Jum'at, 20 Mei 2005
Otonomi Daerah Pasca Revisi UU Nomor 22 Tahun 1999: Tantangan Dalam Mewujudkan Local Accountability
PENGANTARBarangkali masih menjadi tanda tanya bagi sementara orang, mengapa UU No.22 Tahun 1999 harus diganti (direvisi-istilah populernya). Bukankah undang-undang dimaksud masih berumur setahun jagung dan secara efektif baru diberlakukan pada tahun 2000. Tapi yang pasti menurut pembentuk undang-undang, bahwa UU No.22 tahun 1999 tidak sesuai lagi dengan tuntutan perkembangan sistem pemerintahan dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan politik serta ketatanegaraaan.
Argumentasi yang diberikan pembentuk undang-undang itu tentu belum memuaskan publik dan daerah khususnya, karena penggantian undang-undang itu dilakukan pada saat semangat otonomi daerah tengah bangkit kembali setelah puluhan tahun mati suri. Dalam konteks ini, maka tulisan ini hendak mengkaji lebih jauh Otonomi Daerah Pasca Revisi UU No.22 Tahun 1999 .
Otonomi Daerah: Dari UU No 22/1999 ke UU No 32/2004
Di Indonesia soal desentralisasi menyangkut dua masalah penting, yakni: Pertama, penyebaran dan pelimpahan kekuasaan pemerintahan ke segenap daerah negara. Kedua, penyerasian perbedaan-perbedaan yang ada diantara daerah-daerah, pemenuhan aspirasi-aspirasi dan tuntutan daerah dalam kerangka negara kesatuan. Kedua masalah itu akan berkembang sejalan dengan dinamika politik dan respon elite terhadap desentralisasi.
Jika diawal tahun 2000, ketika UU No.22 Tahun 1999 mulai diterapkan, banyak kalangan menilai sebagai suatu era kebangkitan kembali otonomi daerah di Indonesia. Dengan terjadi terjadi perluasan wewenang pemerintah daerah, terutama pada Kabupaten/Kota yang kebagian otonomi penuh merentangkan harapan akan terwujudnya local accountability , yakni meningkatkan kemampuan pemerintah daerah dalam memperhatikan hak-hak dari komunitasnya bukan lagi suatu hal yang mustahil.
Pada saat peluang dan ruang otonomi daerah itu baru pada taraf disiasati daerah guna mencapai hasilnya yang optimal, tiba-tiba pemerintah mengambil suatu kebijakan untuk mengganti UU N. 22 tahun 1999 yang ditandai dengan telah disyahkannya oleh DPR dan kini hanya tinggal menunggu pengundangan dalam lembaran negara. Hal ini tentu menjadikan masalah otonomi daerah menarik untuk dipahami kembali dalam perspektif terwujudnya local accountability.
Dalam konteksnya dengan harapan untuk mewujudkan local accountability., maka pertanyaan pokoknya adalah, apakah konsepsi otonomi daerah yang dikembangkan dalam undang-undang yang baru itu (berdasarkan informasi terakhir terakhir telah diberi nomor, yakni UU No.32 Tahun 2004 dan selanjutnya dipergunakan dalam tulisan ini) merupakan proteksi terhadap konsep otonomi luas yang dianut UU No.22 tahun 1999 atau merupakan pemantapan konsep otonomi luas yang telah dibangun sejak runtuhnya orde baru beberapa tahun lalu.
Jawaban atas pertanyaan pokok tadi, setidaknya dapat dipahami dengan membandingkan jiwa dan semangat otonomi daerah dari kedua undang-undang pemerintahan daerah itu. Kalau UU No.22 Tahun 1999 menganut paham, bahwa desentralisasi itu adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada Daerah Otonom dalam kerangka Negara Kesatuan Republik Indonesia, maka konsepsi itu tampaknya tidak jauh berbeda dengan undang-undang yang baru, yakni penyerahan wewenang pemerintahan oleh Pemerintah kepada daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia.
Persoalan baru muncul ketika Daerah dihadapkan pada konsepsi otonomi daerah, dimana UU No.32 Tahun 2004 menyebutkan bahwa : Otonomi Daerah adalah hak, wewenang dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Konsepsi otonomi daerah yang dianut undang-undang ini mirip dengan konsepsi otonomi daerah yang dianut UU No. 5 Tahun 1974. Dan sangat berbeda dengan rumusan otonomi daerah yang dianut UU No. 22 Tahun 1999 yang menyebutkan otonomi daerah itu adalah kewenangan Daerah Otonom untuk mengatur dan mengurus kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat sesuai dengan peraturan perundang-undangan.
