Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 04 Mei 2005 Ekonomi

Saatnya Melepas Dollar

Bagi investor yang memiliki instrumen investasi dalam bentuk valuta asing dollar Amerika Serikat (AS), saat ini merupakan momen yang paling tepat untuk meraup keuntungan dalam pasar valas dengan melepas dollar yang dimiliki dan mengganti dengan instrumen investasi yang lain, misalnya deposito rupiah. Nilai tukar rupiah mengalami titik terendah sejak April 2002, dimana pada perdagangan dollar di pasar spot antar bank di Jakarta Selasa 26 April 2005 telah mencapai Rp. 9.750 per dollar AS. Penulis memperkirakan minimal sebulan yang akan datang nilai tukar rupiah kembali menguat terhadap dollar AS pada kisaran Rp. 9.300-9.400 per dollar AS. Perkiraan tersebut didasarkan atas pertimbangan beberapa faktor yang mempengaruhi fluktuasi nilai tukar dimana sebagian besar dari faktor tersebut mendukung penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar AS.

1. Kebijakan Bank Indonesia dan Pemerintah

Bank Indonesia (BI) dan Pemerintah telah melakukan mengambil langkah-langkah strategis untuk menyelamatkan nilai rupiah dari keterpurukan. Sinergi antara otoritas moneter (BI) dan pemerintah diharapkan dapat menstabilkan pasar valas yang bergejolak dan spekulasi yang berlebihan. BI bergerak cepat dengan melakukan intervensi di pasar valuta dan menerapkan dua kebijakan strategis sekaligus dinilai cukup efektif:

  1. Mengurangi posisi devisa neto (PDN) perbankan, dari setinggi-tingginya 30% menjadi setinggi-tingginya 20%.
  2. Mengelar operasi pasar terbuka (OPT) dengan menggunakan instrumen “fine tune kontraksi” (FTK) untuk menyerap kelebihan likuiditas di perbankan. Dengan kebijakan FTK ini, BI mampu menyerap dana perbankan sebesar Rp. 1,7 triliun.
Disamping itu, BI masih menyiapkan satu kebijakan, yakni swap and forward transaction untuk memenuhi kebutuhan dollar AS BUMN yang cukup besar, melanjutkan kenaikan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) secara signifikan dimana berdasarkan hasil lelang SBI Rabu 20 April 2005 SBI berjangka sebulan sudah mencapai 7,71 persen. Langkah yang diambil oleh BI juga diperkuat lagi dengan langkah pemerintah menukar hasil penerbitan obligasi global senilai satu miliar dollar AS ke rupiah sehingga turut memperkuat rupiah dan menambah cadangan devisa. Terakhir pemerintah melarang Pertamina masuk ke pasar secara langsung membeli dollar AS untuk pembayaran pembeliaan minyak mentah. Pertamina harus mendapatkan dollar AS dari Bank Indonesia melalui perbankan.

Efektivitas dari langkah-langkah yang telah diambil oleh BI dan pemerintah dalam mencegah kemerosotan nilai tukar rupiah sudah mulai membuahkan hasil dimana nilai tukar rupiah di pasar spot antar bank di Jakarta ditutup menguat secara signifikan 135 poin menjadi Rp. 9. 560 per dollar AS. Kecedrungan rupiah terus menguat makin terbuka jika BI dan pemerintah tetap konsisten dengan kebijakan yang dilakukan dalam penguatan rupiah. BI sendiri optimis rupiah akan kembali menguat dan mencapai Rp.8.800-Rp.8.900 per dolar AS pada akhir tahun ini sesuai dengan harapan pemerintah yang tertuang dalam asumsi APBN-Perubahan sebesar Rp.8.900 per dollar AS.

2. Tingkat Inflasi

Kebijakan pemerintah menaikkan harga bahan bakar minyak (BBM) per-1 Maret 2005, telah memicu laju inflasi bulan Maret sebesar 1,91 persen dan inflasi year on year (Maret 2004-Maret 2005) sebesar 8,81 persen. Kenaikan Inflasi ini dapat menyebabkan nilai tukar rupiah mengalami depresiasi melalui mekanisme berikut:

  1. Inflasi menyebabkan harga barang dalam negeri menjadi tidak kompetitif dalam perdagangan internasional, sehingga menyebabkan ekspor menurun dan supply dollar ke dalam negeri berkurang.
  2. Disisi lain, inflasi menyebabkan permintaaan terhadap impor akan meningkat, sehingga menyebabkan permintaan terhadap dollar juga meningkat.
Perkiraan terhadap laju inflasi pada bulan-bulan yang akan datang tidak sebesar bulan Maret, sehingga diharapkan tidak memberikan dampak negatif terhadap nilai tukar rupiah.

