Jum'at, 28 Juni 2024
KORUPTORKAH MENOLAK RUU PERAMPASAN ASET?
KORUPTORKAH MENOLAK RUU PERAMPASAN ASET?Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta
Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi Kitabullah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati dan mengkaji tentang, benarkan para koruptor menolak undang – undang perampasan asset?
Rancangan Undang Undang atau RUU sampai saat ini belum dibahas. Bahkan lembaga seperti Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia atau DPR RI yang mempunyai tugas membuat undang -undang masih ada yang pro dan kontra. Bagi yang pro mungkin ingin membrantas korupsi di negeri ini dan mungkin juga dia termasuk yang bersih dari korupsi termasuk keluarga besarnya.
Bagi yang kontra diduga takut mensahkan undang – undang perampasan asset karena diduga dia termasuk pelaku korupsi. Atau ada keluarganya yang korupsi. Kalau undang – undang perampsan asset itu disahkan maka mungkin dia yang akan dimakan undang undang tersebut buat pertama kalinya. Pepatah Minangkabau mengatakan, senjata makan tuan’.
Secara sederhana, RUU Perampasan Aset bertujuan untuk menghadirkan cara untuk dapat mengembalikan kerugian negara atau recovery asset sehingga kerugian yang diderita oleh negara tidak signifikan. RUU ini telah melewati perjalanan yang cukup panjang sejak awal tahun 2010, tetapi pihak berwenang yang menetapkan undang undang masih acuh tak acuh. Menurut ajaran syaraÂ’ mangato Rasulullah SAW bersabda: Sombong itu adalah menolak kebenaran dan merendahkan sesama manusia,
Hadist Riwayat Muslim. Jika dalam hati kita ada satu dari dua hal ini, atau kedua-duanya ada, itu pertanda kita telah masuk dalam deretan orang-orang sombong. Menurut ajaran adat memakai bahwa orang yang menolak kebenaran dapat dibuang sepanjang adat.Artinya ada sanksi sosial terhadap individu yang melakukan pelanggaran adat.
Individu tersebut dapat dikucilkan dari pergaulan dan tidak diikutsertakan dalam kegiatan kemasyarakatan, walaupun ia masih diizinkan tinggal di tempat tinggalnya.Dewan Perwakilan Rakyat atau DPR boleh dibilang acuh terhadap Surat Presiden atau Surpres tentang usulan pembahasan Rencana Undang-Undang atau RUU Perampasan Aset Tindak Pidana atau PATP, tertanggal 4 Mei 2023.
Sampai selesai masa reses 15 Agustus 2023, serangkaian sidang paripurna sama sekali tidak menyinggung, apalagi membacakan Surpres tersebut. Padahal, Presiden Joko Widodo meminta agar DPR memberikan prioritas utama untuk pembahasan RUU tersebut, yang sangat diperlukan sebagai landasan hukum untuk menyelamatkan harta negara yang berada di bawah cengkeraman koruptor.
Pemerintah merasa perlu mendesak DPR untuk mendahulukan pembahasan RUU Perampasan Aset itu. Soalnya, ditengarai sudah berkali-kali lembaga wakil rakyat itu enggan memasukkan RUU itu dalam Program Legislasi Nasional atau Prolegnas Prioritas. Terakhir, dari 41 RUU yang diprioritaskan Prolegnas 2023 yang diumumkan 23 November 2022, DPR tak mencantumkan RUU Perampasan Aset itu.
Artinya, tahun ini pun DPR tidak menjadwalkan untuk membahas RUU itu. DPR selama ini terkesan ogah-ogahan membahas, apalagi menyetujui RUU itu. Hampir tiap tahun DPR berkelit. RUU yang diinisiasi oleh Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi (PPATK) pada 2003 itu mengadopsi The United Nations Convention Againts Corruption atau UNCAC. RUU prakarsa pemerintah itu pernah masuk Prolegnas 2005 - 2009 dan menjadi salah satu dari 31 RUU Prolegnas Proritas 2008.
Tapi, waktu itu DPR abai, tidak membahasnya. RUU diperbaiki, judulnya diubah menjadi RUU Perampasan Aset Tindak Pidana. Pernah masuk Prolegnas 2010 - 2014 dan tercatat sebagai salah satu dari 69 RUU prioritas 2014.
Tapi, lagi-lagi, DPR tidak menyentuhnya. Kemudian, RUU itu masuk Prolegnas 2015 - 2019. Namun DPR enggan menyidangkannya karena kesibukan pergantian keanggotaan pada akhir 2019. Selanjutnya DPR berjanji memasukkan ke Prolegnas Prioritas 2022.
Namun, ternyata DPR justru mencoretnya. Maka pemerintah pun mulai ngotot, mendesak DPR agar memasukkan RUU itu ke dalam pembahasan 2023. Bahkan Presiden Joko Widodo sempat mengeluh dan menyatakan kekesalannya karena sudah berkali-kali mendesak lembaga wakil rakyat itu, tapi mereka tidak menggubrisnya.
Jokowi mengatakan, pemerintah tak mungkin terus-menerus mengulangi soal RUU Perampasan Aset itu. Presiden meminta publik ikut mendorong DPR agar mau membahas dan menyetujuinya. Kalau kita bandingkan dengan beberapa negara tentang hukuman bagi koruptor, misalnya di Cina dikenal sebagai salah satu negara yang paling keras dalam menindak pelaku korupsi. Padahal di Cina terkesan di sana serba modern.
Terkadang ada anggapan moral dan etika tak terlalu dikontrol terutama bagi warga yang berprilaku menyimpang. Mereka yang terbukti merugikan negara lebih dari 100.000 yuan atau setara 215 juta rupiah akan dihukum mati. Salah satunya Liu Zhijun, mantan Menteri Perkeretaapian China ini terbukti korupsi dan dihukum mati. Vonis ini marak diberlakukan semenjak Xi Jinping menjabat sebagai presiden Negeri Tirai Bambu tersebut.
Begitu juga di negara Arab Saudi merupakan negara dengan sistem kerajaan atau monarki. Hukum yang digunakan adalah menggunakan syariat Islam berdasarkan Al-QurÂ’an, Hadits Nabi SAW, serta fiqih mazhab Hanbali. Kebijakan pemerintah dalam politik dilaksanakan oleh raja sesuai dengan syariat Islam. Arab Saudi juga menerapkan berbagai regulasi dan membangun lembaga yang menangani kasus-kasus yang tidak dicakup oleh syariat Islam.
Penegakan hukum di Arab Saudi salah satunya adalah lahirnya gerakan anti-korupsi. Negara ini menerapkan hukuman mati bagi para koruptor berdasarkan syariat Islam. Hukum ini dikenal dengan istilah “utang nyawa dibayar nyawa”. Meskipun koruptor, secara harfiah, tidak melakukan pembunuhan, namun dampak dari tindakannya sangat berpengaruh besar dan merugikan bagi negara. Bagi para koruptor yang telah mencuri uang negara akan mendapatkan hukuman mati dengan metode pancung.
Eksekutornya adalah algojo yang sudah terlatih. Eksekusi pancung, yang diklaim mengadopsi syariat Islam, biasanya dilaksanakan di tempat umum, serta diperbolehkan untuk ditonton oleh banyak orang. Tujuannya, sebagai pembelajaran publik untuk mencegah kejahatan serupa terulang lagi. Bahkan, terpidana yang telah dieksekusi, akan dibiarkan begitu saja selama beberapa hari. Hingga saat ini, Arab Saudi masih mempertahankan hukuman mati sebagai hukuman yang paling berat bagi para pelaku kejahatan fatal