Detail Artikel

Jum'at, 03 Juni 2005

Perbandingan Tokoh Wanita Dalam Kaba dengan Novel Indonesia Periode Balai Pustaka
Pendahuluan
Topik ini didasarkan oleh pemikiran bahwa antara kaba (sastra fiksi Minangkabau) mempunyai pertalian yang erat dengan novel Indonesia modern pada zaman awal penulisannya. Pertalian itu dihubungkan oleh unsur pengarang sebagai pencipta, dan realitas objektif sebagai sumber penciptaan. Puncak novel Indonesia modern sebagaimana diketahui pada umumnya ditulis oleh pengarang dari etnis Minangkabau. Sehingga novel seperti Siti Nurbaya, Salah Asuhan, dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk banyak sedikitnya dipengaruhi oleh sosio budaya Minangkabau.

Asumsi dasar sebelum ini secara umum selalu mengaitkan sastra Indonesia dengan sastra Melayu sebagai akibat logis dari pencuatan bahasa Melayu menjadi bahasa Indonesia. Padahal kreativitas muncul dari unsur manusianya bukan bahasa yang digunakannya sebagai alat, sehingga pengaitan sastra Indonesia dengan tradisi sastra Minangkabau menjadi penting ditinjau dari sudut unsur manusianya ‘pengarang’. Novel sebagai karya ekspresif berkaitan dengan tradisi sosio budaya yang melatyarbelakanginya. Oleh sebab itu, kemungkinan lompatan kaba ke novel lebih logis dibandingkan kemungkinan lompatan dari hikayat ke novel.

Perbandingan antara kaba dengan novel sekaligus dapat juga dijadikan gambaran perubahan sosial di tengah masyarakaty Minangkabau, perubahan pandangan dan pemikiran terhadap sosio budaya Minangkabau. Perbandingan penokohan antara kaba dengan novel diperkirakan akan memperlihatkan perubahan motivasi, pandangan hidup, prilaku, kebijakan, dan pemikiran yang berkembang dalam masyarakat.

[newpage] Beda penokohan kaba dengan novel diperkirakan sebagaimana perbendaan antara pandangan orang Minang yang masih Minang dengan orang Minang yang telah mengindonesia. Penokohan kaba akan memperlihatkan karakteristik ketokohan anggota masyarakat Minangkabau yang masih berintekraksi sesamanya. Sedangkan penokohan novel akan memperlihatkan karakteristik ketokohan anggota masyarakat Minangkabau yang telah berintekraksi secara bebas dengan kelompok etnis lain.
Kerangka Berfikir

Istilah penokohan dibedakan dengan perwatakan. Penokohan berhubungan dengan kondisi dan karakteristik tokoh dalam kontek sosialnya terhadap tokoh dan unsur lain, sedangkan perwatakan merupakan keselarasan unsur-unsur kedirian tokoh tersebut tanpa dihubungkan dengan keserasiannya dengan tokoh dan unsur lainnya.

Perawatan suatu tokoh hanya dilihat dalam keserasian kondisi pisik dengan kondisi psikis tokoh terebut. Kondisi pisik tokoh meliputi penamaan, gelar, sapaan, keadaan tubuh, dan keadaan pakaian. Kondisi psikis meliputi segala gejolak kejiwaan tokoh, seperti emosi, pikiran, pandangan, angan-angan dan reaksi. Kondisi pisik dan kondisi psikis harus saling tunjang menunjang dalam bentuk suatu perwatakan tokoh.

Kondisi pisik tokoh pada umumnya relatif tetap, dan hanya terubah apabila terjadi perubahan waktu atau perkembangan usia tokoh. Sedangkan kodisi psikis akan berubah apabila terjadi pergantian waktu, tempat, tujuan penceritaan, dan terutama oleh perubahan peran tokoh. Maka dalam diri seorang tokoh akan muncul keragaman perwatakan akibat perubahan perannya. Perwatakan akan menjadi landasan dari prilaku dan ucapan tokoh yang disesuaikan dengan perannya. Permasalahan fiksi pada hakekatnya muncul akibat pertemuan antara peran doa orang tokoh – dapat pula dua kelompk tokoh—yang bermula dari perwatakannya yang berbeda.

