Detail Artikel

Selasa, 19 April 2005

Aspek Kompetensi dan Budaya Critical Thinking Kunci Utama SDM Berkualitas
Keprihatinan kita melihat profesionalisme dan kualitas sumber daya manusia (SDM) yang marak diberitakan oleh beberapa media massa baru-baru ini memang berdasar. Yang menjadi sorotan tentu saja dunia atau lembaga pendidikan baik tingkat dasar, menengah sampai perguruan tinggi. Banyak faktor yang menyebabkan hal itu terjadi, diantaranya belum memadainya sarana prasarana, sistem pendidikan atau kurikulum yang masih berorientasi kepada content based, tidak sesuainya kurikulum dengan kebutuhan masyarakat, pemberian materi ajar dan pengembangannya, penggunaan metode ajar, kurang memadainya sistem informasi, dan kurang berkualitasnya pendidik atau dosen itu sendiri.
Menyongsong diterapkannya kurikulum berbasis kompetensi pada tahun 2004 mendatang, sudah seharusnya pihak pengelola pendidikan bertindak cepat untuk melakukan evaluasi diri (self evaluation) dan mempersiapkan rencana strategis (strategic planning) untuk menghasilkan lulusan atau SDM yang berkualitas dan professional.
Untuk mencapai SDM yang berkualitas atau berkompeten ada beberapa aspek penting yang harus dipenuhi diantaranya punya ilmu (knowledge), keterampilan (skills), dan sikap (attitude). Aspek kompetensi tersebut lebih dijabarkan lagi dalam SK mendiknas No. 045/U/2002, tentang kurikulum berbasis kompetensi (competence based), dimana peserta didik harus mampu menguasai ilmu secara komprehensif, mempunyai keterampilan, kemampuan berkarya, sikap dan perilaku dalam berkarya menurut tingkat keahlian berdasarkan ilmu dan keterampilan yang dikuasai, seiring dengan pemahaman kaidah berkehidupan bermasyarakat sesuai dengan pilihan keahlian dalam berkarya yang semuanya itu tetap berlandaskan kepribadian bangsa (Indonesia). Apabila aspek/elemen komptensi tersebut terpenuhi maka SDM berkompeten yang diharapkan akan terwujud.
Untuk melaksanakan kurikulum yang berbasis kompetensi, aspek-aspek di atas perlu dijabarkan dan dikaji lebih komprehensif. Sekarang pertanyaannya adalah apa lembaga pendidikan sudah memenuhi elemen kompetensi tersebut pada semua jajaran/bagian? Asumsi penulis adalah kurikulum berbasis kompetensi tidak akan berhasil kalau pimpinan, dosen/pendidik, dan karyawan tidak memenuhi standar kompetensi tersebut. Anggaplah, mereka punya ilmu (manajerial, administrasi, dan pengetahuan bidang ilmu tertentu), tapi tidak terampil dan tidak mampu berkarya; atau mereka punya ilmu dan terampil berkarya, namun tidak punya sikap dan kepribadian yang baik, seperti acuh, kasar, suka sikut-menyikut, dan tidak bertanggung jawab, tentu saja mereka belum bisa dikatakan berkompeten. Ini akan menghambat bahkan merusak jalannya proses organisasi penyelenggaraan dan PBM.
Lembaga pendidikan harus bekerja keras mengantisipasi hal itu karena lembaga pendidikan tidak hanya sekedar pencetak sarjana tapi harus mempunyai komitmen untuk mempersiapkan lulusan berkualitas, yang terampil dan bisa berperan aktif dalam masyarakat menyumbangkan ilmunya. Dengan meningkatkan kemampuan dan kinerja sivitas akademika melalui pelatihan/training, seminar, dsb., para pendidik akan meningkatkan wawasannya mencari informasi sebanyak mungkin dan informasi terkini serta mampu menghubungkannya dengan materi ajar yang diberikan. Pemerolehan informasi sebanyak mungkin tentu juga didukung oleh kemampuan berbahasa asing (bahasa Inggris). Jadi, sudah seharusnya semua jajaran pimpinan, pendidik mampu berbahasa Inggris.
Karena dunia pendidikan merupakan lahan untuk menggali ilmu maka pemberdayaan sikap “critical thinking” dalam PBM merupakan hal yang vital. Terciptanya SDM yang professional dan berkualitas kalau ilmu yang diperoleh digali lebih dalam dengan memberi dan melatih mereka dengan berbagai macam pertanyaan. Disinilah keterampilan pendidik/dosen untuk mengembangkan metode ajar dan mengemas bahan ajar yang mendatangkan pemikiran kritis.
Budaya pemikiran kritis salah satu aspek penting yang perlu dikembangkan selama peserta didik.dalam PBM. Tidak zamannya lagi peserta didik hanya memelihara sikap pasif (hanya menerima apa yang diberikan pendidik), tapi mereka harus aktif bertanya dan mengembangkan ilmu yang sudah diperolehnya. Fenomena yang terjadi saat ini, berdasarkan pengalaman penulis, begitu banyak peserta didik yang pasif, mereka datang ke sekolah/kampus cenderung untuk duduk diam mendengarkan tanpa mampu mengembangkan informasi yang diperoleh atau berdiskusi.
Situasi itu harus ditanggapi serius oleh para pendidik atau dosen untuk mencari cara alternatif bagaimana memotivasi peserta didik untuk kreatif dan percaya diri serta mendorong mereka berpikir kritis. Salah satu cara adalah dengan memberikan pertanyaan secara kontinyu. Pertanyan-demi pertanyaan terus dilemparkan sehingga otak mereka berpikir, karena berpikir merupakan suatu cara untuk mempelajari isi pelajaran yang diberikan. Paul (2002) mengatakan thinking cannot be separated from content.
Pemilihan bahan ajar atau wacana yang tepat untuk peserta didik sangat perlu dilakukan. Kenalilah peserta didik yang kita hadapi, apakah data informasi tersedia dikepala mereka. Memilih topik pembelajaran yang aktual dan menarik bisa menjadi salah satu cara untuk membuat mereka mampu berdiskusi.
Di era reformasi saat ini, reformasi bahan ajar hendaknya sudah dilakukan untuk membawa peserta didik kita berpikir kritis. Kita harus ingat bahwa pendidik/dosen adalah agent of change, jadi harus proaktif dan kreatif.
Banyak cara yang bisa dilakukan para pendidik, diantaranya seperti yang disarankan oleh Mahyera (2002) dengan mengubah pernyataan yang ada dalam teks, menjadi kalimat tanya. Dalam proses belajar mengajar, bertanya hal yang penting dilakukan. Karena motornya berpikir adalah pertanyaan, ibarat mobil kalau tidak ada bensin, mobil tidak akan jalan, jadi bensinya berpikir adalah pertanyaan. Pikiran akan mati kalau tidak ada pertanyaan (Dead questions reflect dead Minds). Jelaslah, apa saja yang kita baca, dengar, dan lihat, selalulah hendaknya bertanya (keep questioning in your mind).
Kegagalan pendidikan saat ini cenderung disebabkan gagalnya mengajarkan peserta didik untuk berpikir kritis terhadap bidang ilmu yang sedang dipelajarinya. Sangat menyedihkan sekali, saat ini yang lebih trendi adalah mengembangkan sikap kritis pada hal-hal yang sifatnya nonkeilmuan. Menyikapi situasi ini, kita semua harus bekerja keras dan benar-benar komit untuk berubah serta secara komprehensif mengatasi setiap permasalahan yang muncul dan mau belajar dari masa lalu untuk membuat kebijakan-kebijakan yang rasional untuk membenahi sistem pendidikan yang berlandasan kompetensi. Itulah harapan pelaksanaan reformasi pendidikan yang untuk ke depan menghasilkan SDM yang berkompeten!

