Universitas Bung Hatta

Menuju Perguruan Tinggi Berkelas Dunia

Bg Universitas Bung Hatta
Kamis, 10 Juni 2021 Umum

Perlunya Revisi RTRW dan Pengelolaan Lingkungan Tambak Udang Vaname di Sumatera Barat*

Dr. Suparno, M. Si*

Perlunya Revisi RTRW dan Pengelolaan Lingkungan Tambak Udang Vaname di Sumatera Barat*
Perlunya Revisi RTRW dan Pengelolaan Lingkungan Tambak Udang Vaname di Sumatera Barat
Perkembangan investasi tambak udang vadame (Litopenaeus vannameii) skala intensif semakin menggeliat di Sumatera Barat, seperti di Kabupaten Pesisir Selatan, Kabupaten Padang Pariaman dan Kabupaten Agam.

Berdasarkan data Dinas Kelautan dan Perikanan Provinsi Sumatera Barat Tahun 2021 luas budidaya udang vaname di Kabupaten Pesisir Selatan 30 Ha, Kota Padang 2,8 Ha, Kabupaten Padang Pariaman 84 Ha dan Kabupaten Agam 11,2 Ha.. Budidaya udang vaname di Tiram Ulakan Tapakis, Kabupaten Padang Pariaman dengan ukuran tambak 0,6 Ha, dengan padat penebaran benur 600.000 ekor, produksi bisa mencapai 7.800 kg dengan harga udang Rp 89.000,-/kg. Keuntungan yang dicapai bisa mencapai Rp. 377.652.750 per siklus (100-110 hari). Pada masa pandemi covid 19 ini sangat membantu perekonomian masyarakat pesisir.

Keunggulan budidaya udang vaname adalah pertumbuhan yang cepat, tingkat kelangsung hidup yang tinggi, nafsu makan udang yang tinggi, lebih tahan terhadap serangan penyakit dan waktu pemeliharaan yang relatif singkat yaitu 90-100 hari per siklus.

Udang vaname (Litopenaeus vannameii) dari daerah pantai barat Amerika, mulai dari Teluk California di Mexico bagian utara sampai ke pantai barat Guatemala, El Salvador, Nicaragua, Kosta Rika di Amerika Tengah hingga ke Peru di Amerika Selatan. Udang ini resmi masuk ke Indonesia berdasarkan SK Menteri Kelautan dan Perikanan RI no 41/ 2001.

Udang putih vaname adalah salah satu jenis udang yang cepat pertumbuhan dan nafsu makan yang tinggi serta dianggap lebih tahan terhadap serangan penyakit. Walaupun akhir-akhir ini juga diserang penyakit WSSV (White Spot Syndrome Virus), TSV (Taura Syndrome Virus), IMNV (Infectious Myo Necrosis Virus) dan EMS (Early Mortality Syndrome).

Udang vaname ini memiliki sifat nocturnal yaitu aktif mencari makan pada malam hari, makanannya berupa jenis crustacea kecil dan cacing laut. Udang ini di alam bersifat omnivora dan pemakan bangkai. Udang vaname ini mempunyai sifat kanibal yang artinya suka memangsa kawannya sendiri pada saat kawannya ganti kulit (moulting) dan kurang makan.

Seiring dengan perkembangan investasi tambak udang vadame ini di Sumatera Barat, salah satu permasalahan yang timbul adalah ijin usaha yang belum ada. Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Kabupaten dan Kota yang belum ada mengalokasikan untuk ruang budidaya tambak udang, Instalasi Pengelolaan Limbah belum tersedia, kajian daya dukung yang belum ada dan banyak tambak yang mengkonversi sepadan pantai.

Budidaya udang vaname skala intensif mencapai padat tebar yang tinggi berkisar 100-300 ekor/m2. Perkembangan sistem budidaya udang dari budidaya ekstensif menjadi budidaya intensif berdampak buruk bagi lingkungan karena menyebabkan peningkatan pencemaran perairan sekitarnya. Pencemaran tersebut di akibatkan oleh penumpukan bahan organik dari sisa pakan yang tidak mampu dimanfaatkan secara optimal oleh organisme budidaya.

Limbah budidaya udang yang dihasilkan dari pakan udang yang tidak termanfaatkan itu berupa limbah organik dalam bentuk hasil metabolisme dan sisa pakan udang, feses (sisa kotoran udang) dan bahan terlarut yang jika dibuang ke perairan akan menganggu ekosistem di perairan..

Pertumbuhan udang yang semakin meningkat, akan semakin meningkatkan pula pakan yang diberikan. Meningkatnya jumlah pakan maka limbah yang dihasilkanakan meningkat pula. Limbah hasil budidaya udang menghasilkan kira-kira 35%limbah organik, sisa pakan 15% dan sisa metabolisme udang 20%.

Limbah yang semakin meningkat akan mengalami proses dekomposisi (penguraian) yang akanmenghasilkan nitrit dan ammonia, karena tidak semua pakan dikonsumsi udang.