Penokohan merupakan keserasian antara prilaku dan ucapan dengan peran dan permasalahan fiksi. Setiap prilaku, ucapan, dan peran tokoh akan selalu terkait secara berpasangan atau berlawanan dengan perilaku, ucapan dan peran tokoh lainnya. Maka penokohan berharti kondisi tokoh dalam interaksinya dengan tokoh lain.

Sehubungan dengan hal itu maka pembahasan tentang penokohan dan perawatan sebenarnya harus dipilih berdasarkan peran tokoh tersebut. Setiap tokoh cerita akan selalu berubah-ubah peran dan akan mustahil hanya memerankan satu peran saja Dengan kata lain tolak ukur tokoh utama atau tidaknya seorang tokoh ditinjau dari sudut keragaman peranya. Semankin banyak yang diperankan seorang tokoh, semankin penting tokoh tersebut dan ialah tokoh utama cerita..

Pembahasan tentang tokoh wanita tidak dapat dilakukan tanpa penyorotan tokoh laki-laki. Penokohan muncul atas dasar peran yang difungsikan pengarang kepada tokoh tersebut. Pembicaraan peran hanya dapat dilakukan jika dihubungkan dengan pasangan ataun lawan peran tersebut. Misalnya pembicaraan peran ibu tidak akan menonjol jika tidak dikaitkan dengan peran anak sebagai lawannya atau dengan peran ayah sebagai pasangannya. Oleh sebab itu, dalam pembicaraan tokoh wanita tetap terkait dengan tokoh laki-laki.

[newpage]
Ragam Peran Kaba
Dari hasil penelitian tiga buah kaba, yakni; Cindua Mato (CM), Anggun nan Tongga (ANT), dan Malin Deman (MD) ditemukanlah bebarapa jenis peran tokoh yang dibedakan atas:
(a) peran dalam keluarga inti yang meliputi ibu, anak, kakak, adik, dan kemenakan (keponakan);
(b) peran dalam keluarga luasan yang meliputi ayah, mertua, menantu, suami, dan istri;
(c) peran akibat hubungan keluarga inti dengan keluarga luasan yang meliputi ipar dan besan; dan
(d) peran dalam interaksi sosial yang meliputi majikan, pembantu, pimpinan, bawahan, penghulu, ulama, guru, murid, kekasih, sahabat, wali murid, tuan rumah, dan tamu.
Mengingat waktu dan kesempatan. Dalam hal ini peran-peran yang melibatkan tokoh wanita dalam ketiga kaba hanyalah sebagai ibu, anak, kakak, adik, dan istri. Dari peran-peran inilah akan disoroti perbandingan penokohan antara kaba dengan novel. Novel yang dijadikan sampel pembandingnya adalah Siti Nurbaya (SN), Salah Asuhan (SA), dan Tenggelamnya Kapal van der Wijk (TKW).

Perbandingan Penokohan Kaba dengan Novel
Penokohan Wanita sebagai Ibu
Dalam sistem kekerabatan matrilineal di Minangkabau peran ibu menjadi peran sentral dari peran-peran lainnya. Ketokohan ibu dalam masyarakat menjadi patokan bagi keluarganya terutama anak-anaknya. Ibu simbol dari kekokohan suatu keluarga, sekaligus ibu pencerminan dari raja dalam keluarga karena peran ibu berpengaruh pula terhadap peran wanita lain dalam keluarga seperti saudara, istri, mertua, dan menantu.
Perwatakan tokoh wanita yang berperan sebagai ibu dalam kaba digambar seorang wanita yang mempunyai wawasan untuk kebaikan keluarga dan kampungnya, mempunyai cita-cita agar anggota keluarganya melebihi anggota keluarga lainnya dan mempunyai rasa tanggung jawab terhadap kemajuan anggota keluarga dan masyarakat kampungnya.
Setelah seorang anak lahir tanggung jawab terhadap anak yang diberikan orang tua ternyata dari ibu bukan ayah. Hal ini meliputi usaha membesar anak, menyelenggarakan pendidikan terhadap anak atau setidak-tidaknya mengusahakan pendidikannya. Hal itu terutama pada tokoh wanita yang hidup di wilayah kampung halamannya. Sejak kecil anak hanya mengenal ibunya, sedangkan ayah boleh dikatakan tidak hidup bersama anaknya. Demikian halnya dengan tokoh wanita sebagai ibu seperti Suto Sori, Amai Manah, dan Galinggang Layua (ANT) yang membesar anak-anak mereka tanpa didampingi suami mereka. Sedangkan ayah telah meninggalkan istri dan anaknya di saat anak belum lahir atau baru saja lahir. Sementara itu tokoh Bundo Kambang Bandahari, Puti Bungsu, Lenggogeni, Puti Linduang Bulan (CM) memang ada didampingi suaminya Cindua Mato, Dang Tuanku, dan Rajo Mudo, Bujang Salamaik, tetapi sang ayah ini tidak pernah memperhatikan keadaan dan kebutuhan anak-anaknya. Kenyataan seperti ini pulalah yang muncul dalam novel Salah Asuhan dimana pendidikan dan kehidupan tokoh Hanafi dan Safei diupayakan dan ditentukan oleh ibunya. Begitu pula dengan kehidupan tokoh Zainuddin (TKW) yang dibesar dan dididik oleh keluarga ibunya.

