Detail Artikel

Kamis, 12 November 2020

Kaba: Refleksi Bahasa Ibu di Minangkabau
Pengkajian dan penganalisisan terhadap gaya bahasa lokalitas Minangkabau dalam karya sastra memiliki korelasi yang erat dengan aspek bahasa, masyarakat, dan budayanya. Secara semantik, pengkajian ini memang lebih memusatkan perhatian kepada analisis (makna) bahasa yang diujarkan oleh tokoh sebagai representasi atas orang atau kelompok dari masyarakat setempat, yang tergambar dalam teks sastra lokalitas. Namun demikian, dalam penelitian tentang gaya bahasa terhadap teks sastra lokalitas, peneliti tidak sekadar mencari makna dan mengartikan kata yang kemudian diindonesiakan, tetapi juga menggali potensi atas pertimbangan bahasa yang dilakukan oleh pengarang secara sadar melalui analisis kebudayaan yang bersifat setempat (Rinaldi, 2018: 17).

Sebagai objek pembicaraan kali ini, kaba Rancak di Labuah karya Dt. Panduko Alam dan Anggun nan Tongga karya Ambas Mahkota sarat dengan muatan lokalitas dengan pola asuh ibu di Minangkabau. Pola asuh orangtua, terutama ibu di Minangkabau, dipandang sebagai suatu respon positif yang di dalamnya terkandung nilai-nilai ideal dalam hal berbahasa, kesan, nilai rasa, sikap dan cara pandang yang ditanamkan oleh orangtua terhadap anaknya dengan berlandaskan kearifan lokal. Dalam kaba Rancak di Labuah, diceritakan tentang seorang anak yang dibesarkan oleh seorang ibu yang kehadirannya tanpa didampingi oleh seorang suami. Rancak di Labuah adalah seorang pemuda yang tinggal di Dusun Taluk dengan ibunya yang bernama Siti Juhari dan adiknya yang bernama Siti Budiman. Sebagai figur seorang bundo kanduang, Siti Jauhari merupakan perempuan yang rajin berguru dan sering belajar dari para tetua. Ia menjadi seorang yang cendikia; tahu sifat mulia dalam adat.

Buyuang Geleng digelari Rancak di Labuah karena perangainya yang cenderung mengutamakan penampilan semata. Kesehariannya, ia tidak pernah mempedulikan kesukaran hidup keluarganya. Sepanjang hari, ia selalu memperturutkan keinginan nafsunya. Jika orang lain pergi bekerja ke ladang, ia hanya bermain tanpa menghasilkan sesuatu yang bermanfaat bagi ibu dan adiknya. Pada suatu ketika menjelang lebaran, Buyuang Geleng atau Rancak di Labuah meminjam uang kepada pemilik modal di kampungnya untuk membeli pakaian yang indah dengan jaminan sawah ibunya. Ketika pinjaman itu jatuh tempo, ia tidak dapat memenuhi janjinya karena ia tidak mempunyai uang. Ia panik, lalu datang kepada ibunya untuk menceritakan keadaannya. Kemudian, dengan jalan kiasan atau perbandingan serta kearifannya sebagai seorang ibu, Siti Juhari memberi nasihat-nasihat kepada Rancak di Labuah. Berkat cara yang demikian, Rancak di Labuah menuruti nasihat ibunya; bertaubat kepada Allah Swt., serta berjanji akan mengubah perangainya.

Singkat cerita, Rancak di Labuah mulai mempraktikkan nasihat-nasihat yang disampaikan oleh ibunya. Ia rajin bekerja di sawah ataupun di ladang sehingga menjadi orang yang sukses. Segala ajaran yang mengandung kearifan setempat, dilaksanakannya. Cara penyampaian ibu dalam mendidik dan menasihati anaknya yang demikian merupakan bagian dari pola asuh demokratis dalam kaba Rancak di Labuah. Cara penyampaian yang demikian dapat diidentifikasi pendayagunaan gaya bahasa lokalitas Minangkabau yang dikemas sdan direpresentasi oleh tokoh.

Sementara itu, kaba Anggun Nan Tongga berkisah tentang tokoh laki-laki yang dibesarkan oleh seorang ibu bernama Ganto Pamai, yang kehadirannya juga tanpa didampingi oleh seorang suami. Nan Tongga adalah seorang raja di daerah Tiku. Ia adalah seorang raja yang cakap secara fisik dan mental. Seperti halnya Rancak di Labuah, Anggun Nan Tongga juga seorang yang tidak terlepas dari nasihat ibunya sehingga kemudian ia menjadi seorang yang berkarakter tanggung jawab di keluarganya. Namun, ada yang menarik dari persoalan kaba Anggun nan Tongga. Dalam kaba ini, kekeliruan pola asuh ibu justru digambarkan dengan dipertunangkannya Anggun nan Tongga (anaknya) dengan Gondan Gondoriah, saudara sepesusuan Anggun Nan Tongga sendiri. Meskipun demikian, secara personal, Anggun Nan Tongga telah diasuh dengan pola demokratis sehingga ia menjadi pribadi yang tangguh, berani, bertanggung jawab, dan sebagainya. Untuk melihat pola asuh ibu yang demikian, pendayagunaan retorik dan majas lokalitas Minangkabau dapat diidentifikasi sebagai gaya bahasa seorang ibu ketika mendidik anaknya.

