Detail Artikel

Jum'at, 19 Januari 2024

PENGAWAS PANWASLU PERLUKAH?
PENGAWAS PANWASLU PERLUKAH?
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. RajoPangulu, M.Pd.
KetuaPujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati kemudian dikaji melalui sebuah pertanyaan, perlukah pengawas Panitia Pengawas Pemilihan Umum tahun 2024 ?

Untuk menjawab pertanyaan ini perlu dilakukan evaluasi dan koreksi ke belakang. Judul ini diangkat karena penulis telah mengalami menjadi sekretaris Panitia Pengawas Pemilihan Umum Propinsi Sumatera Barat Pemilu 1999. Pemilu 1999 dilaksanakan karena dampak dari desakan reformasi dan boleh disebut Pemilu dalam keadaan darurat. Akibatnya anggota DPRD dan DPR RI waktu itu seharusya masa jabatan lima tahun tetapi dipotong.

Digulingkannya pemerintahan Presiden Soeharto membuat pemilu dipercepat, dari yang semula dijadwalkan pada 2002 terpaksa dilangsungkan pada tahun 1999. Pemilu yang berlangsung pada 7 Juni 1999 menjadi sejarah pemilu pertama di masa reformasi. Berbeda dengan pemilu sebelumnya, karena di tahun 1999 ada 48 partai yang ikut dalam pesta demokrasi waktu itu. Meskipun Panitia Pengawas Pemilu selalu melekat dalam penyelenggaraan pemilu di Indonesia, namun dari pemilu ke pemilu keberadaan lembaga tersebut selalu dipertanyakan.

Pada pemilu-pemilu Orde Baru, Panwaslu dinilai sebagai lembaga stempel yang melegitimasi pelanggaran-pelanggaran yang dilakukan oleh partai peserta pemilu bentukan pemerintah. Pada masa transisi, yakni Pemilu 1999, Panwaslu dijuluki sebagai tukang pembuat rekomendasi, tidak bergigi , dan was was melulu. Sedang pada Pemilu Legislatif 2004 dan Pemilu Presiden 2004, meski banyak kalangan mengapresiasi kinerjanya, keberadaan Panwas Pemilu dinilai tidak lebih dari pelengkap penyelenggaraan pemilu saja.

Buktinya, rekomendasinya selalu diabaikan, kasus-kasus pelanggaran pemilu yang ditangani tidak dituntaskan oleh lembaga lain. Jika demikian, mengapa Panwas Pemilu terus dipertahankan, bahkan hendak dipermanenkan menjadi Badan Pengawas Pemilihan Umum atau Banwas Pemilu.

Bukankah sejarah membuktikan, Pemilu 1955 bisa berlangsung fair, tertib, dan lancar meski tidak dibentuk lembaga pengawas pemilu? Bukankah banyak negara berhasil mempraktikkan pemilu yang demokratis tanpa sokongan lembaga pengawas pemilu? Mungkinkah menambah kewenangan pengawas pemilu agar lembaga ini lebih berdaya guna, khususnya dalam menangani kasus-kasus pelanggaran pemilu?

Jika memang kewenangan ditambah, apakah hal ini tidak berbenturan dengan kewenangan lembaga-lembaga penegak hukum pemilu yang lain? Apakah Banwas Pemilu yang dibentuk undang-undang punya kekuatan hukum untuk mengontrol KPU yang dibentuk konstitusi?

Untuk mengontrol KPU/KPUD, mengapa tidak menciptakan mekanisme hukum baru, misalnya dengan membuka peluang mengajukan keberatan atas keputusan KPU/KPUD yang dinilai merugikan, ke lembaga peradilan?. Sekarang fenomena terjadi di lapangan, bahwa politik uang sudah mulai berbau, memberikan sembako saat masa kampanye. Pertemuan terbatas tak terkontrol, oknum ASN ikut bergriliya.

Walaupun bau pelanggaran itu sudah menyengat hidung, tetapi Panwaslu selalu berdalil tidak ada laporan dari masyarakat yang mertasa dirugikan. Bahkan pelanggar dikatakan “kentut”. Artinya kentut itu berbau di tengah orang banyak, namun dari mana sumber kentut itu tidak dicari dan sulit mencarinya kecuali dapat dicari hanya bagi orang yang cerdas dan berpengalaman.

Juga kalau ada masyarakat yang melapor diminta bukti yang sulit sulit. Jika ada yang melapor sekalian membawa bukti, tetapi Panwaslu tak punya gigi mengeksekusi. Panwaslu tak punya kekuatan hukum keberatan terhadap pelanggar hukum Pemilu kepada Komisi Pemilihan Umum. Cita – cita rakyat Indonesia ingin Pemilu bersih dari politik uang, dari politik barang hanya hisapan jempol.

Sebab sebagian masyarakat sangat suka berprilaku menyogok dan disogok serta orang yang melancarkan sogok. Walaupun mereka tahu bahwa prilaku itu menurut ajaran Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau sangat dilaknat oleh Allah Swt. Melihat fenomena tersebut perlu ada Pengawas Panwaslu. Tugasnya adalah mengawas fungsi Panwaslu dalam menertibkan masyarakat waktu penyelanggaraan Pemilu. Pengawas itu harus dibentuk oleh undang – undang.

Fungsinya diperkuat dan mempunyai kewenangan menegur, memperingati, dan memberhentikan personal Panitia Pengawas Pemilu yang terbukti melanggar tidak menjalankan fungsinya. Kualitas Pemilu tahun 2024 tidak akan berapa beda kualitasnya dengan Pemilu sebelumnya. Sebab Pengawas dari Panitia Pangawas Pemilihan Umum belum dibentuk berdasarkan undang – undang.

Panwaslu di tingkat Tempat Pemungutan Suara atau TPS sangat lemah. Orang yang doyan melanggar hukum waktu Pemilu lebih segan atau takut kepada tim pemantau Pemilu di tingkat TPS. Bahkan di tingkat TPS dilengkapi dengan aparat penegak hukum. Tetapi jika para oknum Panwaslu, Aparatur penegak hukum, Panitia Pemungutan Suara bersekongkol pula untuk melakukan transaksi politik uang mulai dari tinggkat TPS terus ke kecamatan sampai ke kabupaten dan kota maka korban akan berjatuhan kehilangan suara.

Bahkan tidak sedikit yang merasa dirinya mendapat suara tau tau tidak sesuai harapan dengan kenyataan. Kita menghimbau jika Panwaslu tidak bisa kita harapan sepenuhnya, maka masyarakat harus bergerak dan mengawas secara aktif jalannya Pemilu terutama di tingkat TPS. Dengan harapan jika ada pelanggaran harus dambil bukti dan dilaporkan kepada pihak yang berwenang.

Kalau pihak yang berwenang sudah mendapat lapopran harus segera ditindak lanjuti, dengan cara diumumkan lewat media sosial dengan menggunakan bahasa diduga dan diduga dalam koridor praduga tak bersalah. Tetapi harus diviralkan dan diviralkan dengan penuh tanggung jawab. Agar masyarakat tahu siapakah orang yang curang dan siapakah orang yang jujur. Artinya, jika prilaku curang itu terjadi, maka amanah sudah dibeli padahal amanah itu diberi. Kalau amanah sudah dibeli maka korupsi akan menjadi jadi, akibatnya negara akan rugi.