[newpage]
Dalam kaba memang ada pula ditemukan hanya hidup serumah antara ayah dan anak perempuannya, seperti Katik Intan, Mangkudum Sati (ANT), Tiang Bungkuk (CM), latar kehidupan ini benar-benar berada di luar daerah Minangkabau atau hidup di perantauan. Sungguhpun ayah dan anak hidup serumah dengan anak perempuannya tanpa diketahui bagaimana ibunya, tetapi ayah tidak pernah memperlihatkan perilaku yang mengusahakan pendidikan dan kemaslahatan anaknya seperti Santan Batapih, Andami Sutan (ANT). Hal ini sangat berbeda dengan ibu pada tokoh Suto Sori, Ameh Manah, Galinggang Layua (ANT) Bundo Kanduang (CM), yang menentukan dan peduli dengan pendidikan dan kehidupan anak-ananya di masa datang. Sungguhpun anaknya itu laki-laki, ibu tetap peduli dan memegang kendali dan inisiatif terhadap sikap dan perilaku anaknya.
Dalam novel (SN) tokoh Siti Nurbaya hidup dan dibesarkan oleh ayahnya. Kehidupan ayah dan anaknya walaupun tidak diperantauan atau di luar daerah Minangkabau, namun masih dapat dipahami sebagai wilayah pesisir yang secara kultural diakui wilayah rantau juga. Apakah tokoh Siti Nurbaya hidupnya dikendalikan dan dipedulikan oleh ayahnya? Dia kawin dengan Datuak Maringgih bukanlah karena terpaksa tetapi dengan sukarela. Baginda Sulaiman tidak memaksa anaknya kawin, melainkan mengharapkan pertimbangan dan kerelaan Siti Nurbaya. Pada hakikatnya begitu pula pelukisan tokoh wanita Corrie dalam (SA) yang jelas-jelas disebutkan sebagai wanita keturunan Perancis, tetapi berprilaku sama dengan tokoh-tokoh wanita lain.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa ibu dapat mengendalikan kehidupan dan kepentingan ananknya. Sedangkan ayah tidak dapat berbuat demikian apadfa anaknya. Anak takluk dengan kepentingan ibunya tetapi tidak terhadap ayahnya. Baik pada kaba maupun novel jelas sekali bahwa ibu berperan dalam menetapkan norma-norma kehidupan bagi anak-anaknya, sedangkan ayah tidak mempunyai inisiatif sama sekali untuk kebutuhan anaknya dan membela kepentingan anaknya. Ibu mengendalikan perilaku kehidupan anak-anaknya, sekaligus menetapkan pula imbalan dan ganjaran bagi anak-anaknya. Maka baik atau buruknya kehidupan anak ditentukan oleh ibunya atau olehnya sendiri jika ia tidak beribu, dan bukan oleh ayaynya. Sehubungan dengan ayah pada sebagian besar tokoh tidak hidup bersama anak-anaknya, maka praktis kebutuhan metrial dan moral anak diusahakan dan dipenuhi sendiri oleh ibunya.