Jika dalam UU No.22 Tahun 1999 Kewenangan Daerah mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam bidang politik luar negeri, pertahanan keamananan,peradilan, moneter dan fiskal, agama, serta kewenangan bidang lain, maka dalam undang-undang No.32 Tahun 2004 kewenangan Daerah sudah ditentukan sedemikian rupa. Dalam hubungan ini UU No.32 Tahun 2004 menentukan 16 urusan wajib untuk urusan propinsi dan 16 urusan wajib pula untuk Kabupaten/Kota. Selain urusan wajib baik Propinsi maupun Kabupaten/Kota disertai dengan urusan yang bersifat pilihan meliputi urusan pemerintahan yang secara nyata ada dan berpotensi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat sesuai dengan kondisi, kekhasan, dan potensi unggulan daerah yang bersangkutan.
[newpage]
Kewenangan sebagaimana diatur dalam UU No.32 Tahun 2004, menurut penulis memperlihatkan perbedaan yang signifikan dengan pola UU No.22 tahun 1999 yang dituangkan dalam PP No.25 Tahun 2000. Pola yang dikembangkan UU No.22 Tahun 1999 vide PP No.25 Tahun 2000 adalah pembagian kewenangan antara pemerintah dan daerah, dimana sudah ditentukan apa-apa yang menjadi kewenangan pemerintah dan apa-apa yang menjadi kewenangan propinsi dan apa yang menjadi kewenangan Kabupaten/Kota adalah kewenangan yang tidak temasuk kewenangan pemerintah dan propinsi. Dalam konteks ini undang-undang tidak memberi ruang kepada pemerintah untuk mencampuri urusan yang telah menjadi kewenangan Propinsi, Kabupaten dan Kota. Propinsi tidak pula dapat mencampuri urusan-urusan Kabupaten/Kota.
Berbeda halnya dengan undang-undang No. 32 Tahun 2004, dimana undang-undang ini menganut paham pembagian urusan. Antara pembagian kewenangan dengan pembagian urusan jelas terdapat perbedaan yang mendasar. Secara yuridis yang diartikan dengan kewenangan adalah hak dan kekuasaan Pemerintah untuk menentukan atau mengambil kebijakan dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan (Peraturan Pemerintah No.25 Tahun 2000 pada pasal 1 angka 3), sedangkan yang dimaksud dengan urusan pemerintahan adalah isi dari kewenangan itu sendiri. Dengan demikian, maka titik tekanan pada undang-undang No.22 Tahun 1999 adalah pada kewenangan dan dengan kewenangan itu daerah menentukan apa-apa yang akan menjadi isi dari kewenangannya. Pola ini merangsang kreatifitas dan prakarsa daerah menggali berbagai aktifitas dan gagasan guna mewujudkan pelayanan publik dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan daerah. Sementara itu, kalau titik penekanannya pada pembagian urusan, maka kewenangan daerah hanya sebatas urusan yang telah ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan dan bertambah apabila ada penyerahan dari pemerintah. Artinya kewenangan daerah bertambah hanya jika ada penyerahan urusan. Mekanisme yang demikian, lagi-lagi mirip model undang-undang No.5 Tahun 1974.
Mencermati pola pembagian urusan yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 memang tidak harus ditanggapi secara skeptis, tetapi konsep otonomi daerah yang akan dikembangkan tampaknya berjiwa sentralistik. Meskipun undang-undang baru itu masih memaknai desentralisasi sebagai penyerahan wewenang, tetapi sesungguhnya hanya penyerahan urusan. Dan atas urusan yang diserahkan kepada daerah itu diberikan rambu-rambu yang tidak mudah untuk dikelola daerah dengan leluasa sebagai urusan rumah tangga sendiri. Setidaknya ada beberapa-beberapa rambu yang sangat ââ¬Åkaretââ¬Â, yakni:
- Daerah dalam menjalankan urusan pemerintahan yang menjadi kewenangannya menjalankan otonomi seluas-luasnya untuk mengurus sendiri urusan pemerintahan berdasarkan asas otonomi dan tugas pembantuan.
- Penyelenggaraan urusan pemerintahan dibagi berdasarkan criteria eksternalitas, akuntabelitas, dan efisiensi dengan memperhatikan keserasian hubungan antar susunan pemerintahan.
- Penyelenggaraan urusan pemerintahan merupakan pelaksanaan hubungan kewenangan antar pemerintah dan pemerintah daerah propinsi, kabupaten/kota atau antar pemerintahan daerah yang saling terkait, tergantung dan sinergis sebagai suatu sistem pemerintahan.
