Detail Artikel

Senin, 29 Mei 2023

BEGINI PENDAPAT BUNG HATTA KALAU PANCASILA HANYA DI BIBIR SAJA
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi KitabuLlah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati dan mengkaji bagaimanakah Bung Hatta menyikapi penomenal prilaku anak bangsa mulai meninggalkan nilai – nilai ajaran Pancasila. Mengapakah Pujian ABSSBK HAM ingin menulis pendapat Bung Hatta tentang Pancasila. Kata Bung Hatta, “kalua Pancasila hanya di bibir saja apa yang akan terjadi di negeri ini”? Sebab menurut pengamatan kami memang sebagian besar anak bangsa sudah jauh sikapnya dari nilai-nilai Pancasila. Bahkan kalau kita lihat sistem demokrasi yang diagung-agungkan dulu oleh Presiden Soeharto adalah demokrasi Pancasila yang diresmikan oleh Presiden Sukarno tanggal 1 Juni 1945, hanya tinggal nama sekedar pemanis bibir saja.

Zaman pemerintahan Soeharto orang bangga dikatakan orang pancasilais sejati. Sebaliknya kata pemimpin Golongan Karya itu orang sangat malu dan tersinggung dikatakan tidak orang Pansasila. Empat puluh enam tahun lalu, pada 1 Juni 1977 di Gedung Kebangkitan Nasional Jakarta satu-satunya Proklamator Kemerdekaan yang masih ada yaitu Dr. Mohammad Hatta (Bung Hatta) menyampaikan pidato memperingati hari lahir Pancasila. Berikut petikannya; “Adakah cukup rasa tanggungjawab untuk menyelenggarakan cita-cita bangsa dan tujuan negara sebagaimana mestinya menurut Pancasila? Soal inilah yang sangat disangsikan.

Dalam kehidupan sehari-hari Pancasila itu hanya diamalkan di bibir saja. Apabila kita perhatikan kejadian-kejadian dalam masyarakat sejak beberapa tahun yang akhir ini, ternyata benar bahwa Pancasila itu belum meresap ke dalam jiwa rakyat. Lihatlah, mudah saja orang membunuh sesama manusia.” Bung Hatta, tiada seorang pun di negeri ini yang meragukan integritasnya sebagai pejuang, negarawan dan pemimpin besar bangsa Indonesia yang berjuang tanpa pamrih memperbaiki nasib bangsanya. Selain itu beliau dikenal sebagai pemikir yang sangat dihormati dan memiliki kejujuran tinggi dalam segala hal.

Kritik Bung Hatta terhadap perilaku sebagian elite yang mengklaim Pancasila sebatas retorika politik patut menjadi perhatian bangsa Indonesia hingga hari ini. Wakil Presiden Pertama Republik Indonesia itu memperingatkan, “Kadang-kadang dalam lingkungan petugas negara Pancasila itu tidak diamalkan. Camkanlah, negara Republik Indonesia belum lagi berdasarkan Pancasila, apabila Pemerintah dan masyarakat belum sanggup mentaati Undang-Undang Dasar 1945, terutama belum dapat melaksanakan Pasal 27 ayat 2, pasal 31, pasal 33 dan pasal 34.”

Pidato Bung Hatta tersebut diterbitkan oleh Yayasan Idayu menjadi buku berjudul Pengertian Pancasila (1981). Salah satu modal berdirinya Negara Kesatuan Republik Indonesia adalah saling percaya antara rakyat dengan pemimpin dan antara sesama rakyat. Akhir-akhir ini persatuan dan kesatuan bangsa sedang diuji. Provokasi memecah-belah bangsa dan konflik SARA (Suku, Agama, Ras dan Antar-Golongan) tidak boleh dibiarkan menghancurkan negeri dan meruntuhkan bangunan persatuan. Para penyelenggara negara dan masyarakat umumnya, perlu introspeksi; apakah sikap, tingkah laku dan perbuatan kita telah mencerminkan idealisme Pancasila dan berada dalam arah rel yang benar sesuai cita-cita Proklamasi Kemerdekaan 1945.

Sejenak kita mengenang (kembali) sejarah ditetapkannya Pancasila sebagai dasar dan ideologi negara yang tidak terpisahkan dari sejarah konstitusional pembentukan negara. Perumusan Pancasila tidak sekali jadi, tapi berproses mulai tanggal 1 Juni 1945 dan berpuncak pada tanggal 18 Agustus 1945 ketika rumusan final disepakati dan disahkan. Pancasila adalah nama bagi lima prinsip dasar negara yang dibentangkan oleh Ir. Soekarno (Bung Karno) di depan sidang Dokuritu Zyunbi Tyoosakai (Badan Penyelidik Usaha-Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia) tanggal 1 Juni 1945. Pidato bersejarah Bung Karno diterbitkan pada tahun 1947 dan diberi judul Lahirnya Pancasila. Bung Karno menyampaikan pidato lima prinsip dasar negara untuk menjawab permintaan Ketua Sidang BPUPKI dr. KRT Radjiman Wedyodiningrat kepada Sidang BPUPKI tentang dasar Indonesia Merdeka?, atau dalam bahasa Belanda: “philosofische grondslag”.

Konsep Pancasila 1 Juni 1945 adalah masukan dari Bung Karno, sebagaimana masukan dari beberapa tokoh lain sebelumnya dalam Sidang BPUPKI, sehingga belum mempunyai kekuatan hukum. Pancasila kemudian dirumuskan oleh Panitia Kecil (Panitia Sembilan) BPUPKI berdasarkan ide dan konsep Bung Karno dalam pidato 1 Juni 1945, dengan beberapa penyempurnaan. BPUPKI antara tanggal 2 Juni sampai dengan 9 Juli 1945 mengadakan rapat bersifat informal karena berlangsung dalam masa reses anggota BPUPKI. Dalam tempo yang sangat penting dan bersejarah, para tokoh pendiri republik berhasil merumuskan satu gentlement agreement, kompromi dan konsensus nasional tentang dasar negara sebagai rancangan preambule konstitusi atau mukaddimah Undang-Undang Dasar.