[newpage]
Seorang ibu dalam mengupayakan cita-cita dan harapannya terhadap anaknya mempunyai beberapa tanggung jawab yang dilakukannya. Tanggung jawab utama adalah mendidik anak dengan bermacam pengatahuan dan keterampilan yang dikuasainya. Ibu sebagai pendidik tidak hanya terbatas menyangkut pengetahuan dan keterampilan dalam lingkungan rumah tangga. Tokoh ibu dalam kaba ANT menguasai semua keterampilan yang biasanya dikuasai para lelaki, seperti pengetahuan adat, agama, keterampilan bela diri, bercatur, berkuda, dan lain-lain. Pendidikan anak sepenuhnya tanggung jawab dari ibu, maka dengan demikian tokoh wanita dalam kaba dapat pula dinyatakan sebagai tokoh serba bisa.
Tugas mendidik anak pada hakikatnya adalah tugas dan tanggung jawab ibu dan bukan ayah. Dalam kaba CM dan MD, Bundo Kanduang dan Rangkayo juga berperan seperti itu, meskipun ia tidak melakukannya sendiri namun ia mencarikan guru untuk anaknya. Inisiatif ibu terlihat dari usaha untuk memajukan anak seperti pendidikan yang diminati anak, memberikan pertimbangan terhadap bidang pendidikan yang baik, mengupayakan bekal pendidikan anak, mencarikan guru yang tepat dalam bidang yang dipilih anak, dan mengantarkan anak ke tempat perguruan. Sementara itu ayah hanya merestui saja hasil kesepakatan antara ibu dan anak. Bukankah hal yang sama terdapat juga dalam novel SA di mana tokoh Hanafi berinisiatif mengupayakan pendidikannya anaknya. Tokoh Rafiah sungguhpun telah mengalami kegetiran hidup dirinya dengan Hanafi masih tetap bertekad membesarkan dan mendidik anaknya Syafei dengan caranya sendiri.
Tokoh wanita yang berperan sebagai ibu terkesan sebagai wanita yang ambisius dalam menegakkan eksistensi dirinya sebagai penguasa rumah gadang. Ia berusaha membekali anaknya agar dirinya tidak dianggap sebagai wanita yang tidak mampu mengendalikan isi rumah gadang. Tujuan akhir adalah agar anak itu dapat melancarkan keinginannya dan menjaga keluarga agar tidak memalukan di mata orang lain. Seorang ibu akan bersikap welas asih, lembut, luwes, dan menghargai anak, jika anak itu menjadi orng yang terpandang di masyarakat dan tidak pulang ke rumah membawa malu. Seandainya anak pulang ke rumah dengan kegagalan dan kekurangan, akan disambut ibu dengan bengis, garang, dan memberikan hukuman dengan tegas tanpa memperhitungkan resiko terhadap anaknya tersebut. Demikianlah perlakuan tokoh Suto Sori terhadap Anggun nan Tongga dielu-elukan yang berhasil membawa mamak-mamaknya pulang dari rantau. Sebaliknya Anggun nan Tongga dicaci-maki dan diusir di saat pulang dari gelanggang keramaian dengan membawa malu ke rumah. Begitu juga dengan Bundo Kanduang terhadap Cindua Mato yang melarikan Puti Bungsu dengan menunggang kuda dari Sungai Ngiang ke Pagaruyuang.
[newpage]
Dari penjelasan di atas maka terlihatlah bahwa keinginan ibu agar anaknya menjadi orang yang terkemuka dalam masyarakat. Ibu tidak menginginkan anaknya kalah dari anak orang lain Kekurangan seseorang dari orang lain merupakan malu ibu daripada malu anaknya sendiri. Oleh sebab itu, seorang ibu akan berupaya sewewenang dan sekemampuan yang dimilikinya, mulai dari cara yang demokratis sampai kepada cara yang otokratis.
Berdasarkan uraian di atas maka dapat disimpulkan bahwa ayah hanyalah pelengkap kehidupan rumah tangga, sedangkan pemegang peran utama adalah ibu. Ayah hanyalah simbol bagi ibu bahwa anaknya ada mempunyai ayang yang syah, sehingga ayah tidak berfungsi sebagaimana lazimnya orang tua bagi anaknya seperti saat ini. Maka dalam kaba wanita terutama yang berperan sebagai ibu menjadi tokoh sentral yang mempunyai idealisme, mandiri, penuh tanggung jawab, dan mempunyai sifat kepemimpinan, walaupun kadangkala terkesan ambisius dan sadis. Sebalikya laki-laki yang berperan sebagai ayah tergambar sebagai tokoh yang tidak punya inisiatif, lemah, dan tidak peduli dengan kehidupan keluarganya. Tokoh perempuan mempunyai rasa sosial, toleran dan bersifat dinamis walau hanya kepada anggota keluarganya, sedangkan laki-laki merupakan tokoh yang tersisih dan lebih bersifat statis di dalam keluarganya. Wanita merupakan tokoh yang tegar, mandiri, aktif, dan dinamis di lingkungan keluarganya, sebaliknya laki-laki merupakan tokoh yang lemah, pasif, statis, dan hidup di bawah- bayang-bayang wanita.

