Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Sabtu, 07 Juli 2007 Perikanan

Keberadaan Penyu dan Upaya Pelestariannya di Sumatera Barat

KEBERADAAN PENYU DAN UPAYA PELESTARIANNYA DI SUMATERA BARAT
Oleh : Harfiandri Damanhuri,S.Pi,M.Sc

Abstrak
Keberadaan Penyu di Sumatera Barat sudah dicatat di dalam sejarah masyarakat Minangkabau semenjak tahun 1942 (lokasi pantai Muara Padang) semasa zaman Jepang. Akan tetapi data-data tentang penyu sampai saat ini memang sulit di dapatkan, sehingga keberadaan populasinya baru 20.000 ekor dengan potensi 1.500 ekor pertahuan (Harfiandri). Sedangkan eksploitasi terhadap telur penyu tidak pernah berhenti sampai saat ini dengan tiga lokasi utama pemasok telur penyu yaitu berasal dari Pulau Penyu Painan, Pulau Pieh Pariaman dan Pulau Telur Pasaman.
Dekade 70-an barulah penyu menjadi bahan kajian oleh peneliti di wilayah Sumatera Barat, yang di tandai dari laporan Nuitja (1977, 1992), BPH, (1989), Harfiandri (1998, 1999, 2000, 2001, 2005, 2006). Akan tetapi upaya penyelamatan mengalami hambatan secara sosial-kultur-budaya, karena sistem dan hak pemilikan lahan (pulau-pulau) masih sangat kuat yang mengacu kepada sistem adat dan budaya Minangkabau.
Walaupun demikian upaya pelestarian dengan cara membeli telur dan menetaskan serta melesapkannya kembali kelaut sudah dilakukan oleh Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Universitas Bung Hatta, walaupun baru tahap awal upaya penyelamatannya. Lebih kurang 2.500 ekor tukik sudah dilepaskan ke perairan laut Sumatara Barat dalam upaya menyelamatkan dan mengembangkan kegiatan konservasi penyu di wilayah barat Sumatera.

PENDAHULUAN
Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan yang menjadikan beberapa pulau dan pantai sebagai lokasi persingahan peneluran penyu laut. Tidak banyak informasi yang menjelaskan tentang status keberadaan penyu di dalam wilayah perairan pantai Sumatera Barat. Akan tetapi akibat perdagangan telurnya sudah menjadikan Pantai Muaro Kota Padang begitu terkenal dengan banyaknya para pedagang yang jumlahnya lebih kurang 15 orang yang terkonsentrasi sepanjang lebih kurang 250 meter jalan raya. Setiap hari dapat kita temukan para pedagang telur menjajakan telur penyu dengan variasi harga mulai dari Rp 1.500 sampai Rp 2.500.
Umumnya masyarakat banyak yang tidak tahu tentang keberadaan penyu baik secara biologi maupun ekologi dan kurangnya informasi tentang siklus dan kehidupan dari penyu tersebut, menjadikan masyarakat masih tetap mengeksploitasi dan mengkonsumsi telur. Walaupun sebenarnya perbedaan antara komposisi telur penyu sedikit lebih tinggi (selisih 1.24 % kadar gizi) dari telur ayam dimana kandungan gizi telur penyu mentah memiliki kadar protein 13.04 %, air 58.87 %, lemak 23.88 % (mentah) dan protein 14.05 %, air 56.65 %, lemak 24.45 % (matang/direbus) (Ida dan Harfiandri, 2005) dibandingkan dengan komposisi gizi telur ayam utuh memiliki kadar protein ; 11.80 %, air 65.50 %, lemak 11.00 % (Hadiwiyoto, 1993).
Penjualan telur di lokasi pantai Muaro Kota Padang tersebut sudah dimulai sejak tahun 40-an dengan menggunakan lampu petromat, masyarakat yang menemukan telur pada umumnya adalah nelayan menjual telur di pantai tersebut, hingga tradisi memburu telur di pantai dan pulau masih tetap menjadi tradisi bagi sekolompok masyarakat pedagang sampai saat ini.