3. Perbedaan Suku Bunga

Kebijakan Bank Sentral AS menaikkan suku bunga 25 basis poin pada tangga 23 Maret 2005 menjadi 2,75% per tahun menyebakan semakin mengecilnya perbedaan suku bunga dollar dan rupiah. Dalam satu tahun terakhir kenaikan suku bunga dollar lebih pesat daripada kenaikan suku bunga rupiah. Akibatnya perbedaan suku bunga dollar dan rupiah (untuk tempo satu bulan) menipis dari 7,2 persen akhir tahun 2003 menjadi 4,6 persen di akhir Maret 2005. Dampaknya spekulator valas, yang biasanya meminjam dolar untuk membeli rupiah jika selisih bunganya tinggi, merasa suku bunga rupiah terlalu rendah. Mereka lalu menjual rupiahnya dan kembali membeli dollar yang mengakibatkan melemahnya rupiah. Diperkirakan perbedaan suku bunga rupiah dengan dollar makin melebar sejalan dengan kebijakan Bank Indonesia (BI) menaikkan suku bunga Sertifikat Bank Indonesia (SBI) berjangka satu bulan, dimana pada lelang Rabu/20 Maret 2005 meningkat sebesar 17 poin menjadi 7,73 % untuk satu bulan. Dengan asumsi faktor lain konstan maka kemungkinan rupiah kembali menguat terbuka lebar apalagi jika BI terus menaikkan suku bunga pada lelang berikutnya.

[newpage]
4.Bursa saham

Pasar saham juga turut memicu keterpurukan nilai tukar rupiah terhadap dolar AS. Hal ini disebabkan karena sebagian dari investor saham, terutama investor asing keluar dari pasar dan mengkonversikan dana mereka ke dalam dollar sehingga menambah tekanan terhadap rupiah.. Para pelaku pasar masih khawatir terhadap laju inflasi akan terus menaik pada bulan-bulan yang akan datang, sehingga mereka memustuskan untuk keluar dulu dari pasar. Jika bursa saham sudah kembali stabil dan laju inflasi rendah, maka investor yang keluar dari bursa saham diharapkan dapat memindahkan kembali dananya yang disimpan dalam dollar ke investasi saham

5. Kenaikan Harga Minyak Dunia

Kenaikan harga minyak dunia dimana sampai senin (25/4/05) sudah mencapai level 55 dollar AS per barel juga ikut menyumbang melemahnya nilai tukar rupiah. Hal ini disebabkan karena permintaan dolar di pasar valas yang sangat besar oleh Perusahaan Minyak Negara (Pertamina) yang mencapai 1 miliar dolar AS setiap bulannya untuk mengimpor BBM. Pembeliaan dolar dalam jumlah besar oleh Pertamina yang merupakan pengguna valuta asing terbesar di Indonesia tentu akan menekan rupiah. Diperkirakan pada waktu yang akan datang harga minyak dunia terus mengalami peningkatan, sehingga kemungkinan nilai tukar rupiah melemah masih berpeluang terjadi.

6. Redemption Reksadana

Aksi redemption (penjualan kembali unit penyertaan) yang terjadi sepanjang bulan Maret sampai April 2005 yang mencapai lebih dari Rp. 15 triliun juga ikut mempengaruhi nilai tukar rupiah. Hal ini disebabkan karena sebagian dana dari penarikan unit penyertaan reksadana oleh nasabah banyak diinvestasikan diluar negeri sehingga permintaan terhadap dollar AS meningkat. Tetapi kondisi ini diperkirakan tidak berlangsung lama, jika harga obligasi dalam negeri kembali stabil dan penerapan metode market-to-market sudah tersosialisasi dengan baik kepada semua manajer investasi, maka dana kelolaan rekadana yang menurun akibat redemption akan kembali meningkat, sehingga supply dollar ke dalam negeri meningkat dan rupiah diperkirakan menguat.

7. Pertumbuhan Impor

Pesatnya pertumbuhan impor dari kegiatan investasi, terutama impor barang modal (13,2% dari total impor) dan bahan baku (78,6%) ikut melemahkan nilai tukar rupiah. Antara tahun 2003 dan 2004 impor naik 39,5 %, tetapi ekspor hanya naik 11,5%. Jika pertumbuhan investasi dan impor dibiayai investor asing (melalui foreign direct investment atau FDI), pembeliaan dolar dengan rupiah terbatas. Namun karena FDI masih rendah (karena iklim investasi di sector riil yang masih lemah bagi investor asing), maka pertumbuhan investasi umumnya dibiayai investor dalam negeri dengan rupiah , yang membutuhkan pembelian dollar untuk impor. Transaksi ini turut memperlemah rupiah.

8. Program Privatisasi

Melambatnya program privatisasi pemerintah juga berpengaruh terhadap nilai tukar rupiah. Penjualan asset membantu memicu penguatan rupiah dari Rp. 10.500 per dollar di akhir tahun 2001 ke Rp. 9.000 diakhir tahun 2004. Tetapi di awal tahun 2005, penerimaan negara dari penjualan asset belum terrealisasi secara optimal, sehingga pasokan dollar ke dalam negeri masih terbatas. Pada bulan-bulan yang akan datang diperkirakan pemerintah makin serius dalam program privatisasi-nya mengingat defisit APBN 2005 yang semakin besar sehingga diharapkan pasokan dollar dari hasil privatisasi (investor asing) meningkat dan nilai tukar rupiah mengalami apresiasi.



Penulis adalah Mahasiswa Doktor Manajemen Keuangan Universitas Indonesia dan Staf Pengajar pada FE-Universitas Indonesia, Fakultas Ekonomi Univ. Trisakti dan STIE-PERBANAS. Email: endri67@ yahoo.com