Senin, 20 Februari 2006
BLT, Malnutrisi dan Family Poultry
BLT, Gizi Buruk dan “Famili Poultry”Oleh: Dr. Rusfidra, S.Pt
(Pemerhati peternakan, alumnus S3 IPB)
“Negara yang kaya dengan ternak, tidak akan pernah miskin. Negara yang miskin dengan ternak, tidak akan pernah kaya”
(Campbell dan Lasley, 1985).
Masalah kemiskinan dan pengangguran merupakan dua persoalan besar bangsa Indonesia yang belum ditemukan solusinya secara tepat, sistematis dan berkelanjutan. Kemiskinan menyebabkan orang memiliki akses yang rendah pada sumber pekerjaan yang berpenghasilan layak, keterbatasan pada sumber pengetahuan dan keterampilan.
Dampak berikutnya adalah sulitnya mereka memenuhi kecukupan pangan bergizi yang dibutuhkan untuk hidup sehat dan produktif. Saat ini diperkirakan sekitar 62 juta (15,5 juta keluarga) tergolong keluarga miskin. Sekitar 1,67 juta anak umur bawah lima tahun (balita) menderita gizi buruk (malnutrisi). Persoalan ini seharusnya menjadi fokus utama perhatian pemerintah, bukannya larut dalam eforia demokrasi yang tak berujung.
Dalam kondisi banyaknya warga yang dibelit rantai kemiskinan, pengambil kebijakan seharusnya dapat merumuskan program yang solutif dan cerdas, sehingga jumlah penduduk miskin dan penderita malnutrisi dapat dicegah. Namun sayangnya, program pengentasan kemiskinan yang ditawarkan pemerintah masih sangat superfisial, berjangka pendek, instan dan belum menyentuh akar penyebab kemiskinan.
Belum lama, pemerintah meluncurkan program Bantuan Langsung Tunai (BLT) kepada 15,5 juta keluarga miskin, yakni dengan memberikan uang tunai sebesar Rp. 300 ribu per tiga bulan. Melalui media massa kita melihat betapa ironi program BLT, bahkan telah meminta korban jiwa. Yang lebih ironi adalah secara tidak langsung pemerintah mendidik rakyatnya sendiri untuk bergantung pada pemerintah. BLT adalah program yang salah kaprah dan amat keliru.
Di dalam harian Kompas (1/2/2006), Menteri Negara Perencanaan Pembangunan Nasional/Kepala Bappenas Paskah Suzetta menyatakan bahwa program BLT hanya menambah 2,5 juta keluarga miskin baru. Karena itu, program BLT akan diganti dengan program baru yang dapat memberdayakan keluarga miskin agar lebih mandiri dan tidak bergantung pada bantuan pemerintah. Agaknya program BLT tidak akan berumur panjang, karena konsepnya keliru.
Pemerintah yang efektif seharusnya memberikan pendidikan kepada warganya untuk bekerja keras. Bukankah sikap “tangan di atas lebih mulya dari tangan di bawah”.
Menurut penulis, program BLT tak obahnya seperti memberikan “ikan”. Sejatinya, seorang pemimpin efektif tidak hanya memberikan “ikan” dan “kail”, namun lebih penting dari itu adalah menunjukkan cara menangkap “ikan” dan cara membuat “kail”, sebagaimana diungkapkan dengan bijak oleh Steven R. Covey : “Jika Anda memberikan seekor ikan kepada seseorang, berarti Anda hanya memberinya makan untuk sehari saja. Akan tetapi, jika Anda memberinya kail, berarti Anda telah memberinya makan sepanjang hidupnya. Ketika Anda mengajarinya cara membuat kail, berarti Anda telah memberinya sebuah kehidupan baru dan bukan hanya makanan”.
Artikel ini dimaksudkan untuk menunjukkan “jalan” bagi pengambil kebijakan dalam upaya mengatasi masalah gizi buruk dan pengentasan kemiskinan. Penulis mengusulkan program “Family Poultry” (FP) sebagai alternatif pengganti BLT untuk mendukung tersedianya sumber protein hewani, sumber pendapatan dan pengentasan kemiskinan di negeri agraris ini.