Tercatat baru tiga (3) jenis penyu yang selalu singgah di sepanjang pantai Sumatera Barat yaitu Penyu Sisik (Eretmochelys imbricata), Penyu Hijau (Chelonia mydas) dan Penyu Belimbing (Dermochelys coriacea). Lokasi yang menjadi daerah pendaratanya adalah sebanyak 32 lokasi pantai dan pulau, yang rata-rata naik 45 ekor/th/lokasi.
Akan tetapi semakin lama jumlah populasi penyu dialam terlihat semakin berkurang, hal itu juga ditunjukaan oleh semakin kecilnya distribusi stok telur yang berada di tangan pada pedagang termasuk juga jenis telur. Dimana saat ini hanya dijual telur penyu dari jenis Penyu Hijau dan Penyu Sisik saja yang paling banyak, sedangkan Penyu Belimbing hanya sekali dalam beberapa tahun itupun dalam jumlah yang sedikit lebih kurang 60 butir saja.
Berdasarkan kondisi dari populasi yang semakin berkurang serta lokasi yang semakin terbuka dengan jumlah produksi telur yang semakin menurun, upaya-upaya penyelamatan baru dilakukan dengan menetaskan telur penyu di alam dan melepaskannya kembali kelaut. Upaya inipun harus berkelanjutan walaupun besarnya biaya yang harus disediakan dalam kegiatan penyelamatan penyu tersebut.
LOKASI PERSARANGAN
Hampir 99 % masa hidup penyu akan dihabiskan dilaut dan hanya 1 % penyu akan berada didarat untuk menghantarkan telurnya. Tidak semua pantai menjadi daerah persarangan penyu, karena penyu akan memilih pantai dimana ia dilahirkan dengan krakteristik pantai yang berpasir halus, lantai, gembur, bersih, jauh dari ancaman bahaya serta memiliki vegetasi pantai.
Penyu bersarang disebagian pantai daratan Sumatera Barat serta beberapa pulau yang memiliki pantai berpasir, jauh dari keramaian dan aktivitas nelayan/penduduk. Hingga kini beru tercatat sebanyak 32 lokasi persarangan (Harfiandri, 2000) walaupun sudah ada beberapa tambahan titik lokasi pendaratan. Dari seluruh lokasi persarangan di pantai pulau dan pantai daratan dengan pusat konsentrasinya adalah di Pulau Penyu, Pulau Karabak Ketek, Pulau Karabak Gadang, di Kab. Pesisir Selatan, Pulau Toran, Pulau Pandan di Kota Padang, Pulau Pieh di Kabapaten Padang Pariaman, Pulau Kasiek, dan Pantainya Kota Pariaman, Pulau Telur, Kabupaten Pasaman dan Pulau Sanding Kabupaten Kepulauan Mentawai.
Terdapat 2 bentuk persarangan penyu di wilayah perairan pantai Sumatera Barat. Ada kabupaten yang mempunyai 7 lokasi persarangan dengan konsentrasi tinggi di beberapa pulau. Ada juga kabupaten yang banyak lokasi persarangan tetapi tidak tinggi kerapatan penyu yang naik untuk bersarang. Tipe pantai yang ada yaitu tipe pantai berpasir putih dan kecoklatan, dan halus dengan ukuran butir pasir 0.25 mm hinggga 0.85 mm, dengan persentase mak sebesar 86.21 %
JENIS PENYU
Sebagai daerah pesisir yang berbatasan langsung dengan samudera di dukung oleh banyaknya pulau-pulau kecil merupakan kawasan peneluran penyu yang potensial dan juga merupakan alur strategis bagi migrasi ikan diantara dua daratan pulau Sumatera dan Mentawai yang berjarak lebih kurang 85 mil.
Enam jenis penyu hidup di kawasan perairan Indo Pasifik termasuk Indonesia, tiga diantara di temukan di wilayah perairan Sumatera Barat yaitu Penyu Hijau/Daging, Penyu Sisik/Karah dan Penyu Belimbing. Jenis penyu hijau dan penyu sisik yang umum ditemukan bertelur di wilayah Sumatera Barat, sedangkan akhir–akhir ini penyu belimbing sudah jarang ditemukan bertelur disepanjang patai Sumatera Barat.
