Detail Artikel

Jum'at, 14 April 2023

ABSSBK DAN SILA KEDUA BUTIR KEEMPAT
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
(Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta)

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau atau Pujian ABSSBK HAM mengkaji sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini melahirkan butir keempat untuk diterapkan di tengah kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Minangkabau.

Sila kedua butir keempat ini berbunyi: Tidak semena-mena terhadap orang lain. Artinya, seorang manusia itu tidak boleh melakukan sesuka hatinya terhadap orang lain. Setiap manusia mempunyai persamaan hak dan kewajiban dalam kehidupan berbangsa dan bernegara. Semena-mena terhadap orang lain itu juga dilarang oleh ajaran agama atau ajaran syarak dan dilarang pula dalam ajaran adat Minangkabau.

Sekarang mari kita lihat ajaran agama Islam memandang tentang tidak boleh semena-mena tehadap orang lain baik oleh ajaran syarak mangato atau ajaran adat mamakai. Ajaran syarak mangato berbunyi: Firman Allah dalam (QS An-Nisa’/ 4: 135) yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia
  • kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. Dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, maka sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.( QS An-Nisa’: 135).

    Manusia pada dasarnya semuanya adalah pemimpin. Pemimpin harus mampu berlaku adil dan mampu pula menegakkan kebenaran, terutama adil terhadap orang tua sendiri dan juga terhadap diri sendiri. Ajaran adat mamakai berbunyi: kok gadang jan malendo, kok panjang jan malindih, kok laweh jan manyaok, kok cadiak jan manjua (Bhs Minang) atau kalau berpangkat atau berjabatan jangan melanda, jika panjang jangan melindas, jika lebar jangan menutup, dan jika cerdik jangan menjual (Bhs. Indonesia).

    Berikutnya disebutkan pula dalam ajaran adat yang berbunyi, Nan lamah jan dihimpik, nan condong jan diraiah, nan landai jan dititih, nan di bawah jan diimpok (Bhs Minang) atau kalau yang lemah jangan dihimpit, yang condong jangan dirangkul, yang landai jangan dititi, yang di bawah jangan pula ditimpa (Bhs Indonesia).

    Kemudian diajarkan lagi oleh adat dalam ungkapannya, ingek katiko di ateh, nan di bawah kok maimpok, tirih kok datang dari lantai, galodo kok tibo dari ilie (Bhs Minang) atau ingat ketika di atas, yang di bawah kalua menimpa, tiris kalau datang dari lantai, galodo kalau datang dari hilir.

    Jika semena-mena terhadap orang maka akan berakibat kepada kita, akan tetapi yang tersembunyi pun akan mendatangkan bahaya pada diri kita. Penerapan ungkapan adat di atas adalah seseorang tidak boleh berlaku seenaknya saja kepada orang lain. Seseorang tidak boleh berbuat semena-mena kepada orang lain, sekalipun orang lain itu bawahan dan anak buahnya. Tidak boleh berbuat seenak perut saja dalam hidup bermasyarakat dan perlu memelihara nilai-nilai kemanusiaan dan martabat manusia itu sendiri.

    Inti sari dari ajaran syarak di atas adalah bahwa orang beriman itu dituntut untuk berlaku adil, dalam artian tidak boleh berlaku semena-mena terhadap orang lain. Ninik mamak terhadap kamanakan, orang tua terhadap anak, guru terhadap murid dan seterusnya tidak dibenarkan oleh Syara’ dan Adat berlaku semena-mena atau dengan kata lain, berlaku otoriter terhadap orang lain. Terhadap diri sendiri dianjurkan juga oleh Syara’ agar berlaku adil dan seimbang agar selamat diri dari dunia sampai akhirat.

    Begitulah ajaran Syarak yang sangat peduli terhadap kehidupan manusia agar teratur, tenteram dan selamat sejahtera lahir-batin. Contoh konkretnya tidak mau membayar pajak termasuk semena-mena terhadap kehidupan bernegara. Begitu juga hasil pajak yang dipungut dari warga Indonesia tidak boleh pula disalahgunakan atau jangan melakukan penyalahgunaan wewenang yang akan berakibat kerugian baik kerugian diri sendiri maupun kerugian terhadap keuangan negara.

    Sila kedua butir keempat ini juga sudah ditetapkan oleh Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia dengan ketetapan MPR RI No. II/ MPR RI/ 1979 tentang 36 butir Pancasila. Sila kedua butir keempat ini sangat dibutuhkan pengamalannya saat ini. Sebab manusia yang tak peduli atau tak punya nyali akan menimbulkan ketidaknyaman dalam masyarakat. Tidak semena-mena terhadap orang lain dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat adat masandi syarak syarak basandi kitabullah.