Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 12 Juni 2024 Umum

TAPERA SEJAHTERA ATAU SENGSARA?

TAPERA SEJAHTERA ATAU SENGSARA?
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati dan mengkaji tentang Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.

Tapera ini untuk kesejahteraan atau menyengsarakan masyarakat? Kajian ini bersumber dari berbagai pendapat pemerhati atau pendapat pihak yang peduli dengan Tapera. Ketua Komite Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera tidak bisa jawab sebelum bertemu dengan DPR waktu ditanya awak media. Sebab Basuki bisa menjawab setelah mengadakan Rapat Dengan Pendapat atau RDP bersama DPR.

Padahal dasar hukum Tapera ini sudah jelas UUD 1945 Pasal 28 h ayat (1) Setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan. Turunan dari UUD 1945 itu antara lain adalah:UU No. 1/2011 tentang Perumahan & Kawasan Pemukiman; UU No. 4/2016 tentang Tabungan Perumahan Rakyat; PP No. 25/2020 tentang Penyelenggaraan Tapera.

Lain lagi pendapat Presiden Partai Buruh sekaligus Presiden Konfederasi Serikat Pekerja Indonesia atau KSPI, Said Iqbal, menilai bahwa kebijakan Tapera memberatkan pekerja dengan iuran yang tidak menjamin kepemilikan rumah, meskipun telah membayar selama 10 hingga 20 tahun.

“Pemerintah hanya berperan sebagai pengumpul iuran tanpa alokasi dana dari APBN maupun APBD,” kata Said. Said Iqbal mengungkapkan, bahwa aka nada demo yang akan diikuti ribuan massa yang tergabung dari KSPI, Konfederasi Serikat Pekerja Seluruh Indonesia atau KSPSI, Konfederasi Persatuan Buruh Indonesia atau KPBI, Serikat Petani Indonesia atau SPI, dan organisasi perempuan.

Dalam demo tersebut, menurut Said akan mengkritik potensi korupsi dalam pengelolaan dana Tapera dan prosedur pencairan dana yang rumit. Di sisi lain, tidak hanya penolakan terhadap PP Tapera, para buruh juga akan mengangkat berbagai isu lainnya. Beberapa pengamat perumahan menilai kebijakan iuran Tabungan Perumahan Rakyat, "tidak masuk akal" untuk menyediakan hunian rakyat yang terjangkau selama pemerintah tidak melakukan intervensi apapun terhadap penguasaan tanah, harga tanah, dan pengembangan kawasan baru.

Kebijakan yang dituangkan dalam Peraturan Pemerintah nomor 21 tahun 2024 itu mewajibkan pekerja untuk menjadi peserta Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat atau BP Tapera. Konsekuensinya, pekerja dengan gaji di atas UMR akan dipungut iuran sebanyak 3% dari gaji. Sementara pendapat Dosen Kelompok Keahlian Perumahan Permukiman Sekolah Arsitektur Perencanaan dan Pengembangan Kebijakan atau SKPPK Institut Teknologi Bandung atau ITB, Jehansyah Siregar, kebijakan iuran Tapera harus dibatalkan sebab niatnya hanya demi mengutip uang rakyat yang rentan diselewengkan seperti pada program jaminan sosial di Asabri, Jiwasraya, serta Taspen.

Akan tetapi Kepala Staf Kepresidenan, Moeldoko, mengatakan program iuran Tapera tidak akan ditunda dan akan tetap berjalan pada tahun 2027. Komisioner Badan Pengelola Tapera, Heru Pudyo Nugroho, mengeklaim Tapera penting diimplementasikan untuk menekan angka ketimpangan pemilikan rumah atau backlog yang dilaporkan mencapai 9,95 juta anggota keluarga.

Lain lagi pendapat Nailul Huda, Direktur Ekonomi dari Center of Economic and Law Studies (CELIOS), yang mengatakan kebijakan Tapera ini adalah program lama yang sudah berjalan sejak 2018. Peraturan Pemerintah yang diumumkan beberapa waktu lalu adalah bentuk pembaharuan kebijakan yang akan diterapkan nantinya secara utuh pada seluruh pekerja pada 2027.

Ketika berdiskusi tentang jumlah iuran 2.5% setiap bulan, Huda menganggap program ini akan membebani masyarakat di tengah situasi ekonomi yang tengah tidak stabil dan daya beli yang sedang menurun. Anggapan bahwa program Tapera dapat menyelesaikan masalah tentang backlog perumahan menurut Huda juga patut dipertanyakan.

Ia mengatakan sejak program ini berjalan dari enam tahun yang lalu, permasalahan backlog belum juga terselesaikan. Perubahan gaya anak muda yang memilih tidak tinggal di hunian permanen kenaikan karena harga hunian yang semakin tinggi ditaksir sebagai penyebabnya. Huda juga menyoroti adanya trust issue di tengah masyarakat terhadap Tapera.

Kasus korupsi yang terjadi di beberapa tabungan seperti ASABRI dan TASPEN, misalnya, membuat publik khawatir terkena masalah yang sama di kemudian hari. Huda menegaskan bahwa Tapera bukanlah program yang seharusnya ditentang. Namun, cara pengelolaan program ini yang masih harus diperbaiki dan ditinjau ulang agar bisa memecahkan masalah perumahan rakyat Indonesia dan mendapatkan kepercayaan rakyat.

Tata kelola yang baik menjadi kunci, termasuk dengan melakukan sosialiasi secara detail dan menjalankan program secara transparan. Kalau kita tarik kesimpulan pada artikel ini, bahwa berdasarkan pendapat para pemerhati Tapera baru baru ini, maka yang berpendapat tidak setuju dengan Tapera tentu dianggapnya menyengsarakan masyarakat. Sebaliknya pemerhati Tapera yang mengatakan perlu dilaksanakan, maka Tapera dapat dianggap mensejahterakan masyarakat. Terakhir, apakah Tapera akan dilaksanakan? Jawabannya terpulang kepada penguasa dan pengambil kebijakan di Republik Indonesia.