, Jumat 8 Mei 2020.