Penyu Belimbing yang akhir-akhir ini ditemukan pada tahun 1998 di perairan Painan 1 ekor, tahun 2000 ditemuan 1 ekor yang sempat masuk jaring nelayan pantai Kota Pariaman. Awal tahun 2005 ditemukan lai telur penyu belimbing dipedagang telur pantai Muara Padang sebanyak 60 butir yang berasal dari Kota Pariaman. Penyu belimbing sudah jarang ditemukan akan tetapi daerah yang menjadi lokasi persarangannya adalah Pulau Kasiak Pariaman. Populasinya sudah di terancam musnah, kerana tidak banyak lagi penyu jenis ini yang dapat kita temukan. Sebarat habitat menurut peneluran penyu di Sumatera Barat dapat dilihat pada tabel 1 dibawah ini.
Tabel 1. Sebaran dan Potensi Sumberdaya Penyu di Perairan Sumatera Barat.
No Daerah/Lokasi Jenis Penyu
1 Kab.Pesisir Selatan
1.Pulau Panyu
2.Pulau Baringin
3.Pulau Karabak Ketek
4.Pulau Karabak Gadang
5.Pulau Katang-Katang
6.Pulau Gosong
7.Pantai Ampiang Parak Penyu Hijau
Penyu Sisik
Penyu Belimbing
2 Kota Padang
8.Pantai Purus (Pasar Pagi)
9.Pantai Bungus
10.Pantai Pasir Jambak
11.Pantai Pasir Sabalah
12.Pantai Pasir Patengganggan
13.Pantai Pasir Parupuak Tabing
14.Pulau Sibonta
15.Pulau Aur/Air
16.Pantai Pasir Ulak Karang
17.Pulau Bindalang
18.Pulau Toran
19.Pulau Sirandah Penyu Hijau
Penyu Sisik

3 Kab.Padang Pariaman/Kota Pariaman
20.Pulau Pieh
21.Pantai Katapiang
22.Pantai Nareh
23.Pulau Kasiek Penyu Hijau
Penyu Sisik
Penyu Belimbing
4 Kab.Agam
24.Pantai Pasir Tj.Mutiara
25.Pulau Tangah
26.Pulau Ujuang Penyu Hijau
Penyu Sisik

5 Kab.Pasaman /Barat
27.Pantai Sikabau
28.Pulau Panjang
29.Pulau Talua/Telur Penyu Hijau
Penyu Sisik

6 Kab.Kep.Mentawai
30.Pulau Sanding
31.Pantai Pulau Silabu
32.Pantai Suraban Penyu Hijau
Penyu Sisik
Penyu Belimbing
Sumber (Harfiandri Damanhuri, Jurnal Mangrove dan Pesisir, 2001)
PEMANFAATAN PENYU
Pemanfaatan penyu secara komersil disepanjang pantai Sumatera Barat diawali dari pantai Muara Kota Padang pada zaman Jepang (1940), ketika itu kawasan muara sebagai pintu masuk jalur lalu lintas yang ramai disekitar muara tersebut, termasuk pantai Kota Padang yang kala itu masih ditemukan pasir yang halus bersih dan jauh dari pencemaran.
Masyarakat tradisional yang tinggal dekat pantai tersebut, pada malam hari karena tidak ada aktivitas penangkapan, duduk dipantai sambil menunggu penyu naik dan bertelur. Tidak semua orang dapat mengetahui kapan penyu naik waktu itu, akan tetapi orang-orang pemulung telur sangat sensitif dengan suasana bunyi ombak yang biasa disebut dengan “ ombak katuang “ (bhs padang ; katuang = penyu). Dengan bantuan lampu petromat para pemulung telur tersebut mencari penyu disepanjang pantai. Setelah ditemukan penyu yang naik dan bertelur, lalu telur tersebut diambil dan telur tersebut di jajakan di pantai muara tersebut, walaupun hanya satu orang dan jumlah yang tidak banyak. Ia akan menjajakan telur penyu tersebut di tepi pantai muara tersebut, sampai telur terjual habis.