Setelah memaknai dari persoalan tersebut, melalui pemikiran positif terhadap begitu panjangnya masa hidup kaba, dari yang semula berupa lisan hingga kemudian beralih menjadi tulisan; dari yang bersifat anonim kemudian dapat diketahui pengarangnya, keberhasilan tokoh-tokoh cerita dalam kaba ini tidak terlepas dari berkat asuhan seorang ibu meskipun kehadirannya tanpa didampingi oleh seorang suami. Hal itu merefleksi bagaimana seorang mande, bundo, atau amak (ibu) di Minangkabau. Di samping persamaan, terdapat perbedaan berdasarkan pola asuh ibu dalam cerita kaba Rancak di Labuah, yakni anak diarahkan kepada sikap dan cara pandang yang semakin dewasa tanpa kesalahan pola asuh di akhir cerita. Sementara itu, kaba Anggun nan Tongga, pembaca disadarkan bahwa diakhir cerita orangtua telah keliru menjodohkan anak yang pada dasarnya adalah saudara sepesusuan (baca: kawin pantang). Namun demikian, diawal cerita, secara personal, Anggun Nan Tongga dididik menjadi pribadi yang tangguh.

Untuk mendidik anak dan menjalankan pola asuh, gaya bahasa lokalitas Minangkabau merupakan sarana dan gaya penyampaian secara eksplisit yang mengandung maksud secara implisit. Artinya, tokoh ibu dalam kaba-kaba tersebut merefleksikan masyarakat, bahasa, dan budayanya. Gaya bahasa penegasan dan pertentangan (retorik) atau perbandingan dan sindiran (majas) merupakan cerminan cara dan bentuk penyampaian pesan moral dari seorang ibu yang ideal di Minangkabau ketika bertutur atau sedang menunjukajarkan berbagai hal kepada anak-anaknya.

Pada kaba Rancak di Labuah, peran ibu dalam menjalankan pengasuhan (proses mengasuh) sangat berpengaruh terhadap sikap dan cara pandang anak menuju kematangan berpikir. Anak dikendalikan oleh ibu bukan dengan cara yang otoriter, melainkan dalam bentuk demokratis, meskipun terdapat sedikit pola asuh permisif. Pola asuh ibu dalam kaba Rancak di Labuah sangat menentukan bagaimana anak dalam bersikap dan berbuat. Berkat kesabaran, kecerdasan, dan kearifannya (termasuk dalam hal memanfaatkan bahasa dalam fungsi didaktis), ibu mampu mengubah perangai anak yang semula bebas dan tidak terarah menjadi terarah. Hal ini sesuai dengan nilai ideal seorang wanita di Minangkabau; “tahu di mudharat jo manfaat, mangana labo jo rugi, mangatahui sumbang jo salah, tahu di unak kamanyangkuik, tahu di rantiang ka mancucuak, ingek di dahan ka mahimpok, tahu di angin nan basiruik, arih di ombak nan basabuang, tahu di alamat kato sampai”. Ungkapan tersebut merupakan seruan bagi kaum wanita di Minangkabau supaya selalu ingat bahwa dia adalah seorang pemimpin (pemilik suku) yang harus menjadi teladan yang penuh dengan kearifan serta menjaga nama baik keluarga ataupun sukunya. Seorang wanita hendaklah berhati-hati dalam bertutur kata (berbahasa) supaya tidak ada orang yang tersinggung dan dalam berjalan haruslah memperhatikan langkahnya agar sesuatu yang dilakukan tidak mendatangkan mudarat nantinya, sesuai dengan ungkapan “bakato sapatah dipikiri, bajalan salangkah maliek suruik, muluik tadorong ameh timbangannyo, kaki tataruang inai padahannyo, urang pandorong gadang kanai, urang pandareh hilang aka”. Selain itu, kaum wanita juga harus selalu taat beribadah kepada Allah Swt., menjalankan perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya, rendah hati, dan sopan santun.

Demikianlah, melalui refleksi bahasa yang terdapat di dalam kaba, ibu mesti memaami bahwa anak tidak ditunjukajarkan dengan kalimat-kalimat atau perlakuan yang kasar, tetapi dapat dilakukan dengan jalan kiasan. Dengan kias, anak diharapkan akan sensitif dan berpikir bahwa perkataan ibunya mengandung maksud penting yang patut untuk dicerna.

Penulis, Dosen FKIP Universitas Bung Hatta
Diterbitkan di Padang Ekspress, Januari 2020