Detail Artikel

Sabtu, 24 September 2005

Gila Gelar, Gelar Gila
Ditengah kondisi pendidikan nasional yang carut marut, belakangan media masa marak memberitakan soal gelar instan yang diobral oleh lembaga Institut Manajemen Global Indonesia (IMGI). Konon, sejak tahun 1997 hingga Mei 2004 IMGI telah memberikan gelar mulai dari sarjana, magister, doktor bahkan profesor kepada 9.273 orang (Kompas, 25/8/2005). Maraknya jual beli gelar palsu menarik dikomentari karena ia berhubungan dengan aspek hukum dan kultural. Karena itu baik lembaga penjual gelar maupun pengguna gelar harus ditertibkan karena melanggar ketentuan UU No 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional. Selain itu, pengguna gelar telah melecehkan proses pembelajaran dan bahayanya berikutnya adalah bila cara mendapatkan gelar palsu ini ditiru oleh generasi muda, sehingga timbul anggapan bahwa tanpa belajarpun ia dapat gelar akademik.

Untuk mendapatkan gelar ‘gila’ dari lembaga pimpinan Luke Comey (warga AS), peminat hanya cukup membayar sejumlah uang, yakni Rp. 10 juta untuk gelar S1, Rp. 15 juta untuk gelar S2 dan Rp. 20 - 25 juta untuk gelar S3. Setelah itu Anda dapat ikut wisuda untuk mendapatkan selembar ‘ijazah’. Anehnya penerima gelar instan ini berasal dari beragam profesi, mulai dari mantan pejabat negara, politisi, artis, tokoh masyarakat hingga paranormal. Mereka seharusnya menghormati proses pembelajaran. Meskipun tidak memiliki tranksrip nilai, karena memang tidak ada proses perkuliahan, peminat langsung dapat diwisuda. Sebenarnya sertifikat yang mereka terima tidak dapat disebut ijazah, karena menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, ijazah itu adalah surat bukti tamat belajar dari suatu program pendidikan.

Artikel ini menguraikan serangkaian tahap perkuliahan yang harus diikuti seorang mahasiswa program S3 sebelum ia dinyatakan berhak memperoleh gelar doktor. Hal ini merupakan pengalaman penulis dalam mengikuti program S3 pada program studi ilmu ternak, dengan peminatan utama bidang genetika dan pemuliaan ternak di Sekolah Pascasarjana Institut Pertanian Bogor. Alhamdulillah, penulis dapat merampungkan program doktor pada bulan Agustus 2004, saat penulis berumur 34 tahun.

[newpage]
[u]Profesi Pengajar[/u]

Menurut Andi Hakim Nasution (2002) kata doktor berasal dari kata ‘docterum’ yang berarti guru, sedangkan istilah magister berasal dari kata ‘magister’ yang berarti guru. Istilah doktor dan magister mulanya dikenal di Prancis pada pertengahan abad ke-12. Pada abad 13 kota Bologna menjadi pusat kajian hukum sipil dan hukum gereja. Guru-gurunya disebut doktor. Saat itu, kota Paris dikenal menonjol sebagai pusat kajian kiat dan guru-gurunya disebut magister. Sedangkan profesor merupakan gelar jabatan fungsional seorang guru besar yang mengajar di perguruan tinggi.

Gelar guru besar merupakan bentuk pengakuan terhadap seorang ilmuwan yang memiliki penguasaan keilmuan tertentu. Gelar guru besar hanya dapat diberikan oleh universitas, institut atau sekolah tinggi (Pasal 23 ayat (1) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas). Gelar guru besar hanya boleh dipakai sepanjang yang bersangkutan aktif bekerja sebagai pendidik di perguruan tinggi (Pasal 23 ayat (2) UU No 20/2003 tentang Sisdiknas).

Jadi, gelar magister, doktor dan profesor sejatinya hanya tepat digunakan oleh seorang guru (pengajar). Namun sekarang, orang berebut menjadi magister, doktor bahkan profesor dengan cara instan, lewat jual beli gelar akademik, tetapi mereka tidak mampu mengajar di perguruan tinggi. Karena tergila-gila pada gelar akademik, maka marak pula lembaga penjual gelar ‘gila’.

[u]Butuh Proses Belajar[/u]

Program Magister Sains biasanya berlangsung selama 4 semester (2 tahun) dan harus mengumpulkan 39-50 SKS setelah pendidikan sarjana. Disamping kegiatan perkuliahan, mahasiswa juga harus melaksanakan penelitian untuk menulis tesis. Setelah lulus ujian akhir, seseorang dinyatakan berhak menyandang gelar Magister Sains (MSi). Selama program MS mahasiswa dibimbing oleh 2-3 orang dosen pembimbing yang bertugas membantunya dalam merencanakan perkuliahan, penelitian, pelaksanaan penelitian dan penulisan tesis.

Doktor merupakan gelar akademik yang diberikan kepada seseorang lulusan program pendidikan doktor (S3) dari universitas, institut atau sekolah tinggi formal yang menyelenggarakan program pendidikan S3. Gelar doktor adalah gelar akademik tertinggi yang dapat diberikan pendidikan tinggi formal.

Pada umumnya pendidikan doktor dapat diikuti setelah menyelesaikan pendidikan Magister Sains. Program S3 memiliki bobot minimal 40 SKS di atas program MS, termasuk penelitian dan disertasi. Gelar doktor diberikan setelah ia berhasil memenuhi persyaratan kuliah (minimal 26 SKS), lulus ujian prakualifikasi (preliminary), penelitian, penulisan disertasi, seminar hasil serta berhasil mempertahankan disertasi dalam ujian tertutup dan ujian terbuka di depan sidang penguji program doktor di universitas atau institut.