Padangan kita terhadap kebijakan otonomi daerah yang diambil pembentuk undang-undang yang dituangkan dalam UU No.32 Tahun 2004 bukanlah suatu sinisme, melainkan memang kebijakan otonomi daerah yang protektif dan tampaknya lebih dominan dibangun padangan politik ââ¬Åkhawatiran ââ¬Å dan juga sebagai reaksi yang berlebihan atas otonomi daerah yang berlansung dibawah UU No.22 tahun 1999. Bahkan tidak tertutup kemungkinan semangat otonomi daerah dari UU No. 32 Tahun 2004 dibangun atas pandangan UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berjiwa federalis. Jika persepsi ini benar, maka sejarah desentralisasi di Indonesia kembali mengalami kemunduran.
Konsepsi otonomi daerah yang dirumuskan dalam UU No.32 Tahun 2004 sebagaimana digambarkan di atas, ia jelas akan membawa pengaruh dan perubahan yang mendasar bagi eksistensi Daerah dan pemerintahannya. Sekaligus merupakan tantangan bagi daerah dan menghadapkan pemerintahan daerah pada suatu kondisi yang dilematis ketika desakan untuk mewujudkan local accountability.
Jika ditelusuri lebih jauh konsepsi otonomi daerah menurut undang-undang No.32 Tahun 2004, saya pikir juga berpotensi konflik dalam pengimplementasiannya dan membingungkan daerah. Dalam Pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2003 disebutkan bahwa: pemerintahan daerah menyelenggarakan urusan pemerintahan yang menjadi kewenagannya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh Undang-Undang ini ditentukan menjadi urusan pemerintah. Ketentuan ini tentu tidak diperlukan, karena di dalam undang-undang ini telah disebutkan apa-apa yang menjadi urusan pemerintahan daerah. Dan kalau dikuti ketentuan pasal 10 ayat 1 UU No. 32 Tahun 2004 itu maka tidak diperlukan lagi penentuan secara limitatif apa yang menjadi urusan pemerintah daerah. Pemerintahan daerah berhak mengatur urusan-urusan yang tidak menjadi urusan pemerintah pusat.
[newpage]
Di sisi lain, kalau daerah menngikuti ketentuan apa-apa yang menjadi urusannya, maka siapakah yang akan mengurus urusan-urusan yang tidak termasuk urusan pemerintah pusat dan tidak pula termasuk urusan pemerintahan daerah. Implikasi dari prolema ini akan sangat dirasakan daerah, ketika kita cermati penjelasan undang-undang ini yang menyebutkan, bahwa sejalan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya, dilaksanakan pula prinisip otonomi nyata dan bertanggung jawab. Prinsip otonomi nyata adalah suatu prinsip bahwa untuk menangani urusan pemerintahan dilaksanakan berdasarkan tugas, wewenang dan kewajiban yang senyatanya telah ada dan berpotensi untuk tumbuh, hidup dan berkembang sesuai dengan potensi dan kekhasan daerah. Dengan demikian isi dan jenis otonomi daerah bagi setiap daerah tidak selalu sama dengan daerah lainnya. Adapun yang dimaksud dengan otonomi yang bertanggung jawab adalah otonomi yang dalam penyelenggaraannya harus benar-benar sejalan dengan tujuan dan maksud pemberian otonomi yang pada dasarnya untuk membedayakan daerah termasuk meningkatkan kesejahteraan rakyat yang merupakan bagian utama dari tujuan nasional.
Dari beberapa yang kita kemukakan mengenai konse[si otonomi daerah dalam UU No. 32 Tahun 2004 sebagaimana yang dikemukakan di atas, maka tidak terelakan lagi, bahwa tantangan utama bagi daerah dalam berotonomi pasca revisi UU No.22 Tahun 1999 adalah kesiapan daerah dan masyarakatnya kembali kejiwa dan semangat Otonomi Daerah sebagaimana pernah dipratekkan semasa berlakunya UU No. 5 tahun 1974 yang berbeda hanya dalam beberapa dan sistemnya, tetapi substansinya kurang lebih sama.