Pemberian pakan yang tidak sesuai dengan ukuran, dapat menyumbang kadar nitrat dan fosfor ke alam yang dapat memicu eutrofikasi. Eutrofikasi merupakan efek dari pencemaran nitrat dan fosfat yang dapat merugikan masyarakat. Pengkayaan unsur hara ini dapat mengakibatkan blooming algae yang dapat membuat kadar oksigen di air menjadi sangat tipis sehingga dapat mengakibatkan ikan mengalami kematian massal.

Kurang optimalnya pemanfaatan pakan yang berlebihan akan menyebabkan penumpukan bahan organik. Penguraian bahan organik memerlukan oksigen dalam prosesnya, sehingga ketersediaan oksigen bagi biota didalamnya menjadi berkurang. Pencemaran pada lingkungan tambak menyebabkan pertumbuhan udang terhambat, penurunan daya tahan terhadap penyakit dan kematian udang.

Menurut Rachmansyah (2004), pakan merupakan penyumbang bahan organik tertinggi sekitar (80%). Jumlah pakan yang tidak dikonsumsi atau terbuang di dasar perairan sekitar 30%. Menurut Komarawidjaja (2003), sumber kegagalan budidaya udang diduga berasal dari faktor internal lingkungan pertambakan. Faktor internal yang penting adalah perubahan kualitas airakibat penumpukan bahan organik berupa sisa pakan dan kotoran udang (feses) pada substrat dasar tambak. Bahan organiktersebut, bila terurai akan terbentuk amoniayang dapat terperangkap dilapisan substratdasar tambak atau terlarut dalam air yangakan bersifat toksik terhadap udang.

Jika kondisi tambak udang diatas tidak diantisipasi sejak awal, maka dalam waktu kurun 3-5 tahun lagi akan menimbulkan pencemaran perairan, serangan massal penyakit, dan lokasi tambak tidak bisa digunakan lagi untuk budidaya udang. Pengalaman budidaya udang windu (Penaeus monodon) di pantai Utara Jawa dan keramba jaring apung di Danau Maninjau yang telah banyak mengalami kerugian kepada masyarakat dan percemaran perairan, agar tidak terulang lagi di pesisir Sumatera Barat.

Solusi dari permasalahan diatas antara lain adalah:
1. Revisi alokasi ruang RTRW kabupaten/ kota/RTRW Provinsi untuk alokasi budidaya tambak udang. Tanpa revisi RTRW, tambak udang yang ada tidak bisa diberi ijin usaha.
2. Integrasi RTRW Provinsi dan RZWP3K (Rencana Zonasi Wilayah Pesisir dan Wilayah Pulau-Pulau Kecil) Provinsi Sumatera.
3. Tambak harus memiliki sempadan pantai dengan lebar minimal 100 m dari garis pantai pasang tertinggi ke arah darat (sesuai dengan UU no 26 tahun 2007 tentang penataan Ruang dan UU no 27 tahun 2007 tentang Pengelolaan wilayah Pesisir dan Pulau-Pulau Kecil, dan UU no 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja dan turunannya).
4. Terdapat sistem pemasukan air (inlet) dan pengeluaran air (oulet) secara terpisah.
5. Menerapkan IPAL (Instalasi Pengolah Air Limbah) pada tambak udang berdasarkan Kepmen 28/2005 tentang Pedoman Umum Budidaya Udang di Tambak.
6. Petambak harus memiliki bukti kepemilikan atau pengelolaan lahan, surat ijin usaha perikanan (SIUP), ijin usaha budidaya sesuai Permen KP No 12/2007 atau Tanda Daftar Kegiatan Perikanan (TDKP).
7. Kajian kesesuaian lahan, dan daya dukung tambak udang di pesisir Sumatera Barat.
8. Pemberikan jumlah dan frekuensi pakan sesuai aturan sehingga minimalkan jumlahpakan yang hilang atau tidak termakan karenamenjadi sumber utama limbah.
9. Reboisasi mangrove di pesisir sebagai biofilter limbah tambak udang.
10. Menerapkan cara budidaya ikan yang baik yaitu pedoman dan tata cara budidaya ikan, termasuk cara panen yang baik, untuk memenuhi persyaratan jaminan mutu dan keamanan hasil perikanan budidaya sesuai Peraturan Kementrian Kelautan dan Perikanan (KKP) no 19 tahun 2010 dan Keputusan Menteri Kelautan dan Perikanan No 02/Men/2007.

Dengan adanya revisi RTRW Kabupaten/kota yang akan mengembangkan budidaya tambak, ijin lingkungan dan ijin usaha akan bisa dikeluarkan dan tambak udang bisa dikontrol pengelolaan lingkungannya. Budidaya udang akan lestari dan berkelanjutan, sehingga tidak akan mengulang kegagalan tambak udang Pantai Utara Jawa, masa lalu.


*Tulisan ini telah diterbitkan oleh Harian Padang Ekspres tanggal 10 Juni 2021

**Dosen Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, Universitas Bung Hatta/ Anggota Komisi Nasional Pengkajian Sumberdaya Ikan RI Tahun 2020-2023