[newpage]
Tantangan Penyedian Protein Hewani
Berdasarkan proyeksi Bappenas, pada tahun 2025 jumlah penduduk Indonesia diperkirakan 273,7 juta jiwa. Dalam bidang pangan, Indonesia merupakan pasar yang luar biasa besar, namun hingga kini kita masih sangat tergantung pada pangan impor. Untuk produk peternakan, setiap tahun Indonesia mengimpor sapi hidup sebanyak 450 ribu ekor dari Australia, 50 ribu ton daging sapi, 30 ribu ton tepung telur dan 140 ribu ton susu bubuk.
Hal ini merupakan tantangan besar dalam penyediaan bahan pangan hewani sebagai sumber protein. Konsumsi protein hewani penduduk Indonesia masih sangat rendah yakni 4,5 gram/kapita/hari, sementara konsumsi protein hewani masyarakat dunia adalah 26 gram/kapita/hari (Han, 1999).
Merebaknya kasus gizi buruk dan busung lapar pada anak-anak usia balita beberapa waktu lalu disebabkan oleh kurangnya asupan kalori-protein. Masa balita merupakan “periode emas (the golden age)” pertumbuhan anak manusia dimana sel otak sedang berkembang dengan pesat. Dalam periode ini protein hewani sangat dibutuhkan agar otak berkembang optimal, tidak sampai tulalit, (Nadesul, Kompas 9/7/05).
Asupan kalori-protein yang rendah pada anak balita menyebabkan terganggunya pertumbuhan, meningkatnya resiko terkena penyakit, mempengaruhi perkembangan mental, menurunkan performans mereka di sekolah dan menurunkan produktivitas tenaga kerja setelah dewasa. Kasus malnutrisi yang sangat parah pada usia balita dapat menyebabkan bangsa ini mengalami lost generation.
Oleh karena itu, diperlukan program penyediaan sumber protein hewani yang murah, mudah tersedia, dan bergizi tinggi pada tingkat rumahtangga. Dalam konteks ini, program FP” layak ditimbang sebagai sebuah solusi mengatasi malnutrisi, efektif dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan, dan sebagai sumber pendapatan (Rusfidra, 2005).
Produksi “Family Poultry”
Program FP adalah program Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO) yang dikembangkan di negara-negara sub-Sahara Afrika, Asia Tenggara, Asia Selatan dan Amerika Selatan dengan menjadikan ayam kampung sebagai sumber protein hewani dan pendapatan keluarga. Tujuan FP adalah mewujudkan ketahanan pangan pada tingkat rumahtangga dan sebagai sumber uang tunai bagi keluarga miskin dan sangat miskin (absolute poverty).
Olukosi (2005); Rusfidra (2005) menyatakan bahwa FP merupakan sebuah piranti (tool) dalam pengentasan kemiskinan. Program FP sangat populer di Afrika, dimana sekitar 90% rumahtangga memelihara ayam kampung. Sebagai contoh negara Mozambik. Pada tahun 1999, dua diantara tiga orang di Mozambik hidup dalam kondisi kemiskinan absolut dengan penghasilan < 0,25 US dolar/kapita/hari. Ayam merupakan penyumbang utama daging dan telur. Pemeliharaan ayam secara tradisional terbukti berperan penting dalam mengurangi angka kemiskinan dan ketahanan pangan rumahtangga di Mozambik.
Begitu pula Vietnam yang memiliki jumlah penduduk 78 juta jiwa. Mata pencarian utama penduduk adalah bertani (sebesar 80%). Produksi tanaman utama adalah padi. Sub sektor peternakan menyumbang sebesar 27% terhadap sektor pertanian. Sebanyak 75% ayam dipelihara dalam skala rumahtangga dengan sistem ekstensif. Setiap keluarga perdesaan rata-rata memiliki ayam kampung 10-20 ekor.