[newpage]
Penokohan wanita sebagai anak
Usaha mengenali tokoh wanita sebagai anak baru terlihat nyata jika dibandingkn pula dengan laki-laki sebagai anak tentang sikap dan perilakunya di saat berhadapan dengan ibu dan ayahnya. Sebagaimana dikemukakan sebelumnya bahwa orang tua yang dekat dengan anaknya adalah ibu, baik terhadap anak wanita maupun terhadap anak laki-laki. Sehingga anak berada dalm pengaruh dan kendali ibunya, dan secara psikis anak tidak terkait dengan ayahnya.
Persamaan antara anak wanita dengan anak laki-laki adalah sama-sama takluk dan menghamba pada ibunya. Konflik antara anak dengan ibu jarang terjadi, sebaliknya konflik antara anak dengan ayahnya sering terjadi. Tokoh Puti Bungsu berani menyalahkan perilaku ayahnya Rajo Mudo yang semula menjodohkan Puti Bungsu dengan Dang Tuanku kemudian merencanakan mengawinkan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo. Puti Bungsu rela lari dengan Cindua Mato saat akad nikah akan dilangsungkan.
Perbedaan antara tokoh wanita dengan laki-laki sebagai anak adalah jika anak wanita tidak berani sedikitpun membantah ibunya, maka anak laki-laki akan melakukan
bantahan walaupun ia akan gagal. Anak laki-laki akan berusaha membela diri dengan kebenaran yang diyakininya. Sedangkan anak wnita hanya menerima salah dan pasrah terhadap ibunya. Perbandingan yang menyolok dalam hal ini adalah Siti Darma menerima pasrah keingan ibunya Siti Jamilah yang hendak membunuh dirinya. Sebaliknya Asamsudin berusaha membantah dan menghindar terhadap kemauan Siti Jamilah yang hendak membunuh dirinya.
Dalam novel perbedaan prilaku anak laki-laki dan wanita ini juga menunjukan hal yang sama dengan prilaku dalam kaba. Tokoh Hayati ( TKW ) dan Rafiah ( SA ) tidak berani membantah keinginan ibu mereka yang memaksa kawin dengan pemuda yang tidak dicintai mereka tokoh Aziz ( TKW ) dan tokoh Anafi berusaha dulu membantah keinginan ibunya yang memaksa kawin dengan tokoh Rafiah wanita yang tidak disukainya walaupun pada akhirnya ia gagal juga menetang kehendak ibunya ( SA ).
Perbedaan sikap dan prilaku tokoh wanita sebagai anak dengan sikap dan prilaku tokoh laki-laki dapat disimpulkan bahwa tokoh wanita akan sangat setia, patuh dan pasrah terhadap kehendak ibunya, sebaliknya tokoh laki-laki akan bersikap korek dan mengalah kepada ibunya. Akan tetapi jika berhadapan dengan ayah, tidak ada perbedaan antara tokoh wanita dengan tokoh laki-laki, keduanya sama-sama bebas dan leluasa terhadap ayah mereka. Kenyataan ini baik pada kaba maupun pada novel. Kemerdekaan anak itu terlihat juga pada dasarnya dalam diri tokoh Siti Nurbaya ( SN ).Andam Sutan, Santan Batapih ( ANT ). Perbedaan ini muncul karena tokoh wanita dalam kepatuhannya terhadap ibunya berdasarkan semata-mata dengan perasaan. Sedangkan tokoh laki-laki kepatuhan terhadap ibunya didasarkan pikiran dan perasaan. Pikiran menyebabkan ia mencoba membantah, sedangkan perasaanya mengakibakan ia mengalah. Sementara itu jika ia berhubungan dengan ayah tidak ada ikatan emosional yang bersumber dari perasaan. Hubungan dengan ayah semata-mata berdasarkan pertimbang rasional.
[newpage]
Sebagai dikemukakan pada bagian terdahulu bahwa ibu adalah penguasa rumah tangga. Sesuai dengan fitrahnya yang terbatas secara pisik, maka ia membagi tugas kepada anak-anaknya dalam arti anak adalah pelaksana kemaun ibu. Anak merupakan perpanjangan tangan dari ibunya, baik anak wanita maupun anak laki-laki. Perbedaan pembagian tugas antara wanita dan laki-laki adalah jika anak wanita pelaksana dalam lingkungan rumah tangga, maka anak laki-laki merupakan pelaksana keingan ibu di luar ramah gadang . Berdasarkan peran anak maka terlihat dalam kaba bahwa tokoh wanita merupakan pelaksana kesemarakan keluarga di mata orang lain, sedangkan tokoh laki-laki sebagai benteng keluarga dari ancaman orang lain. Prilaku anak baik laki-laki maupun perempuan adalah untuk mengokohkan eksistensi ibu sebagai penguasa rumah tangga .
Pembagian tugas antara anak laki-laki dan wanita yang dibiasakan ibunya sejak kecil ini akan berpengaruh terhadap sikap dan perilaku mereka dalam peran-peran lainnya. Seperti anak wanita satu saat akan menjelma sebagai ibu atau istri yang berkuasa dalam keluarganya, sementara anak laki-laki akan tetap sebagai orang yang asing dalam lingkungan rumah sungguhpun ia telah menjadi suami dan ayah nantinya. Dasar ini menyebabkan berlangsungnya budaya merantau bagi anak laki-laki tetapi tetap terikat dengan ibunya dan dalam perwujutan lebih luas terikat kepada kampung halamannya.
Tokoh wanita menguasai rumah sepenuhnya sementara pengarunya di luar rumah tersalurkan melalui anak atau saudara laki-lakinya. Sebaliknya tokoh laki-laki menguasai kehidupan di luar rumah namun pengaruhnya tidak ada dalam lingkungan rumah. Keperkasaan tokoh Anggun Nan Tungga di gelanggang keramaian dan negeri orang tidak ada artinya jika berhadapan dengan tokoh Suto Sori (ANT), begitu pula dengan tokoh Cindua Mato yang tidak berdaya di hadapan Bundo Kanduang (CM), tokoh Malin Deman di hadapan Mandeh Rubiah (MD). Dalam kaba tokoh laki-laki berada di bawah bayang-bayang wanita, baik wanita itu ibunya maupun saudara perempuannya bahkan akan terbiasa pula di hadapan istrinya. Agaknya demikian pulalah yang berlangsung terhadap tokoh laki-laki dalam novel seperti tokoh Samsul Bahri, Bagindo Sulaiman dan Datuak Maringgih tidak dapat memaksa keinginannya terhadap tokoh Siti Nurbaya ( SN ) ; tokoh Hanafi terhadap ibunya, Rafiah dan Corrie; tokoh Datuak Batuah terhadap saudaranya Ibu Hanafi ( SA ); tokoh Zainuddin dan Aziz terhadap Hayati (TKW ).

