Kamis, 02 Mei 2024
Pengawasan Perbankan Nasional Dalam Pusaran Geopolitik Global
Pengawasan Perbankan Nasional Dalam Pusaran Geopolitik GlobalOleh :
Dr Elyana Novira SH., MH.
Dosen Fak. Hukum Univ Bung Hatta
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) telah mengeluarkan Peraturan Otoritas Jasa Keuangan (PJOK) No. 5 Tahun 2024 Tentang Penetapan Status Pengawasan dan Penanganan Permasalahan Bank Umum yang mulai berlaku pada tanggal 25 Maret 2024.
OJK merilis bahwa tujuan POJK No 5 Tahun 2024 untuk memperkuat pengawasan bank dan antisipasi dampak gejolak geopolitik global serta juga sebagai upaya penyempurnaan dan penyesuaian secara utuh terkait penguatan, pengawasan dan penanganan permasalahan bank yang diatur secara menyeluruh dan terintegrasi dalam satu paraturan OJK.
Jika kita telusuri memang aturan tentang penetapan status dan tindak lanjut pengawasan Bank Umum, aturan tentang penetapan Bank Sistemik dan Capital Surcharge,aturan tentang Bank Perantara , dan aturan tentang Rencana Aksi bagi Bank Sistemik, semuanya terpisah-pisah pada peraturan OJK (POJK) yang berbedabeda.
Geopolitik dipelajari dalam pendidikan sebagai disiplin ilmu yang membahas tentang sistem politik yang berhubungan dengan letak geografis, atau geopolitik diartikan sebagai sistem politik atau peraturan-peraturan dalam wujud kebijaksanaan dan strategi nasional yang didorong oleh letak geografis suatu negara.
Istilah geopolitik digunakan dalam berbagai makna, dari makna geografis, makna politik, hingga konstruksi geostrategis yang berkaitan dengan manajemen strategis untuk geopolitik bagi negara-negara.
Seiring dengan kemajuan zaman, dinamika geopolitik baik internasional maupun domestik, telah berpengaruh langsung pada bidang keamanan, ekonomi, politik, militer dan kehidupan sosial (Hasto Kristiyanto, Geopolitik Bung Karno).
Perbankan nasional sebagai bagian dari penggerak roda perekonomian negara pada saat ini memerlukan pengaturan terbaru di bidang penetapan status pengawasan dan penanganan permasalahan, Bank dalam hal ini adalah Bank Umum.
Kondisi geopolitik global perlu diwaspadai, termasuk dalam konteks ekonomi biaya tinggi pada tahun 2024 menyusul penguatan dolar Amerika Serikat dan komplikasi perekonomian global domestik.
Bank Indonesia memutuskan menaikkan suku bunga acuan menjadi 25 % untuk memperkuat stabilitas nilai tukar rupiah, tetapi di sisi lain dapat menekan laju pertumbuhan ekonomi (Kompas, 25 April 2024).
Kenaikan suku bunga acuan akan menyebabkan terjadi perubahan perkiraan pertumbuhan ekonomi tahun 2024 semula 5 %, diperkirakan turun menjadi 4,8 %. Akibat Non Performance Loan (NPL), tentunya juga berimbas pada gagal bayar pada sektor UMKM.
Beberapa poin pada POJK No 5 Tahun 2024, diantaranya :
Pengaturan yang cukup signifikan dan lebih tegas pada POJK NO.5 Tahun 2024 diantaranya adalah penegasan metodologi penetapan Bank Sistemik dan pembentukan Capital Surcharge.
OJK menggunakan metodologi penetapan Bank Sistemik dengan menggunakan indikator ukuran Bank (size), kompleksitas kegiatan usaha (complexity) dan keterkaitan dengan sistem keuangan (interconnectedness).
OJK akan mengkaji ulang metodologi penetapan Bank Sistemik paling sedikit satu kali dalam tiga tahun.
Sub indikator pada indikator kompleksitas kegiatan usaha diuraikan secara lebih lengkap jika dibandingkan dengan uraian sub indikator pada indikator keterkaitan dengan sistem keuangan yang diatur pada POJK No. 2/POJK.3/2018 Tentang Penetapan Bank Sistemik dan Capital Surcharge yang telah dicabut berlakunya dengan terbitnya POJK No 5 Tahun 2024 ini.
Status pengawasan Bank berdasarkan POJK No.5 Tahun 2024 ini terdiri atas: (a) Bank dalam pengawasan normal, (b) Bank dalam penyehatan, dan (c) Bank dalam resolusi. Jika dibandingkan dengan POJK yang lama, yaitu POJK No. 15/POJK.03/2017, maka status pengawasan Bank terdiri atas: (a) Pengawasan Normal, (b) Pengawasab Intensif, atau (c) Pengawasan Khusus. Berdasarkan POJK yang lama, Bank pengawasan normal dapat berubah statusnya menjadi Bank dalam pengawasan intensif atau menjadi Bank dalam pengawasan khusus.