  • tulisan ini sudah diterbitkan di harian Mimbar Minang bulan November 2003.

    Yusrita Yanti, S.S.,M.Hum.
    Pemerhati Pendidikan/Dosen Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta
    CV PENULIS

    Nama : Hj. Yusrita Yanti, S.S.,M.Hum.
    Pekerjaan : Dosen/Staf Pengajar (Sastra Inggris)
    Institusi : Universitas Bung Hatta
    Alamat Kantor : Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta. Jl.
    Sumatra Ulak Karang,
    Padang. Telp. (0751) 51678 – 52096 ext.
    319.
    HP: 0815-3527-4456. email: yrita@bung-hatta.ac.id
    Jabatan Struktural : Dekan Fakultas Sastra Universitas Bung Hatta
    Jabatan Organisasi : - Ketua Masyarakat Linguistik Indonesia
    (MLI) Kom. Univ. Bung Hatta
    Waket Pusat Studi Perempuan Universitas
    Bung Hatta
    - Ketua I FKIK PTSP, bidang Pendidikan dan
    Pengembangan SDM (periode 2000-2003)
    Ketua Umum FKIKSP (periode 2004-2007)

    Pendidikan : D-3 ABA Prayoga Padang.
    S-1 (Sastra Inggris) Fakultas Sastra
    Universitas Bung Hatta
    S-2 (Sosiolinguistik) Universitas Indonesia
    Spesialisasi : - Sosiolinguistik (Language and Society)
    - - Bahasa Inggris / Public Speaking/
    Communication Skills
    (komunikasi)
    -Language and Gender


    ****