[newpage]
Penokohan Wanita sebagai Saudara
Penokohan wanita dalam peran saudara dapat ditinjau dalam hubungannya dengan sudara wanita, dan dalam hubungannya dengan saudara laki-laki. Penokohan wanita sebagai saudara merupakan duplikat ibu jika ibu tidak ada dalam hal hubungannya dengan saudara laki-lakinya dan adik perempuannya. Sikap, perilaku, dan pandangan tokoh wanita yang identik dengan ibu itu terlihat pada tokoh Puti Ranik Jintan yang menasihati dan memberi pertimbangan terhadap keinginan kakak laki-lakinya Rajo Imbang Jayo yang hendak menuntut balas atas kematian bapaknya Tiang Bungkuk. Begitu juga Puti Bungsu dengan Cindua Mato ketika menggagalkan pesta pernikahan Puti Bungsu dengan Rajo Imbang Jayo (CM). Pada tokoh Ganto Pomai yang memberi tanggung jawab kepada adiknya Suto Sori (ANT).
Dalam novel terdapat pula aaspek penokohan yang sama dalam hubungan persaudaraan ini. Tokoh Datuak Batuah dengan sukarela membantu adiknya Ibu Hanafi menyekolahkan Hanafi, walaupun dikemudian hari Datuak Batuah menagih janji untuk mengawinkan anaknya Rafiah dengan Hanafi. Janji yang sulit untuk ditepati oleh Ibu Hanafi tidak membuatnya menentang tetapi hanya meninggalkan adknya dengan merajuk (SA). Hal ini menunjukkan bahwa tidak ada penentangan terbuka dari tokoh laki-laki terhadap saudara perempuannya. Dengan demikian kecenderungan tokoh wanita sebagai saudara akan identik sikap, watak, dan perilakunya dengan tokoh wanita sebagai ibu, baik dalam kaba maupun dalam novel.
Perbedaan penokohan wanita sebagai ibu dengan saudara adalah tingkat kesetiaan, ketoleranan tokoh laki-laki terhadap dirinya. Tokoh laki-laki sebagai anak akan lebih sukarela membantu ibunya dalam situasi diminta ataupun tidak. Akan tetapi, tooh laki-laki sebagai saudara baru akan memberikan bantuan saudara perempuannya jika itu telah diminta. Sebaliknya tokoh wanita sebagai saudara baru akan memotivasi, mengarahkan, ataupun membantu saudara laki-lakinya jika suatu masalah telah menyinggung martabatnya. Demikianlah yang terlihat pada tokoh Suto Sori yang baru memerintahkan anaknya Anggun nan Tongga untuk mencari dan menyelamatkan saudaranya Mangkudum Sati, Nangkodo Rajo, dan Katik Intan, setelah nasib ketiga saudaranya telah diketahui masyarakat banyak. Padahal sebelum itu ia tidak ada terniat dan berfikir untuk mencari ketiga saudaranya itu (ANT).

