Detail Artikel

Sabtu, 20 Mei 2023

ABSSBK DAN SILA KEDUA BUTIR KELIMA

Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau atau Pujian ABSSBK HAM mengkaji sila kedua yang berbunyi Kemanusiaan Yang Adil dan Beradab. Sila kedua ini melahirkan butir kelima untuk diterapkan di tengah kehidupan masyarakat khususnya masyarakat Minangkabau. Sila kedua butir kelima berbunyi: Menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Menjunjung tinggi nilai-nilai manusia itu berarti kita memperlakukan sesama manusia sederajat tanpa melihat suku, agama, dan ras manusia lalu menghargai hak dan kewajibannya.

Nilai kemanusiaan adalah nilai mengenai harkat dan martabat manusia. Manusia merupakan makhluk yang tertinggi di antara makhluk ciptaan Tuhan sehingga nilai-nilai kemanusiaan tersebut mencerminkan kedudukan manusia sebagai makhluk tertinggi di antara makluk-makhluk lainnya. Ajaran syara’ mangato dalam QS An-Nisa : 135, yang artinya: Wahai orang-orang yang beriman, jadilah kamu orang yang benar-benar penegak keadilan, menjadi saksi karena Allah biarpun terhadap dirimu sendiri atau ibu bapa dan kaum kerabatmu. jika ia Kaya ataupun miskin, maka Allah lebih tahu kemaslahatannya. Maka janganlah kamu mengikuti hawa nafsu karena ingin menyimpang dari kebenaran. dan jika kamu memutar balikkan (kata-kata) atau enggan menjadi saksi, Maka Sesungguhnya Allah adalah Maha mengetahui segala apa yang kamu kerjakan.

Maksudnya: orang yang tergugat atau yang terdakwa. Tafsir ayat 135 ini adalah Allah subhanahu wa ta’ala memerintahkan kepada hamba-hamba-Nya yang mukmin agar menegakkan keadilan, dan janganlah mereka bergeming dari keadilan itu barang sedikit pun, jangan pula mereka mundur dari menegakkan keadilan karena Allah hanya karena celaan orang-orang yang mencela, jangan pula mereka dipengaruhi oleh sesuatu yang membuatnya berpaling dari keadilan. Hendaklah mereka saling membantu, bergotong royong, saling mendukung dan tolong-menolong demi keadilan. Firman Allah subhanahu wa ta’ala yang mengatakan: menjadi saksi karena Allah. (An-Nisa: 135) Ayat ini semakna dengan firman-Nya: dan hendaklah kalian tegakkan kesaksian itu karena Allah. (At-Thalaq: 2) Maksudnya, tunaikanlah kesaksian itu karena Allah. Maka bila kesaksian itu ditegakkan karena Allah, barulah kesaksian itu dikatakan benar, adil, dan hak; serta bersih dari penyimpangan, perubahan, dan kepalsuan.

Dalam ajaran Adat Mamakai berbunyi, Nan kuriak iyolah kundi, nan merah iyolah sago, nan baiek iyolah budi, nan indah iyolah baso. Artinya, kebaikan itu terlihat pada budi, sedangkan keindahan itu tercermin pada tutur kata bahasa. Pisang ameh baok balaie, masak sabuah di dalam peti, hutang ameh bulieh dibaie, hutang budi dibaok mati. Hutang yang sulit membayarnya adalah hutang budi. Sebab budi tidak bisa diukur dan dinilai. Tidak ada pula toko yang menyediakan budi. Ukuran budi itu sangat relatif tinggi. Tak bisa pula diperjualbelikan. Tidak boleh pula digadaikan. Talantuang carano kaco, badarai carano kendi, sipuluik samo rang randangkan. Jan pisah karano kato, jan jarak karano budi, kaduonya samo dipantangkan. Artinya, dilarang jarak karena budi, dilarang bercerai karena emas. Supaya tidak terjadi perceraian dan pendendaman harus sama-sama dijaga dalam hidup kedua-duanya. Rarak kalikih dek mindalu, tumbuah sarumpun dipamatang tabek. Kok abieh raso jo malu, bak kayu lungga pangabek. Rasa dan malu di Minangkabau menjadi ukuran sesorang itu mempunyai sifat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan. Sifat kemunisiaan itu harus pula dilandasi oleh nilai-nilai kemanusiaan yang adil dan beradab. Nak urang kampuang hilalang, nak lalu ka pakan Baso, malu jo sopan kalau hilang, habieh lah raso jo pareso. Bahasa dan sopan itu harus dijaga jangan sampai hilang begitu saja. Akibat dari tidak mampunya mencerminkan sikap hidup yang adil lagi beradab. Kuek rumah karano sandi, rusak sandi rumah binaso. Kuek bangso karano budi, rusak budi hancualah bangso. Bangsa ini berdiri di atas budi yang mulia. Jangan sampai binasa karena ketidakmampuan mencerminkan kehidupan seseorang yang berbudi luhur. Arti dari pepatah-petitih Adat di atas ialah Nilai kemanusiaan itu ditentukan oleh budi luhur yang dihayati oleh seseorang dan akan tercermin di dalam tingkah laku dan perbuatannya manusia yaitu saling hormat-menghormati dan tenggang menenggang, mempunyai sifat malu yang merupakan rem terhadap berbuat kesalahan dan melanggar norma-norma susila, serta mempunyai raso jo pareso, sehingga tidak suka menyinggung perasaan orang lain. Aplikasinya ajaran adat dan syara’ sangat menganjurkan menjungjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan.

Nilai-Nilai kemanusiaan ini harus ditegakkan di tengah umat manusia atau di dalam masyarakat. Fenomena yang terjadi di tengah masyarakat; kurang meneguh raso, kurang toleransi antar sesama. Menanamkan raso harus dimula sejak dini, semasa dini itu anak harus ditanamkan sikasp toleransi antar sesama. Perilaku toleransi sudah agak mulai ditinggalkan orang Minang. Semakin tinggi penegakkan nilai-nilai toleransi ini semakin terasa suasana kedamaian, suasana saling menjaga diri, suasana ketenteraman di tengah masyarakat. Keamanan dan ketertiban masyarakat itu bisa terjamin bila sikap menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan itu dapat diamalkan oleh masyarakat. Masyarakat sangat membutuhkan keamanan, ketertiban dalam berusaha ekonominya. Butir kelima dari sila kedua ini juga sudah ditetapkan oleh Majelis Permusyaratan Rakyat Republik Indonesia dengan ketetapan MPR RI No. II/ MPR RI/ 1979 tentang 36 butir Pancasila. Sila kedua butir kelima ini sangat dibutuhkan pengamalannya saat ini di tengah kehidupan masyarakat. Sebab manusia yang tak peduli atau tak punya nyali akan menimbulkan ketidaknyamanan dan keamanan dalam masyarakat. Sifat menjunjung tinggi nilai-nilai kemanusiaan dibutuhkan dalam kehidupan masyarakat adat masandi syarak syarak basandi kitabullah.