Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Resma Bintani Gustaliza, S.H., M.H., Dosen FH UBH , Diundang sebagai Narasumber di RRI Padang
Kamis, 21 Februari 2019 Informasi Kampus

Resma Bintani Gustaliza, S.H., M.H., Dosen FH UBH , Diundang sebagai Narasumber di RRI Padang

"Keterwakilan Perempuan di Legislatif. Bisakah Mencapai Kuota?" Demikiam judul yang diusung dalam diskusi interaktif di RRI Pro 1 dengan narasumber Resma Bintani Gustaliza, S.H.,M.H (dosen FH UBH), Hj. Daslinar (Wakil Ketua P2TP2A), dan Yayuk Sri Mulyani (KPU Sumatera Barat) beberapa waktu lalu (11/2/19).

Dijelaskan oleh Resma bahwa legitimasi keterwakilan perempuan di legislatif pada pemilu 2019 diatur dalam UU No.7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum yang mensyaratkan kepada partai politik peserta pemilu dalam mengajukan daftar calon tetap anggota legislatif harus menyertakan paling sedikit 30 % keterwakilan perempuan untuk DPR RI, DPRD Provinsi, dan DPRD Kab/Kota.

"Keterwakilan perempuan di lembaga legislatif tidak hanya penting dari aspek kesetaraan antara laki-laki dan perempuan. Namun, lebih dari itu diharapkan kehadiran anggota legislatif perempuan bisa menjamin isu perempuan dan anak menjadi salah satu prioritas kebijakan.

Bercermin pada 3 pelaksanaan pemilihan umum sebelumnya yaitu pemilihan umum tahun 2004, 2009 dan 2014 keterwakilan perempuan yang pada saat pencalonan paling sedikit 30% terpenuhi tidak berbanding lurus dengan hasil pemilu yang masih sedikit menghasilkan anggota legislatif perempuan. Pada pemilu 2004 misalnya jumlah anggota legislatif perempuan hasil pemilu hanya 11 % di DPR RI. Sementara itu pada pemilu 2009, walaupun daftar calon anggota legislatif perempuan 33%, namun yang terpilih hanya 18 % dari 560 anggota DPR. Pada pemilu 2014 pun jumlah anggota legislatif perempuan hasil pemilu mengalami penurunan menjadi 17% walaupun jumlah calon anggota legislatif perempuan melebihi persyaratan yaitu 37%,"imbuhnya.

Adanya ketimpangan antara pada saat pencalonan dan hasil pemilihan yang berbanding terbalik tersebut utk keterwakilan perempuan di legislatif disebabkan oleh beberapa faktor. Pertama, budaya patriaki yang sangat kental yang masih memberikan stigma bahwa ranah politik bukanlah ranah perempuan sehingga laki-laki masih mendominasi. Kedua, sistem rekrutmen calon anggota legislatif oleh parpol yang lebih memilih untuk merekrut perempuan yang populer, walaupun pengetahuan dan pengalaman berorganisasi masih minim daripada memprioritaskan kader partai utk dicalonkan guna mendongkrak popularitas parpol. Ketiga, biaya politik yang tinggi. (Rio)