[newpage]
Penokohan Wanita sebagai Istri
Penokohan wanita sebagai istri cenderung egois karena pada hakikatnya laki-laki sebagai suami tidak diperlukan oleh wanita. Dalam kaba maupun novel terlihat bahwa tokoh wanita banyak hidup sendiri setelah mendapatkan anak dari suaminya. Misalnya tokoh Ameh Manah tidak mempedulikan nasib suaminya Nangkodo Rajo, ia merasa puas hidup berdua dengan anaknya Gondoriah; tokkoh Galinggang Layua tidak mempermasalahkan suaminya yang bertapa dan tidak pulang-pulang, ia pun puas hidup bersama anaknya Katik Alamsudin; tokoh Andami Sutan membiarkan suaminya Anggun nan Tongga pulang kampung meninggalkan dirinya karena ia telah mendapatkan anak Mandugo Ombak. Bahkan tokoh Suto Sori tidak merasa perlu untuk bersuami karena ia telah mendapatkan Anggun nan Tongga anak dari peninggalan kakak perempuannya Ganto Pomai (ANT).
Demikian pula dengan tokoh-tokoh wanita dalam novel, seperti Ibu Hanafi yang tidak mengeluhkan ketiadaan suami dalam hal mendidik dan membesarkan anaknya Hanafi; tokon Rafiah tidak perlu menghiraukan kepergian Hanafi dan bertekad sepenuhnya untuk mendidik dan membesarkan anaknya Syafei tanpa suami (SA); dan tokoh Hayati yang berusaha mencari dan merayu Zainuddin (TKW).
Tokoh wanita hanya memerlukan laki-laki sebelum ia mendapatkan anak. Untuk maksud itu adakalanya tokoh wanita bertindak di luar batas-batas norma, misalnya bersedia merebut suami orang yang dianggap terpandang sebagaimana Puti Lenggogeni yang mau saja dikawinkan dengan Cindua Mato meskipun Cindua Mato sudah beristri. Dalam novel tokoh Corrie yang terpelajar masih bersedia menerima Hanafi yang secara formal masih suami Rafiah (SA). Agaknya ini pulalah penyebab tokoh Siti Nurbaya (SN) dan Hayati (TKW) tetap berusaha mencari laki-laki bekas kekasihnya karena belum mendapatkan anak dari suami sebelumnya.
Dengan demikian tokoh wanita dalam kaba dan novel perode Balai Pustaka secara psikologis adalah laki-laki. Hanya secara fisiologis ia tetap wanita. Wanita tidak memerlukan laki-laki sebagai tempat berlindung untuk kebutuhan hidupnya. Tokoh wanita mampu berdiri di atas kemampuan dan kenyataan hidupnya sendiri. Ia tidak akan mengemis untuk mendapatkan harta kekayaan, karena ia memang telah menguasainya. Jika ia berkekurangan ia hanya akan memanfaatkan anak dan saudara laki-lakinya.