[newpage]
Program FP di Indonesia
Dengan melihat keberhasilan program FP di beberapa negara berkembang, penulis menduga bahwa program ini layak dikembangkan di Indonesia. Jenis ternak yang akan menjadi basis program FP adalah ayam kampung (Rusfidra, 2005). Pada tahun 1997 terdapat 270,7 juta ekor ayam kampung yang tersebar diseluruh negeri. Daging dan telurnya sangat digemari masyarakat karena bergizi tinggi, gurih, dan memiliki cita rasa digemari konsumen.
Menurut Aini (1990), pemeliharaan 10-15 ekor ayam kampung dapat menyuplai daging dan telur. Untuk kasus Indonesia, penulis menyarankan FP dikembangkan dengan populasi dasar 10 ekor ayam betina dan 1 ekor jantan. Bila setiap induk menghasilkan 50 butir telur/ekor/tahun, maka dalam satu tahun dihasilkan 500 butir telur. Rasio pemanfaatan telur adalah sebagai berikut: 50% telur ditetaskan (250 butir), 30% telur dimakan (150 telur), dan 20% telur dijual (100 butir).
Bila diasumsikan daya tetas 80% maka didapatkan 200 ekor anak ayam umur sehari (DOC, day old chick). Bila angka mortalitas 40% pada ayam umur < 8 minggu dan 16% pada ayam dara (> 8 minggu), maka didapatkan 96 ekor ayam dara. Sebanyak 24 ekor ayam dimakan, 24 ekor dijual, dan 48 ekor dijadikan sebagai induk (breed stock). Ini berarti dalam satu tahun setiap 10 ekor induk akan menghasilkan 48 ekor ayam betina calon induk baru. Jadi total jumlah induk betina adalah 58 ekor, meningkat 5,8 kali dari populasi dasar.
Selain itu, petani akan mendapatkan uang tunai Rp. 670.000, mengkonsumsi 150 butir telur dan 24 ekor ayam pada tahun pertama, dan meningkat 5,8 kali pada tahun berikutnya. Model sistem produksi “Family Poultry” berbasis 10 ekor ayam kampung betina telah diuraikan pada artikel penulis pada rubrik iptek harian Pikiran Rakyat edisi 25/8/2005.
Oleh karena itu, tak mada keraguan bahwa program FP dapat dipertimbangkan sebagai salah satu pengganti BLT. FP terbukti berperan penting dalam pengentasan kemiskinan, menjaga ketahanan pangan hewani dan sumber pendapatan masyarakat miskin. Uang BLT sebanyak Rp. 300 ribu dapat digunakan untuk membeli 12 ekor ayam kampung (10 ayam betina dan 2 ekor ayam jantan) untuk dikembangkan oleh keluarga miskin.
[newpage]
Catatan Akhir
Bila ayam kampung dipelihara dengan baik, maka ayam tersebut akan memainkan peranan penting sebagai sumber protein hewani bergizi tinggi dan sebagai sumber uang tunai bagi rumahtangga miskin, sehingga kasus malnutrisi dapat diatasi secara sistematis dan efektif dalam pengentasan kemiskinan.
Mengingat pentingnya protein hewani asal ternak (daging, susu dan telur) bagi manusia, maka konsumsi produk ternak semestinya dipacu menuju tingkat konsumsi ideal untuk mewujudkan SDM yang cerdas, kreatif, produktif dan sehat. Protein hewani asal ternak memiliki komposisi asam amino yang lengkap dan dibutuhkan tubuh. Semoga.
Dr. Rusfidra, S.Pt
(Penulis adalah pemerhatikan peternakan, alumnus S3 IPB)
Penulis dilahirkan di Nagari Kudu Ganting, Kabupaten Padang Pariaman, Sumatera Barat. Pendidikan Sarjana Peternakan ditamatkan pada Fakultas Peternakan UNAND Padang pada tahun 1994. Padang pada tahun 1997 menyelesaikan Program Magister Sains pada Program Pascasarjana Ilmu Ternak UNAND. Pada tahun 2004 meraih gelar doktor ilmu peternakan dari IPB. Saat ini berkeja sebagai Akademisi di Universitas Terbuka, Jakarta. Penulis aktif menulis artikel ilmiah populer di media massa baik nasional maupun lokal.