Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Senin, 24 Maret 2008 Kemahasiswaan

Perekonomian Menuntut Penerapan Teknologi

Ilmu pengetahuan dan teknologi (iptek) pada dasarnya bertujuan untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat dalam rangka meningkatkan taraf hidup bangsa. Pembangunan iptek merupakan sumber terbentuknya iklim inovasi yang menjadi landasan bagi tumbuhnya kreativitas sumberdaya manusia (SDM), yang pada akhirnya dapat menjadi sumber pertumbuhan dan daya saing ekonomi. Selain itu iptek menentukan tingkat efektivitas dan efisiensi proses transformasi sumberdaya menjadi sumberdaya baru yang lebih bernilai. Dengan demikian peningkatan kemampuan iptek sangat diperlukan untuk meningkatkan standar kehidupan bangsa dan negara, serta kemandirian dan daya saing bangsa Indonesia di mata dunia.

Kita semua memahami bahwa kecenderungan globalisasi sudah tidak dapat dibendung lagi. Proses transformasi global yang dewasa ini sedang berlangsung pada dasarnya digerakkan oleh dua kekuatan besar, yakni perdagangan dan kemajuan teknologi. Keduanya kait-mengait dan saling menunjang. Perdagangan yang meningkat bukan hanya mendorong proses alih teknologi, tetapi juga penguatan teknologi. Sebaliknya peningkatan teknologi akan memperlancar dan mendorong arus barang, uang, jasa dan informasi. Interaksi antara keduanya itu telah mendorong terjadinya penyesuaian struktural perekonomian di banyak negara di dunia, baik di negara maju, maupun negara berkembang. Keseluruhan proses itu menghasilkan ekonomi dunia yang makin terintegrasi.

Proses perubahan yang sangat besar tersebut terjadi dengan cepat. Proses perubahan itu melahirkan tantangan- tantangan yang harus dijawab oleh bangsa Indonesia. Tantangan-tantangan itu ada yang berupa peluang yang harus dimanfaatkan, tetapi juga ada yang berupa kendala yang harus diatasi, agar proses perubahan itu menguntungkan dan tidak malah merugikan masa depan bangsa Indonesia.

Kendala yang berupa Lemahnya daya saing bangsa dan kemampuan iptek ditunjukkan oleh sejumlah indikator, yaitu Rendahnya kemampuan iptek nasional, Rendahnya kontribusi iptek nasional di sektor produksi.

a. Rendahnya kemampuan iptek nasional

Dalam menghadapi perkembangan global Indeks Pencapaian Teknologi (IPT) dalam laporan UNDP tahun 2001 menunjukkan tingkat pencapaian teknologi Indonesia masih berada pada urutan ke 60 dari 72 negara. Sementara itu, menurut World Economic Forum (WEF) tahun 2004, indeks daya saing pertumbuhan (Growth Competitiveness Index) Indonesia hanya menduduki peringkat ke-69 dari 104 negara. Dalam indeks daya saing pertumbuhan tersebut, teknologi merupakan salah satu parameter selain parameter ekonomi makro dan institusi publik. Rendahnya kemampuan iptek nasional juga dapat dilihat dari jumlah paten penemuan baru dalam negeri yang didaftar di Indonesia hanya mencapai 246 buah pada tahun 2002, jauh lebih rendah dibanding paten dari luar negeri yang didaftarkan di Indonesia yang berjumlah 3.497 buah.

b. Rendahnya kontribusi iptek nasional di sektor produksi.

Hal ini antara lain ditunjukkan oleh kurangnya efisiensi dan rendahnya produktivitas, serta minimnya kandungan teknologi dalam kegiatan ekspor. Pada tahun 2002, menurut indikator iptek Indonesia tahun 2003, ekspor produk industri manufaktur didominasi oleh produk dengan kandungan teknologi rendah yang mencapai 60 persen; sedangkan produk teknologi tinggi hanya mencapai 21 persen. Sementara itu produksi barang elektronik yang dewasa ini mengalami peningkatan ekspor, pada umumnya merupakan kegiatan perakitan yang komponen impornya mencapai 90 persen.

Belum optimalnya mekanisme intermediasi iptek yang menjembatani interaksi antara kapasitas penyedia iptek dengan kebutuhan pengguna. Masalah ini dapat terlihat dari belum tertatanya infrastruktur iptek, antara lain institusi yang mengolah dan menterjemahkan hasil pengembangan iptek menjadi preskripsi teknologi yang siap pakai untuk difungsikan dalam sistem produksi. Disamping itu, masalah tersebut dapat dilihat dari belum efektifnya sistem komunikasi antara lembaga litbang dan pihak industri, yang antara lain berakibat pada minimnya keberadaan industri kecil menengah berbasis teknologi.

Lemahnya sinergi kebijakan iptek, sehingga kegiatan iptek belum sanggup memberikan hasil yang signifikan. Kebijakan bidang pendidikan, industri, dan iptek belum terintegrasi sehingga mengakibatkan kapasitas yang tidak termanfaatkan pada sisi penyedia, tidak berjalannya sistem transaksi, dan belum tumbuhnya permintaan dari sisi pengguna yaitu industri. Disamping itu kebijakan fiskal juga dirasakan belum kondusif bagi pengembangan kemampuan iptek. Masih terbatasnya sumber daya iptek, yang tercermin dari rendahnya kualitas SDM dan kesenjangan pendidikan di bidang iptek. Rasio tenaga peneliti Indonesia pada tahun 2001 adalah 4,7 peneliti per 10.000 penduduk, jauh lebih kecil dibandingkan Jepang sebesar 70,7. Selain itu rasio anggaran iptek terhadap PDB sejak tahun 2000 mengalami penurunan, dari 0,052 persen menjadi 0,039 persen pada tahun 2002. Rasio tersebut jauh lebih kecil dibandingkan rasio serupa di ASEAN, seperti Malaysia sebesar 0,5 persen (tahun 2001) dan Singapura sebesar 1,89 persen (tahun 2000). Sementara itu menurut rekomendasi UNESCO, rasio anggaran iptek yang memadai adalah sebesar 2 persen. Kecilnya anggaran iptek berakibat pada terbatasnya fasilitas riset, kurangnya biaya untuk operasi dan pemeliharaan, serta rendahnya insentif untuk peneliti.

Lemahnya sumber daya iptek diperparah oleh belum berkembangnya budaya iptek di kalangan masyarakat. Budaya bangsa secara umum masih belum mencerminkan nilai-nilai iptek yang mempunyai penalaran obyektif, rasional, maju, unggul dan mandiri. Pola pikir masyarakat belum berkembang ke arah yang lebih suka mencipta daripada sekedar memakai, lebih suka membuat daripada sekedar membeli, serta lebih suka belajar dan berkreasi daripada sekedar menggunakan teknologi yang ada.