Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Selasa, 31 Mei 2005 Perikanan

Nasib Nelayan Dihempas BBM, Namun Laut Masih Memberikan Harapan

Cahaya merah redup masih memancarkan sinarnya ketika perahu-perahu layar dan perahu-perahu bermesin temple satu demi satu merapat ke pantai di sepanjang pantai pasir Ulak Karang dan Air. Berkilo-kilo dan berkeranjang-keranjang ikan diturunkan oleh orang dari atas perahu untuk dijual atau dibawa ke pelelangan ikan.

Namun tidak seperti beberapa tahun lalu dan bulan-bulan lalu, pagi itu dan pagi-pagi lain selama tahun-tahun dan bulan-bulan terakhir, nampak wajah-wajah muram menghiasi penampilan para nelayan. Salah satu dari nelayan pagi itu yang sempat berbagi cerita adalah Mustafa, nelayan perahu tradisional dengan mesin pendorong 8 PK yang berlabuh tidak beberapa jauh di belakang kampus Univ.Bung Hatta.

“Issue tsunami dan gempa, juga mempengaruhi kehidupan laut, ikan-ikan juga sepi, kami melaut juga agak kwatir meninggalkan keluarga” katanya sambil mengangkat keranjang yang terisi ikan tak sampai separohnya. Munurutnya laut di ciptakan oleh sang pencipta untuk di manfaatkan umatnya, bukan untuk ditakuti, tetapi issu menyebabkan sebagian orang menganggap laut adalah pembunuh yang dahsyat, dengan pikirannya yang sederhana Mustafa menganggap, ikan-ikan juga akan menjauh karena ikan itu mengira tidak orang yang akan menangkapnya.

Tapi sekarang pak Mustafa, bapak empat anak ini dan ratusan nelayan lain telah kembali melaut seperti biasa, tetapi hasil tangkapan tidak juga bertambah, dia menuturkan bahwa jauh-jauh hari sebelum issu tsunami dan gempa, hasil tangkapan mereka dari hari kehari terus menurun, katanya ada orang-orang yang menangkap ikan menggunakan bom dan racun yang menyebabkan rusaknya biota laut dan terumbu karang yang menjadi sarang ikan dan tempat beranak pinak, ikan mana lagi yang mau bersarang dan bertelur lagi disana, sekarang baru terasa kalau ikan-ikan itu semakin berkurang.

[newpage]
Pak Mustafa hanya bisa pasrah dan hanya berharap agar nelayan sejawat lainnya tidak lagi menggunakan bom dan racun dalam menangkap ikan. “Untuk apa dapat ikan berlimpah kalau hanya sesaat, tetapi bibit-bibitnya pun turut mati” katanya memberi nasehat. Pak Mustafa mengaku tidak tahun nelayan dari mana yang menggunakan bom dan racun tersebut. Lebih jauh ia juga bercerita bahwa teman-temannya yang lain sering melihat orang mengebon dan meracun ikan di sekitar perairan yang ada karangnya. Tidak jarang juga mereka sering juga ikut menikmati hasilnya, yaitu jenis-jenis ikan yang tidak menjadi sasaran pengeboman yang ditinggal mati mengapung-apung begitu saja.

Kini penderitaan mereka bertambah lagi. Seiring dengan kenaikan BBM, penghasilan seorang nelayan sekarang tidak sesuai lagi dan tidak mencukupi untuk menghidupi satu rumah tangga, keluh para nelayan.Mereka tidak bisa berharap lagi, kalau hanya mengandalkan hasil tangkapan yang terus menurun. Sekarang justru mereka berusaha mengalihkan mata pencaharian alternative, dengan menjadi buruh bangunan, buruh harian atau apa saja yang bisa menambah penghasilan. Begitupun juga dengan istri-istri mereka, juga berusaha mencari tambahan penghasilan dalam bentuk apa saja asal halal dan mendatangkan uang.

Mereka sadar, dengan kian langkanya ikan juga akan melambungkan harga ikan itu sendiri. Namun walaupun demikian, untuk balik modal saja tidak cukup, lokasi penangkapan juga makin jauh ke tengah, dengan sendirinya biaya operasional dan kebutuhan BBM juga bertambah, seiring dengan kenaikan harganya.

Dikatakan pula, bila cuaca tidak bagus atau badai, nelayan tidak bisa melaut. Sebagian besar hanya bisa hidup dari hasil buruh harian. Kehidupan yang sudah susah semakin bertambah susah, karena kebutuhan harian juga bertambah, sementara pendapat tidak berubah.

Nasib nelayan ibarat gelombang laut itu sendiri. Adakalanya naik, adakalany turun. Mereka bisa turun kelaut tergantung musim. Ketika musim ”kalam” (saat bulan tidak bersinar) saat itu biasanya hasil tangkapan cukup banyak. Tetapi mereka tidak bisa melaut kalau bulan ”tarang” (bulan purnama) disamping cuaca alam yang juga tidak mendukung karena badai.

Menurut Pak Mustafa,saat ini dirinya sedang susah sekali untuk menghidupi satu istri dan ke-empat anaknya. Mereka masih sekolah yang paling besar baru kelas 3 SMP dan sibungsu sebentar lagi juga mau TK. Mereka itu kan perlu biaya, termasuk ongkos angkot ke sekolah yang juga telah naik. ” Sekarang yang turun hanya penghasilan, dan yang tak mau turun adalah pejabat yang lagi enak-enak korupsi” selorohnya menghibur diri.

Namun pandangan pria yang tidak tamat SD ini bisa berubah. Alam telah melatihnya secara turun temurun untuk menghadapi tantangan kehidupan. Untuk itu kata dia, alam tidak akan memberikan kesejahteraan kalau kita tidak menjaga dan memanfaatkannya secara baik, kita harus bersama-sama untuk melestarikannya. ”Bagaimanapun disinilah kami menggantungkan hidup dan mungkin pula di sini kami akan dikuburkan”, katanya sambil membersihakn sisa-sisa ikan di perahunya, mengakhiri perbincangan nasib kaummnya pada kami.

Ditulis kembali berdasarkan pengalaman
Penulis pada pagi hari, satu minggu pasca issu tsunami & gempa