Senin, 10 Oktober 2022
Landasan Hukum dan Kecerdasan Bermedia Sosial
(Mahasiswa Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta)Di era reformasi teknologi, media sosial dan teknologi digital tidak dapat dipisahkan bahkan sudah menjadi kebutuhan bagi kehidupan manusia. Media sosial dan teknologi digital sangat membantu dalam berbagai aspek di kehidupan manusia. Media sosial menjadi sarana untuk memperoleh informasi yang tersebar dan fenomena dari berbagai daerah. Semuanya dapat diakses dengan sangat mudah oleh pengguna media sosial tersebut, mulai dari foto berita, video, dan sebagainya sehingga dapat menimbulkan spekulasi.
Informasi tersebut mesti disaring dengan sempurna karena banyak sekali informasi disebarkan oleh oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab untuk memberdayakan masyarakat bahkan membuat kegaduhan sehingga muncul perpecahan di tengah masyarakat.
Pengguna media sosial mestinya pandai memilih dan mencermati berbagai informasi yang muncul di media sosial agar tidak terhasut berita-berita hoax tersebut. Berbagai kasus dan pemberitaan yang berkait-kelindan dengan publik figur: politisi, seniman, pejabat, dan sebagainya, menjadi viral dan dengan cepat tersebar di masyarakat.
Kasus Sambo dan disusul polemik antara Billar vs Lesti, misalnya, secepat kilat kasus-kasus itu mencuat ke permukaan masyarakat kota hingga desa. Belum lagi kasus konflik dan tragedi Kanjuruhan Malang, misalnya, sebagian teks atau narasi yang ditulis berusaha menggiring opini ke arah yang mereka ingin menangkan. Terkadang, hal itu sulit dibendung lantaran begitu liar dan libaralnya media sosial. Ada pihak yang berusaha memperjuangkan kepentingan TNI-Polri, para pendukung masing-masing kesebelasan, dan pihak-pihak yang menjadi korban tragedi tersebut.
Kecerdasan penggunaan media sosial dibuktikan dengan tindak-tanduk mereka saat meninggalkan komentar atau melakukan pengunggahan. Tujuannya mesti jelas. Jika hanya untuk memprovokasi dan memperkeruh suasana, sebaiknya penggunaan mesti berpikir beribu kali untuk melakukannya. Sebab, akan ada konsekuensi yang akan diterima. Kasus Baim Wong yang belakangan viral membuktikan bahwa penggunaan media sosial yang tak cerdas memotivasi orang untuk berbuat konyol dan tolol. Alhasil, pelaku berpotensi di pidana atas perbuatannya.
Dalam Pasal 45A(1), Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik, telah disebutkan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan berita bohong dan menyesatkan yang mengakibatkan kerugian konsumen dalam Transaksi Elektronik sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (1) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah). Kemudian, di ayat (2) juga dijelaskan bahwa setiap orang yang dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan/atau kelompok masyarakat tertentu berdasarkan atas suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA) sebagaimana dimaksud dalam Pasal 28 ayat (2) dipidana dengan pidana penjara paling lama 6 (enam) tahun dan/atau denda paling banyak Rp1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah).
Mencermati ancaman hukuman yang demikian, tentu permasalahan ini tidak main-main agaknya. Namun, apa yang kurang dari masyarakat? Apakah pemerintah perlu kembali melakukan sosialisasi? Meningkatkan kurikulum pendidikan dengan muatan cerdas teknologi? Sepenuhnya tentu tidak demikian. Sebab, kebodohan bermedia sosial sangat ditentukan dengan kecerdasan dan kematangan emosional seseorang. Apabila kecerdasan dan emosional seseorang terkendali dan terorganisasi dengan baik, yaknilah mungkin tak akan ada perpecahan dan kemudaratan dalam bermedia sosial.