Rabu, 12 Oktober 2022
Warna Lokal Minangkabau: Bahasa, Masyarakat, dan Budaya
Rio Rinaldi(Dosen Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP Universitas Bung Hatta)
Karya sastra warna lokal Minangkabau berpotensi berisi muatan yang merepresentasikan kekhasan suatu bahasa, masyarakat, dan budaya yang berkaitan dengannya melalui unsur ekstrinsik dan intrinsik. Konkretnya, karya sastra yang memuat unsur lokalitas Minangkabau sedikit banyaknya memiliki muatan tentang bahasa dan persoalan sistem kemasyarakatan di Minangkabau. Sekurang-kurangnya, ada sikap dan cara pandang pengarang atau representasi atas masyarakat setempat yang tergambar melalui bahasa dan konflik, penokohan, latar cerita, konvensi budaya, dan lain sebagainya. Kehadiran beberapa unsur keminangkabauan yang disampaikan melalui bahasa tertentu memungkinkan adanya tegangan dan hubungan dengan realitas sosial, seperti sikap dan cara pandang, cara merasa, ideologi budaya, dan sebagainya. Karya sastra warna lokal Minangkabau berisi hal-hal yang kadang sulit diterima ketika kehadirannya muncul pada teks, tetapi menggejala dalam kehidupan nyata sehingga muncul tegangan antara pembaca dan pengarang.
Unsur yang memungkinkan adanya tegangan dan hubungan dengan realitas objektif itu bukanlah suatu hal yang negatif dalam teks sastra. Justru, inilah yang memungkinkan terbentuknya kesan estetika dan potensi dialogis. Pengarang yang menulis karya sastra berwarna lokal dalam konteks sinkronik dan diakronik memiliki persepsi dan kesosialan melalui unsur imajinatif dan proses kreatifnya. Hubungan unsur tersebut dengan realitas sosial tidak terbatas pada hal-hal yang membentuk suatu pandangan dunia, unsur imajinatif, dan kreatif, tetapi juga kepada reaksi penulis atau tanggapan penulis terhadap kejadian di sekitarnya. Dengan demikian, tugas penulis sastra warna lokal adalah berupaya menciptakan style guna menciptakan dunia sendiri dalam teks sastra. Setiap style menyarankan suatu interpretasi tertentu terhadap suatu persoalan berdasarkan resepsi pengarang.
Kehadiran warna lokal dalam teks sastra warna lokal merupakan bukti fisik dari kesosialan pengarang terhadap bahasa yang mesti diwariskan oleh generasi berikutnya dalam melestarikan bahasa kedaerahan sebagai upaya revitalisasi dan dokomentasi bahasa lokal. Karya sastra sebagai wadah bagi pengarang dari berbagai era dimanfaatkan untuk mempertahankan identitas lokal yang sedang terancam. Karya sastra dengan segala bentuk dan isi yang terkandung dengan muatan lokalitas Minangkabau menjadi warisan pengarang untuk pelestarian bahasa yang bersifat setempat. Dengan demikian, warna lokal dapat dikatakan sebagai upaya pengarang dalam memanfaatkan bentuk, seperti aspek stilistik berupa diksi dan gaya bahasa. Hal ini tentu penting sekali untuk dibangkitkan. Di era milenial, dalam gelanggang tulis-menulis, tidak cukup banyak penulis baru yang muncul dan tertarik untuk menuliskan sastra Indonesia warna lokal atau berbahasa Minangkabau. Pengarang yang masih eksis dalam menulis dengan muatan lokalitas Minangkabau masih terbilang statis, belum begitu terlihat regenerasi yang mencirikan zamannya.
Jika diselisik dari segi bentuk, seperti diksi dan gaya bahasa, muatan hal tersebut harus memiliki nilai estetika. Pendayagunaan bahasa lokal yang mapan oleh pengarang bertujuan untuk menggambarkan kekhususan tentang cara merasa atau mengungkapkan maksud tertentu yang merupakan khas masyarakat setempat. Pada tataran ekspresif, jika seseorang dari Minangkabau ingin mengungkapkan rasa marah dan jengkel, misalnya, dapat disampaikan dengan menggunakan gaya bahasa satire yang khas Minangkabau. Dalam fungsi lain, jika ingin mengungkapkan nasihat, kritik, kondisi baik-buruk terhadap seseorang atau hal, rasa kecewa, bahagia, terkejut, dan lain sebagainya, seseorang Minang dapat mengungkapkannya melalui gaya bahasa perbandingan, pertentangan, bahkan penegasan. Pertimbangan pendayagunaan bahasa lokal itu pada gilirannya akan mencerminkan kondisi sosial budaya suatu etnis serta juga kematangan seorang pengarang karena telah merepresentasi sikap berbahasa dan cara pandang masyarakat setempat pada karya sastra yang dikarangnya.