Akan tetapi setelah pintu muara yang menjadi pintu masuk bagi kapal yang hendak mendarat di Kota Padang, semakin lama semakin berkembang dengan pemukiman yang dampaknya terhadap pantai menjadi tercemar. Akhirnya penyu tidak naik lagi ke pantai Muaro Padang. Akan tetapi berdasarkan wawancara/ informasi didapatkan penyu pernah naik ke pantai muara Padang pada tahun 1989. Walaupun penyu sudah tidak naik di pantai muara padang, penjualan telur penyu tetap terus dilanjutkan walaupun sumber telur bukan lagi dari pantai Muara Kota Padang melainkan dari 3 lokasi utama, dimana masing-masing mampu memberikan posokan telur sebanyak 45 % dari Kab.Pesisir Selatan, 30 % dari Kab.Pasaman/Barat dan 25 % dari Kab/Kota Pariaman (Harfiandri. 2001).
Kondisi Pantai Muaro Kota Padang saat ini sangat jauh berbeda dengan dekade sebelumnya dimana kondisi saat ini seperti apa yang kita lihat sekarang sangat tercemar. Kondisi kualitas udara seperti kadar Nitrogen (NO2) 356.5 ppm, di kawasan Muara Padang kondisinya berbahaya, Sulfurdioksida (SO2) 120-135 ppm, Carbonmonoksida (CO) 110-190.0 ppm, Kadar Debu 110-200 ppm, dari Jembatan Siti Nurbaya sampai ke Muara Padang juga tidak sehat/sangat tidak sehat.
NH3 dan kandungan oksigen terlarut (DO) di Muara sudah masuk tingkat diwaspadai dan tercemar (5.5 mg/l). Padatan Tersuspensi (TTS) sudah sangat menguaktirkan walaupun ini tidak berbahaya bagi para pengunjung akan tetapi akan mengakibatkan produktivitas perairan menjadi rendah. (Kamal dan Syahbudin 2003)
Hingga kini terdapat 15 gerobak kecil yang masih tetap menjual telur sepanjang tahun dengan musim puncak penjualan telur terjadi pada bulan November hingga bulan Februari dengan rata-rata masing–masing pedagang mampu menjual telur sebanyak 100 butir/hari.
Penangkapan Penyu
Kegiatan penangkapan penyu bagi masyarakat nelayan lokal tidak merupakan suatu kebiasaan akan tetapi usaha mencari telur penyu (pemulung) telah menjadi kebiasaan bagi masyarakat pantai dan pesisir.
Karena akibat semakin tinggi harga pasaran telur dan semakin susahnya mendapatkan telur saat ini, kegiatan mencari telur mulai beralih kecara-cara yang sangat mengancam kehidupan penyu dan populasi penyu. Penangkapan penyu menjadi salah satu kebiasaan bagi masyarakat di sepanjang pesisir lokasi persarangan penyu apabila datangnya musim penyu naik ke pantai.
Setiap penyu yang naik selalu ditunggu oleh para pemulung telur disepanjang pantai, kecuali untuk beberapa pulau dan pantai yang menjadi milik kaum secara turun temurun (hukum waris adat Minangkabau), pemanfaatan penyu hanya untuk telur saja.
Mencari penyu dengan cara menunggu penyu naik hanya dilakukan oleh masyarakat yang biasa mencari telur. Setelah mendapatkan telur penyu, induk penyu akan dibiarkan kembali kelaut. Sedangkan bagi masyarakat yang tidak tahu kebiasan penyu, penyu yang tidak sempat ditunggu pada waktu bertelur, dan penyu hanya ditemukan pada waktu setelah bertelur, maka dengan tanpa ragu-ragu, memulung menarik penyu ke pasir dan di tunggu supaya bertelur. Bagi penyu yang sudah bertelur tentu tidak mungkin akan bertelur kembali. Karena sangat lama menunggu, tanpa rasa kasihan terhadap penyu, pemulung tersebut langsung membunuh penyu tersebut dengan cara memotong perutnya untuk melihat dan mengambi telur yang ada didalam perutnya.