Ujian prakualifikasi dimaksudkan untuk menjamin penguasaan ilmu minimal sebelum melakukan penelitian. Ujian prakualifikasi bertujuan untuk menjamin penguasaan metodologi penelitian dibidang ilmunya, penguasaan materi bidang ilmu, kemampuan penalaran, kemampuan mengadakan abstraksi dan ekstrapolasi, dan kemampuan sistematis dan perumusan hasil penelitian.

Pengalaman penulis mengikuti ujian prakualifikasi di IPB, kita bagaikan duduk sebagai “pesakitan”, diberondong dengan pertanyaan oleh tim penguji yang terdiri dari tiga orang guru besar senior di IPB. Bila tidak mampu menjawab pertanyaan dengan baik, penguji enteng saja menyeletuk, “itu saja Anda tidak bisa menjawab”. Suasana tersebut kadang membuat merah telinga. Setelah lulus ujian prelim yang berlangsung selama 3 jam, maka penulis dinyatakan sebagai kandidat doktor dan dapat melanjutkan pendidikan S3 dan melakukan penelitian. Bila nasib kurang beruntung, biasanya seseorang diberikan kesempatan mengikuti ujian prakualifikasi kedua. Bila pada ujian kedua juga tidak lulus, maka studi S3 dinyatakan selesai alias drop out (DO).

[newpage]
Berikutnya mahasiswa harus melakukan penelitian yang melelahkan, membutuhkan banyak biaya, waktu dan tenaga. Kondisi ini kadang-kadang juga membuat stres. Setelah berkonsultasi dengan para dosen pembimbing, maka penulis diizinkan melaksanakan seminar hasil, ujian tertutup dan ujian terbuka. Pada ujian tertutup, untuk kedua kalinya penulis bagaikan duduk di “kursi panas” menghadapi pertanyaan kritis dari tim penguji atas disertasi yang disusun. Tidak jarang pertanyaan yang diajukan membuat telinga merah. Hasilnya adalah lulus.

Setelah lulus ujian tertutup, penulis bersiap-siap mengikuti ujian akhir studi doktor. Di IPB ujian akhir disebut ujian terbuka yang diselenggarakan oleh senat IPB yang dipimpin oleh rektor atau pejabat yang mewakilinya. Disebut ujian terbuka karena sifat ujian ini terbuka untuk umum dan boleh dihadiri oleh siapapun yang berminat dengan penelitian sang kandidat. Pada kesempatan ini biasanya hadir keluarga dekat, sanak famili, teman-teman dan hadirin yang berminat. Ujian terbuka dapat pula disebut sebagai upacara pengukuhan gelar doktor.

Tim penguji ujian terbuka terdiri dari dosen pembimbing, penguji luar komisi, penguji dari program studi dan pakar lain sebidang anggota senat institut yang bergelar doktor. Saat inilah untuk ketiga kalinya penulis bagaikan duduk sebagai “pesakitan”. Duh betapa malunya bila tidak mampu menjawab pertanyaan penguji dengan baik. Penilaian disertasi didasarkan pada orisinalitas (keaslian) dan sumbangannya terhadap bidang ilmu, kecanggihan metodologi dan pendekatan penelitian, kedalaman penalaran dan penguasaan dasar teori, kecanggihan dan sistematika pemikiran serta kecermatan perumusan masalah, batasan penelitian dan kesimpulan.

Bila dinyatakan lulus, maka pada akhir sidang terbuka institut, pimpinan sidang menyatakan “Setelah mempertimbangkan masukan dari tim penguji maka saudara dinyatakan telah lulus program studi doktor. Gelar doktor adalah gelar akademik tertinggi yang diberikan pendidikan tinggi formal”. Sejak itulah penulis berhak mencantumkan gelar Dr. didepan nama. Sejak itu pula terbayar sudah perjuangan panjang nan melelahkan meraih gelar doktor. Sejak itu pula penulis menyadari tidak mudah meraih gelar doktor, paling tidak, tak semudah mendapat gelar ‘doktor instan’ yang belakangan terkuak di media masa.

Disamping gelar doktor melalui pendidikan S3 formal, sebuah universitas, institut atau sekolah tinggi dapat memberikan gelar doktor honoris causa (disingkat Dr. Hc) kepada seseorang yang dipandang memiliki kompetensi keilmuan yang tinggi dalam bidang yang digelutinya. Di dalam Pasal 20 UU No 20 tahun 2003 tentang Sisdiknas disebutkan bahwa: “Universitas, institut dan sekolah tinggi yang memiliki program pendidikan doktor berhak memberikan gelar doktor kehormatan (doktor honoris causa) kepada setiap individu yang layak memperoleh penghargaan berkenaan dengan jasa-jasanya yang luar biasa dalam bidang ilmu pengetahuan dan teknologi, kemasyarakatan, kebudayaan dan seni. Sebagai contoh dapat disebutkan beberapa tokoh nasional yang pernah menerima gelar Dr. Hc, misalnya Bapak Tarmizi Taher (dari UIN Jakarta), Taufik Ismail (dari UNY Yogyakarta) dan Siswono Yuduhusodo (dari UNJ Jakarta).

[u]Catatan Akhir[/u]

Agar program jual beli gelar akademik tidak makin meluas kita berharap kepada aparat kepolisian untuk menertibkan penggunaan gelar instan ini. Hukuman yang setimpal harus diberikan pada pengguna gelar ilegal dan lembaga penyelenggaranya, sebagaimana dinyatakan di dalam pasal 67 sampai 69 UU No 20/2003 tentang Sisdiknas. Semoga.



Penulis adalah alumnus S1-S2 (Unand) dan S3 (IPB)