Mr. Muhammad Yamin memberi nama Piagam Jakarta. Piagam Jakarta atau mukaddimah Undang-Undang Dasar ditanda-tangani pada 22 Juni 1945 oleh 9 orang Panitia Kecil (Panitia Sembilan) terdiri dari: Ir. Soekarno, Drs. Mohammad Hatta, Mr. A.A. Maramis, Abikusno Tjokrosujoso, Abdul Kahar Mudzakkir, Haji Agus Salim, Mr. Achmad Subardjo, K.H. A. Wahid Hasjim, dan Mr. Muhammad Yamin. Dalam rangkaian rapat BPUPKI, Bung Karno selaku Ketua Panitia Sembilan sangat gigih mempertahankan Piagam Jakarta yang memuat rumusan Pancasila. Piagam Jakarta semula dimaksudkan sebagai pernyataan proklamasi kemerdekaan Indonesia, namun tidak jadi digunakan pada 17 Agustus 1945.

Tidak bisa dipungkiri Piagam Jakarta itulah yang melahirkan Proklamasi dan Konstitusi, seperti ditegaskan oleh Mr. Muhammad Yamin dalam bukunya Proklamasi dan Konstitusi Republik Indonesia (1952). Apa beda Mr. Mhd. Yamin dengan Bung Karno mengurutkan Pancasila? Mhd Yamin sila pertama disebutkan Ketuhanan Yang Mah Esa. Bung Karno sila pertama gotong royong. Yamin menyindir kalau gotong royong saja bangsa Indonesia dikhawatirkan lupa Tuhan atau juga lupa beribada. Tetapi rapar sepakat sila pertama Ketuhanan Yang Maha Esa.

Sehari setelah proklamasi, tepatnya 18 Agustus 1945, Sidang Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) mengesahkan Piagam Jakarta menjadi Pembukaan Undang-Undang Dasar 1945 dengan perubahan beberapa bagian kalimat yang dihapus. Seperti tercatat dalam sejarah, Jumat 17 Agustus 1945 sore bertepatan dengan bulan Ramadhan, seorang opsir Kaigun (Angkatan Laut Jepang) diutus oleh Nisyijima, Pembantu Admiral Mayeda, datang ke rumah Bung Hatta menyampaikan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katolik dalam daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang merasa keberatan dengan kalimat “Ke-Tuhanan, dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya”, karena kalimat itu tidak mengikat mereka tapi hanya mengenai orang-orang Islam.

Jika itu ditetapkan dalam Pembukaan UUD, mereka lebih suka berdiri di luar Republik Indonesia. Dalam buku Sekitar Proklamasi (1970) Bung Hatta mengungkapkan fakta sejarahnya, “Karena opsir angkatan laut Jepang itu sungguh-sungguh menyukai Indonesia Merdeka yang bersatu sambil mengingatkan pula kepada semboyan yang selama ini didengung-dengungkan ‘bersatu kita teguh berpecah kita jatuh’, perkataannya itu berpengaruh juga atas pandangan saya.

Tergambar di muka saya perjuangan saya yang lebih dari 25 tahun lamanya, dengan melalui bui dan pembuangan, untuk mencapai Indonesia merdeka, bersatu dan tidak terbagi-bagi. Apakah Indonesia yang baru saja dibentuk akan pecah kembali dan mungkin terjajah lagi karena suatu hal yang sebenarnya dapat diatasi? Kalau Indonesia pecah, pasti daerah di luar Jawa dan Sumatera akan dikuasai kembali oleh Belanda dengan menjalankan politik devide et impera, politik memecah dan menguasai.” pikir beliau Bung Hatta mempertanyakan bukankah Mr. A.A. Maramis dalam Panitia Sembilan tidak mempunyai keberatan apa-apa dan ia ikut menanda-tangani Piagam Jakarta?

Bung Hatta tidak sempat melakukan verifikasi, apakah ultimatum itu benar atau rekayasa pihak Jepang. Beliau kemudian membicarakan dengan tiga anggota PPKI yaitu Ki Bagus Hadikusumo, Mr. Teuku Moh. Hasan dan Mr. Kasman Singodimedjo. Setelah melalui diskusi mendalam di antara tiga tokoh Islam tersebut akhirnya disetujui pencoretan tujuh kata mengenai syariat Islam dan diganti menjadi Ketuhanan Yang Maha Esa.

Bung Hatta menjelaskan makna Ketuhanan Yang Maha Esa adalah tauhid. Pancasila tanpa agama buta, agama dengan Pancasila akan menjadi tetap rahmatalilalamin. Bung Hatta khawatir jika dikemudian hari tujuan nagara tidak lagi Pancasila kemungkinan demokrasi Pancasila akan digantikan oleh demokrasi liberal atau demokrasi sekuler.

Salah satu ciridemokrasi liberal nanti adalah sistem suara terbanyak. Inti sari demokrasi Panca sila adalah musyawarah untuk mencapai mufakat. Jika demokrasi Pancasila ditinggalkan akan menjadi demokrasi abal-abal dikemudian hari. Hal itu mungkin terjadi yang menjadi pemimpin itu orang kaya atau orang berkuasa. Demokrasi liberal tidak memerlukan pemimpin yang cerdas dan taat beribadah tetapi dikawatirkan ketuhanan yang maha esa diganti dengan berketuhanan kepada orang yang berkuasa.