Ini satu contoh kasus pembantaian penyu di Sumatera Barat. Kebiasaan ini semakin lama sudah menunjukkan kebiasaan yang akan mentradisi dalam diri pemulung. Penyu yang sudah dibunuh dipotong kulit diambil untuk perhiasan, dagingnya dibiarkan tercecer di pantai. Kondisi inilah yang terjadi saat ini di Sumatera Barat, sehingga populasi penyu yang ada, terutama induk semakin berkurang, dan akibatnya penyu semakin terancam punah.
Selain itu juga upaya penangkapan dilakukan oleh nelayan diluar Sumatera Barat yang datang masuk ke Parairan Indonesia Sumatera Barat untuk menangkap ikan. Secara diam-diam nelayan tersebut sudah mengetahui musimnya dan beberapa lokasi persarangan/pendarat penyu. Dengan mendekati lokasi persarangan, salah satu nelayan tersebut turun kepantai persarangan mengikat penyu dan menariknya ke kapal. Hal ini memang susah dicegah, tetapi hal ini selalu terjadi dalam waktu-waktu tertentu di beberapa lokasi persarangan penyu (terutama di Kota Padang).
Dibeberapa kawasan Pulau Panjang di Kab. Pasaman, kulit penyu diolah menjadi perhiasan seperti gelang, ikat pinggang dan lainya. Ini beberapa contoh kasus eksploitasi penyu yang dapat mengacam kehidupannya.
Pengambilan Telur
Hampir secara keseluruhan di sepanjang pantai lokasi persarangan dan pendaratan penyu telurnya diambil oleh masyarakat setempat. Terdapat 6 Kabupaten ( 5 kab + 1 kota) yang daerahnya berbatasan langsung dengan lautan yang masing-masing kabupaten Pesisir Selatan dengan 7 lokasi dengan konsentrasi Pulau Penyu, Kota Padang dengan 12 lokasi dengan konsentrasi Pasir Jambak, Bungus, Pulau Sirandah, dan data terbaru asal telur juga ada dari Pulau Toran, Pulau Pandan dan Kabupaten Padang/Kota Pariaman 4 lokasi dengan dua konsentrasi yaitu Pulau Pieh untuk penyu hijau dan Pulau Kasiak untuk penyu belimbing. Kab Agam dengan dengan 3 lokasi pendaratan dengan konsentrasi pantai Tj. Mutiara, Kab Pasaman dengan 3 lokasi dengan kosentrasi di Pulau Telur, Pulau Panjang serta Kab.Kep. Mentawai dengan 3 lokasi dengan konsentrasi di Pulau Sanding selatan Kepulauan Mentawai.
Semua lokasi ini merupakan daerah peneluran dan persarangan penyu di sepanjang tahun. Pengambilan telur tidak mengenal batas dan hampir semua penyu yang naik untuk bertelur, telurnya diambil oleh masyarakat pemulung telur.
UPAYA PELESTARIAN
Upaya pelestarian pengelolaan penyu haruslah memerlukan peraturan dan undang-undang serta perda yang kuat dan legal. Serta sarana dan prasarana yang memadai serta didukung oleh bantuan dana didalam penyelamatkan dan pemeliharaan penyu.
Langkah pelestarian untuk masyarakat lokal Sumatera Barat ada beberapa aturan dan kebiasaan lokal yang menjadi dasar dalam upaya pelestarian.
1. Dasar Agama ; dimana masyarakat umumnya adalah beragama islam, dimana penyu adalah termasuk hewan yang hidup didua tempat (reptilia) yang secara hukum islam adalah dilarang unutk mengkonsumsinya.
2. Dasar Budaya ; dimana penyu tidaklah menjadi salah satu syarat didalam adat dan tradisi baik untuk kegiatan perkawinan, pendirian rumah, dan acara budaya lainnya
Dua hal tersebut datas dapat menjadi dasar kearifan lokal dalam upaya pelestarian dan perlindungan penyu.

Penulis : Dosen Fak.Perikanan dan Kelautan UBH, Peneliti Aktif Penyu Sumatera Barat.(d.harfiandri@yahoo.com)