[newpage]
Kesimpulan
Dari penjelasan di atas maka dapatlah dipetik kesimpulan tentang penokohan wanita, baik dalam perbandingannya dengan penokohan laki-laki maupun gambaran penokohan wanita itu sendiri.
1) Penokohan wanita dalam kaba dan novel periode Balai Pustaka terpusat pada perannya sebagai ibu. Sehingga sikap dan perilaku wanita dalam berbagai peran –anak, saudara, istri- identik dengan kedudukan dan fungsi ibu.
2) Penokohan laki-laki dalam kaba dan novel periode Balai Pustaka terpusat pada perannya sebagai anak. Sikap dan perilaku laki-laki dalam berbagai peran –saudara, suami, istri- identik dengan kedudukan dan fungsi sebagai anak.
3) Secara fungsional hubungan antar peran yang melibatkan antara tokoh wanita dan laki-laki akan identik sebagaimana hubungan ibu dan anak. Tokoh wanita selalu berada dalam posisi “di atas angin” baik dalam hubungan suami-istri maupun persaudaraan.
4) Tokoh wanita menunjukkan ciri idealis, pengendali, pendidik, kreatif, dinamis, aktif, penguasa, tegar, pantang kalah dan juga ambisius terhadap anggota keluarganya. Sedangkan tokoh laki-laki memperlihatkan ciri-ciri pasif, statis, pasrah, suka mengalah, lemah, dan lugu terhadap anggota keluarganya. Laki-laki baru bersifat dan berprilaku positif setelah ia berhadapan dengan orang lain.
5) Perkembangan kaba dan novel yang ditulis oleh pengarang-pengarang etnis Minangkabau sebenarnya tidak mencerminkan emansipasi wanita, melainkan pergelutan tokoh laki-laki dalam usahanya melepaskan diri dari cengkraman wanita.

Daftar Pustaka

Asri, Yasnur. 1996. Orientasi Nilai Budaya Tokoh Wanita Dalam Novel Indonesia. Jakarta: Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Endah, Syamsuddin St. R. 1982. Cindua Mato. Bukittingi: Pustaka Indonesia
Hamka. 1982. Tenggelamnya Kapal van der Wijck. Jakarta: Balai Pustaka
Hermawan. 1998. “Profil Wanita dalam Kaba: Suatu Tinjauan Sosiolgi Sastra”. Tesis S2 Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
Mahkota, Ambas. 1982. Anggun nan Tungga. Bukittinggi: Pustaka Indonesia
Manggis, Rasyid. 1984. Malin Deman. Bukittinggi: Pustaka Indonesia.
Muhardi. 1998. “Dari Kaba ke Novel”. dalam Mursal Esten (ed). Menjelang Teori dan Kritik Susastra Indonesia yang Relevan. Bandung: Angkasa.
---------- Dan Hassnuddin WS. 1990. Prosedur Analisis Fiksi. Padang: FPBS IKIP Padang
Muis, Abdul. 1988. Salah Asuhan. Jakarta: Balai Pustaka
Rusli, Marah. 1987. Siti Nurbaya. Jakarta: Balai Pustaka