Disadari memang, cukup banyak argumen yang dapat didalikan untuk membantah pandangan di atas dengan mengajukan pola dan mekanisme yang dituangkan dalam undang-undang No. 32 Tahun 2004, tetapi undang-undang ini telah mengampungkan suatu konsep, bahwa dalam menyelenggarakan pemerintahan daerah, pemerintahan daerah menggunakan asas otonomi dan tugas pembantuan. Dalam konteks ini yang dimaksudkan dengan asas otonomi dan tugas pembantuan adalah bahwa pelaksanaan urusan pemerintahan oleh daerah itu sendiri dan dapat pula penugasan oleh pemerintah provinsi ke pemerintah kabupaten/Kota dan desa atau penugasan dari pemerintah kabupaten Kota/Kota ke Desa. Ini tentu saja sangat berbeda dengan apa yang kita pahami selama ini, bahwa di bawah undang-undang No.5 Tahun 1974 penyelenggaraan pemerintahan daerah didasarkan pada asas desentralisasi, dekonsentrasi dan tugas pembantuan. Bahkan Undang-Undang No. 22 Tahun 1999 menyebutkan, bahwa undang-undang ini pada prinsipnya mengatur penyelenggaraan Pemerintahan Daerah yang lebih mengutamakan pelaksanaan asas desentralisasi. Lebih jauh UU No. 22 Tahun 1999 menegaskan, bahwa dengan memperhatikan pengalaman penyelenggaraan Otonomi Daerah pada masa lampau yang menganut prinsip otonomi yang nyata dan bertanggungjawab dengan penekanan pada otonomi yang lebih merupakan kewajiban daripada hak, maka dalam Undang-undang ini pemberian kewenangan otonomi kepada Daerah Kabupaten dan Daerah Kota didasarkan kepada asas desentralisasi saja dalam wujud otonomi yang luas, nyata, dan bertanggung jawab.
Tetapi tidak demikian halnya dengan UU No. 32 Tahun 2004, bahwa asas desentralisasi, tugas pembantuan dan dekonsentrasi bukan lagi menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan daerah, melainkan menjadi asas penyelenggaraan pemerintahan oleh pemerintah (pemerintah pusat). Dengan demikian, dalam penyelenggaraan pemerintahan daerah tidak akan kita lihat lagi pemerintahan propinsi dengan otonominya yang terbatas dan daerah Kabupaten/Kota dengan otonomi penuh yang mengatur urusan rumah tangganya hanya berdasarkan asas desentralisasi saja. Pertanyaannya pentingnya, siapkan daerah menghadapi perubahan ini dan meninggalkan otonomi daerah yang telah dilalui dengan sejumlah harapan dibawah naungan UU No.22 Tahun 1999 ?
Tidak mudah memang untuk menjawab pertanyaan di atas, namun yang pasti bila kelahiran UU No.22 Tahun 1999 dipahami sebagai berakhirnya era pemerintahan yang sentralistik. Tetapi, kini era sentralistik itu kembali tercium. Sayangnya luput dari pembicaraan publik, justeru yang santer adalah pembicaraan dan perdebatan pemilihan kepala daerah lansung yang antusias. Padahal, Pilkada lansung tidak akan memberikan kontibusi yang signifikan dalam perspektif otonomi di bawah UU No.32 tahun 2004 dalam rangka mewujudkan local accountability. Tidak banyak yang dapat diperbuat Kepala Daerah mengembangkan prakarsa dan insiatif guna memenuhi aspirasi rakyat, ketika otonomi yang dikembangkan adalah ââ¬Åotonomi kekanganââ¬Â. Dalam konteks otonimi daerah yang demikian, Pilkada lansung hanyalah sebuah ââ¬Åfestival demokrasiââ¬Â yang kemudian ââ¬Ådisesaliââ¬Â ketika calon Kepala daerah yang keluar sebagai pemenang ternyata tak bisa berbuat banyak mengembangkan inisiatif dan prakarsa bagi kepentingan rakyat daerah yang dipimpinnya.
Penutup
Memang disadari, bahwa perluasan otonomi daerah juga tidak kecil kemungkinan akan membuka peluang semakin terkonsentrasinya kekuasaan di tangan local state-actors (birokrat dan politisi di daerah), tetapi sayangnya hal itu cenderung ditanggapi sebagai salah satu bahaya dari perluasan otonomi daerah. Selain masih terlalu dini untuk memberikan reaksi yang berlebihan atas kecenderungan tadi. Kelahiran UU No. 32 tahun 2004 dengan konsep otonomi daerah yang dianutnya dibangun lebih melihat prilaku elite local dalam mengimplementasikan otonomi daerah di bawah undang-undang No.22 Tahun 1999. Padahal idealnya bukan ââ¬Åmengobrak-abrikââ¬Â konsep otonomi daerah yang dianut UU No. 22 Tahun 1999, tetapi memperbaiki sistem yang mampu mempercepat terwujudnya local accountability dan medorong tumbuhnya prilaku elite secara proporsional dalam mengimplementasikan otonomi daerah. Tapi apa mau dikata, UU No. 32 Tahun 2004 hanya menunggu diundangkan dalam lembaran negarta.
Meskipun terkesan pesimis, tetapi itulah tantangan daerah dan pemerintahannya ketika, undang-undang No. 32 Tahun 2004 diberlakukan.
[right]Padang, 29 Oktober 2004.[/right]
Penulis adalah Dosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta dan Pengacara/Advokat, tinggal di Padang. é Byt-2005 - email: boytamin@yahoo.com