Orasi Ilmiah Dies Natalis ke-36: Basuo sebagai Basis Kebertahanan Ruang Ekonomi Tradisional Pakan Akad Payakumbuh
Jum'at, 21 April 2017
Berkaca pada kota-kota kita sekarang, pasar telah berubah menjadi ruang yang terfragmentasi. Dinding-dinding pasar sudah bersimplikasi menjadi bangunan ‘asing’ yang identik dengan penghawaan dingin. Pasar tidak lagi mengedepankan egalitarian tetapi sudah terbagi berdasarkan status dan strata sosial. Satu hal yang bisa kita yakini bahwa dengan tergerusnya pasar maka salah satu entitas kota sudah bisa dipastikan juga akan ikut hilang bersamanya.
Demikan disampikan Dr. Al Busyra Fuadi, ST, M.Sc dosen jurusan Teknik Arsitektur Fakultas Teknik Sipil dan Perencanaan Universitas Bung Hatta saat menyampaikan materi orasi ilmiah yang berjudul Basuo sebagai Basis Kebertahanan Ruang Ekonomi Tradisional Pakan Akad Payakumbuh pada rapat terbuka perayaan Dies Natalis ke-36 yang bertempat di Aula Balairung Caraka Gedung B Kampus Proklamator I Universitas Bung Hatta, Kamis (20/04/2017).
ia menyampaikan bagi masyarakat Minangkabau, pakan dalam suatu nagari tidak saja dimaknai sebagai ruang tempat berlangsungnya kegiatan ekonomi tradisional semata. Lebih dari itu, pakan adalah ruang tempat hidup, ruang tempat berkumpul, wadah bagi ide dikontekskan, cerminan budaya hidup serta wujud ketahanan ekonomi masyarakat Minangkabau.
Menilik lebih jauh ke dalam nagari-nagari kita kini, ketika pakan sudah semakin terpinggirkan, ketika pasar sudah beralih menjadi mall dan pusat perbelanjaan, bisa diperkirakan yang terjadi berikutnya adalah kampuang rang Minang akan menjadi semakin miskin. Surplus pertanian akan disedot habis oleh pemodal besar dan nagari akan mulai dipenuhi oleh sektor konsumtif yang berakibat semakin hanyutnya kekayaan nagari.
"Kita sudah terjebak dalam istilah yang mengatasnamakan dirinya modernisasi. Pakan yang merupakan salah satu kekayaan kita juga tidak luput dari sepak terjangannya. Mall dan pusat perbelanjaan modern merupakan dua dari sekian wujud yang secara kasat mata sudah mulai menggerogoti dinding lokalitas nagari," sebutnya pria kelahiran Payakumbuh, 16 Januari 1981 ini.
"Kini, ketika mall dan pusat perbelanjaan modern sudah dijadikan sebagai barometer kemajuan kota, maka keberadaannya pun adalah juga merupakan indikasi suatu kota apakah sudah bisa dikategorikan sebagai kota yang maju atau tidak," tambahnya.
Dalam hal ini, Kota Payakumbuh tidaklah sendirian. Tetapi secara sederhana dia merupakan salah satu bentuk nyata ketika kota tidak mampu lagi mempertahankan diri (lokalitas) di tengah tuntutan untuk berkembang. Tidak terhitung jumlahnya, pakan yang secara paksa telah mulai disandingkan dengan pusat perbelanjaan baru atau pasar yang dengan segala keterbatasannya mencoba bertahan ditengah-tengah megahnya pusat perbelanjaan modern.
"Nagari kita sudah tergadai (kini). Tergadai dalam artian yang tidak saja lahannya tetapi juga harga dirinya. Hilangnya pakan, serta merta juga akan menggerus habis nilai-nilai lokalitas dan kebanggan diri dari urang Minang atau dalam konteks ini pakan sudah pula menjadi hilang arti," ungkapnya.
Al menyimpulkan sistem pakan yang terdapat di nagari kita masih relevan hingga sekarang. Hal ini dibuktikan dengan masih bertahannya pakan Akad di kota Payakumbuh di tengah suburnya pusat perbelanjaan modern hingga mall yang tumbuh subur di sekitarnya.
Pakan tidak pernah sepi dari pengunjungnya, karena (seperti hasil dalam kajian ini) pakan tidak saja bermakna ekonomi bagi masyarakatnya, tetapi pakan sebagai tampek iduik, tampek mancari dunsanak serta ruang untuk pencapaian akan ridho Allah merupakan hal yang paling diinginkan dibalik semua aktivitas ekonomi tersebut.
"Pakan adalah identitas, khususnya pakan Akad merupakan identitas urang Luak Limo Puluah. Hingga sekarang, semangat kebanggaan masyarakat nagari masih kental kita temui di sana. Terpinggirkannya secara fisik, ternyata tidak serta merta menyebabkan hilangnya kerinduan mereka untuk datang dan meramaikan alek nagari yang berlangsung setiap hari Minggu (Akad) tersebut," imbuhnya lulusan doktoral Universitas Gadjah Mada tahun 2015 ini.
Hal ini yang seharusnya juga menjadi perhatian utama bagi pusat perbelanjaan modern dan mall yang begitu marak di kota (nagari) kita akhir-akhir ini. Fisik yang megah, ternyata bukanlah sebuah alasan besar bagi masyarakat untuk datang dan berbelanja di sana. Tetapi ada sebuah nilai yang tidak mereka (pusat perbelanjaan modern dan mall) miliki, yang telah menyebabkan ruang mereka terasa sangat kaku bahkan keras.
"Dan nilai itu adalah Basuo. Basuo yang dalam kajian ini merupakan makna tertinggi dari pakan, khususnya di Payakumbuh. Semua akan terjawab, ketika basuo merupakan keteranyaman dari semua aktivitas, keinginan dan nilai yang selalu mereka pegang teguh di sana," tutupnya. (**Ubay-Humas UBH)