Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Rabu, 05 Juli 2006 Kependidikan

Membangun Kampus Unggulan

Sekarang memang sudah berbeda. Hampir semua perguruan tinggi swasta mengalami penurunan jumlah mahasiswa yang cukup signifikan. Beberapa orang beropini bahwa turunnya jumlah mahasiswa baru karena:

  1. Berhasilnya program KB yang gencar dilakukan pada sekitar tahun 85-an sehingga jumlah mahasiswa baru berkurang.

  2. Menurunnya daya beli masyarakat karena krisis ekonomi, tingginya tingkat inflasi tidak berbanding lurus dengan pertumbuhan pendapatan. Pilihan utama konsumen pendidikan akhirnya lebih pendidikan siap saji dan cepat kerja (Diploma, Kursus, dan sejenisnya).

  3. Ekspansi pasar yang dilakukan oleh PTN mengambil banyak target market dari PTS. PTN membuka berbagai jalur dan memperbanyak kelas-kelas tambahan yang ada diluar jalur reguler.

  4. Perubahan pola pikir masyarakat yang menyatakan bahwa pendidikan tinggi tidak menjamin perolehan kerja sehingga banyak sarjana yang menganggur.
Saya tidak dapat memberikan argumen yang sahih, mana dari faktor-faktor diatas yang memang benar punya pengaruh terhadap penurunan jumlah mahasiswa baru. Faktanya adalah bahwa semua PTN dan PTS saat ini mengalami hal yang sama, yaitu menurunnya jumlah mahasiswa baru. Sehingga yang harus diatasi oleh PTS saat ini adalah meningkatkan daya kompetisi untuk dapat merebut market share yang memang sedikit dan terbatas ditengah para kompetitor yang begitu banyak. Untuk meningkatkan daya kompetisi tentu saja kembali lagi mengacu pada strategi marketing yang jitu.

Sebuah strategi marketing yang baik tentu saja tidak bisa diukur dari seberapa besar anggaran yang dikeluarkan untuk melaksanakan fungsi marketing. faktor kompetisi produk, price, place, promotion, dan faktor lainnyya perlu lebih dikaji untuk mendapatkan formula yang optimal dalam menentukan strategi marketing. Pada tulisan ini yang ingin saya sampaikan penekanannya adalah pada faktor produk.

Universitas Bung Hatta sebagai institusi pendidikan misalnya, domain usahanya adalah jasa dengan produk jasa pendidikan. Pengelolaan usaha jasa akan lebih komplek dibandingkan dengan produk usaha produksi barang. Pengukuran kualitas produk pada produksi barang akan lebih mudah diukur misalnya dari rasa untuk produk makanan, kekuatannya untuk barang beton, dan lain sebagainya. Mengukur kualitas produk jasa pendidikan yang paling utama adalah dari lulusan yang dihasilkan. Pemerintah melalui Dikti seringkali memberikan penekanan pada parameter pengukuran kualitas lulusan dalam pelaporan dan proposal hibah bersaing. Padahal pengukuran kualitas lulusan lebih abstrak dan sulit dilakukan (walaupun masih mungkin).

Bayangkan jika lulusan Universitas Bung Hatta banyak dicari oleh perusahaan karena daya kompetensi dalam bidangnya masing-masing. Bayangkan jika lulusan UBH tidak ada yang menganggur karena kemampuan kreatifitasnya yang tinggi dan keberanian dalam kewirausahaan dengan menciptakan pekerjaan bagi diri sendiri.

Bayangkan kalau lulusan UBH dapat mendominasi penerimaan CPNS yang artinya lulusan UBH "diakui" oleh negara karena kualitasnya. Bayangkan bahwa semua orang akan datang untuk belajar di UBH. Semua orang akan bangga menjadi bagian dari komunitas "Orang" UBH. Semua bayangan itu akan menjadi kenyataan dan "The Dream Will Come True" kalau diusahakan dengan sungguh-sungguh, kemauan dan kerja keras, serta dengan perencaan yang baik. Ingat orang Indonesia adalah tipe perencana yang baik tetapi pelaksana yang buruk. Bagaimana dengan kita?

Kembali lagi kepada produk yang ingin kita jual. Setiap perusahaan harus memiliki produk unggulan yang menjadi kekuatan untuk menguasai pasar. Misalnya kita lihat PT. Unilever yang memproduksi consumer good seperti shampo, sabun, detergent, dan sebagainya punya banyak varian produk. Pada kelompok detergent, produk Rinso menjadi market leader sebagai detergent yang paling berkualitas. Walaupun PT. Unilever juga memproduksi detergent merek Surf yang harganya lebih murah tapi diasumsikan memiliki kualitas yang tidak jauh berbeda. Hasilnya adalah bahwa sebuah produk yang berkualitas dapat mengangkat pula image kualitas dari produk lain yang dihasilkan.

Beberapa tahun lalu saya sering mendengar istilah jurusan unggulan atau program studi unggulan. Istilah itu sepertinya sekarang mulai kehilangan gaungnya, karena semua usaha untuk mengimplementasikan konsep unggulan ini tampak absurd dan tak bertuan. Siapa yang berhak untuk menentukan ini unggulan ini tidak. Siapa yang berhak menentukan produk ini sudah unggul atau tidak. Parameter apa yang dipakai untuk membuat sebuah produk menjadi unggulan.

Sebuah produk jasa unggulan pastilah bukan dilihat karena pabriknya yang besar, bukan karena pegawainya yang keren dan gaul, bukan juga karena iklan yang gencar ditampilkan di mass media. Sebuah jurusan unggulan pun pasti bukan karena infrastruktur yang lengkap ataupun dosennya yang sudah profesor semua. Tetapi Jurusan unggulan haruslah karena PROSES PENDIDIKAN yang berkualitas, sehingga menghasilkan alumni yang berkualitas pula.

Memang mahasiswa yang masuk PTS sebagian besar adalah mereka yang tidak lolos filter masuk PTN. Tetapi kita harus bisa membedakan, apakah rendahnya kualitas mahasiswa/alumni kita karena Learning Disabled (Ketidak mampuan belajar) atau justru merupakan Teaching Disabled (Ketidak mampuan mengajar). Jika kemungkinan kedua yang ada, itu berarti harus dilakukan tuneup dan upgrade mesin utama produksi kita yaitu: DOSEN.

Jika UBH sudah banyak memiliki produk unggulan maka pada akhirnya UBH akan menjadi kampus unggulan yang akan dicari banyak orang.