Sedangkan pada POJK No. 5 secara implisit menyatakan Bank dalam pengawasan normal dapat berubah statusnya sebagai Bank dalam penyehatan, setelah itu jika Bank tidak dapat disehatkan maka statusnya Bank menjadi Bank dalam resolusi.Bagi Bank dalam pengawasan normal tetapi membahayakan kelangsungan usaha, namun belum terkategori sebagai Bank dalam penyehatan, maka beberapa kewenangan yang dimiliki oleh OJK terhadap bank tersebut yaitu : membatasi kewenangan yang dimiliki RUPS atau yang dipersamakan, Dewan Komisaris atau yang setara , meminta dan/atau memerintahkan pemegang saham atau yang setara untuk mengganti anggota Dewan Komisaris atau yang setara dan/atau Direksi yang setara, serta beberapa kewenangan lain, hingga kewenangan OJK memerintahkan Bank untuk melakukan lain lain yang dianggap perlu oleh OJK.
Aturan lain adalah aturan tentang pengawasan pada Bank. OJK berwenang meminta bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dari setiap tempat yang terkait dengan bank, meminta bank untuk mengambil dan menyerahkan data/dokumen dan keterangan dari setiap pihak yang menurut penilaian OJK memiliki pengaruh terhadap Bank, memerintahkan Bank untuk melakukan pemblokiran rekening tertentu, dan/atau memerintahkan Bank untuk melakukan tindakan tertentu.
Maksud dari tindakan tertentu antara lain ketika terjadi penyimpangan atas kegiatan usaha Bank serta terjadi pelanggaran terhadap ketentuan peraturan perundang-undangan, dengan memerintahkan Bank untuk melakukan tindakan tertentu yang dianggap perlu oleh OJK.
Mengenai pemblokiran rekening tertentu antara lain mencakup rekening simpanan dan rekening kredit atau rekening pembiayaan berdasarkan prinsip syariah. Pemblokiran rekening tertentu yang dipergunakan untuk aktivitas illegal, bertentangan, dan/atau untuk melawan hukum.
Bagi Bank dalam penyehatan berdasarkan POJK No.5 ini tidak memasukkan kriteria rasio kredit bermasalah secara neto (NPL Net) atau rasio pembiayaan bermasalah secara neto (NPL Net). Kriterianya saat ini mencakup tingkat kesehatan Bank, rasio Giro Wajib Minimum (GWM) dan rasio kewajiban penyediaan modal minimum Bank.
Pada POJK No. 15/POJK.03/2017,POJK lama yang tidak berlaku lagi, Bank dalam pengawasan intensif dengan memenuhi kriteria: rasio kredit bermasalah secara neto (NPL Net) atau rasio pembiayaan bermasalah secara neto (NPL Net) dan tingkat kesehatan bank.
Cukup menarik dan yang sebenarnya urgen tetapi belum ada dalam POJK lama, adalah masalah koordinasi antar lembaga. Sejatinya salah satu tujuan dibentuk OJK tentu agar terdapat mekanisme koordinasi yang lebih efektif dalam menangani permasalahan yang timbul dalam sistem keuangan sehingga dapat lebih menjamin tercapainya stabilitas sistem keuangan.
Dalam melaksanakan tugas dan wewenang, OJK perlu melakukan koordinasi dengan beberapa lembaga, seperti Bank Indonesia, LPS serta Menteri Keuangan, bahkan juga dengan Presiden, tujuannya agar kebijakan-kebijakan yang nantinya dikeluarkan oleh OJK dapat efektif dan efisien dalam memecahkan permasalahan di sektor keuangan. (Adrian Sutedi, 2014).
Masalah koordinasi antar lembaga kembali ditemukan aturannya pada bagian tentang Bank Perantara. Bank Perantara diartikan sebagai Bank Umum yang didirikan oleh Lembaga Penjamin Simpanan (LPS) untuk digunakan sebagai sarana resolusi dengan menerima pengalihan sebagian atau seluruh aset dan/atau kewajiban bank yang ditangani oleh LPS, menjalankan kegiatan usaha perbankan, dan akan dialihkan kepemilikannya kepada pihak lain.
Pelaksanaan kewenangan OJK terhadap Bank Perantara dilakukan dengan berkoordinasi dengan LPS.
Selanjutnya aturan tentang Recovery Plan (Rencana Aksi) merupakan rencana untuk mengatasi permasalahan keuangan yang mungkin terjadi di Bank, berdasarkan POJK yang baru ini rencana aksi dilakukan bagi semua bank. Artinya rencana aksi wajib dibuat oleh Bank Sistemik maupun bagi Bank Non Sistemik.
Muatan pada rencana aksi paling sedikit terdiri atas ringkasan eksekutif, gambaran uum bank, opsi pemulihan dan pengungkapan rencana aksi pemulihan.
Pada akhirnya , POJK ini yang merupakan pengharmonisasian dan update dengan UU No 4 Tahun 2023 tentang Pengembangan dan Penguatan Sektor Keuangan (omnibus law sektor keuangan ), hendaknya mendukung perekonomian nasional, dan yang amat penting adalah menjaga kepercayaan masyarakat terhadap perbankan karena kepercayaan adalah jantung nya perbankan. (*)
Catatan : Artikel ini juga diterbitkan Harian Singgalang, 2 Mei 2024
Di laman : https://www.hariansinggalang.co.id/opini/1794/pengawasan-perbankan-nasional-dalam-pusaran-geopolitik-global/halaman/3