Detail Artikel

Sabtu, 24 Desember 2022

Rasau: Menyelamatkan Ikan Bilih dari Kepunahan
Prof. Dr. Hafrijal Syandri, M.S.
(Guru Besar Pasca Sarjana Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan Univ. Bung Hatta)

TIDAK ada masyarakat Sumatera Barat, bahkan masyarakat Indonesia dari Sabang sampai ke Mauroke, termasuk negara tetangga kita Malaysia dan Singapura yang tidak pernah mendengar atau merasakan enak dan gurihnya ikan bilih yang berasal dari Danau Singkarak. Setiap rumah makan Padang sejak dahulu kala selalu menghidangkan lauk pauk yang berasal dari ikan bilih, kini hanya sebagian kecil saja rumah makan yang menghidangkan lauk pauk dari ikan bilih. Dahulu ketika ikan bilih yang hidup sebagai endemik di danau Singkarak diberi nama oleh seorang ahli perikanan Saanin dengan nama ?Ikan Bako?. Konon kabarnya menurut dia orang minang punya bako. Ikan ini ditangkap oleh nelayan dengan alat tangkap alahan, jala, dan jaring langli dengan mengutamakan kearifan lokal sehingga populasinya sangat melimpah dikala itu.

Sering juga saya berdiskusi dengan nelayan ikan bilih dan pemuka masyarakat lingkar Danau Singkarak, ternyata cerita masa lampau mengungkapkan bahwa kekayaan sumberdaya ikan bilih yang hidup di Danau Singkarak membuat hubungan antara manusia dengan ikan bilih sangat dekat. Kebutuhan akan ikan bilih pada awalnya hanya atas alasan bertahan hidup, tetapi perkembangan zaman membuat pola hidup terus berkembang dengan beragam kebutuhan hidup lainnya, maka intensitas terhadap penangkapan ikan bilih semakin meningkat.

Saya masih ingat ketika tahun 1993 memulai penelitian Disertasi saya tentang ikan bilih, bersama mahasiswa Fakultas Perikanan Universitas Bung Hatta melihat betapa ramainya masyarakat di muara sungai Sumpur, Baing, Paninggahan, Muara Pingai dan Saningbaka bergiliran saling datang dan pergi selama dua puluh empat jam menangkap ikan bilih. Saya pun ikut berbaur dan bersendagurau dengan nelayan di malam harinya untuk menangkap ikan bilih dengan hanya menggunakan lampu togok dan senter. Ukuran ikan bilih yang tertangkap pada waktu itu rata-rata panjangnya 15 cm, bahkan ada yang tertangkap sampai ukuran 18 cm.

Seorang nelayan yang menangkap ikan bilih dengan jala di muara sungai, seperti di muara Sungai Sumpur tidak kurang dari 10-liter hasil yang diperolehnya selama dua sampai tiga jam menangkap ikan bilih. Begitu pula dengan hasil tangkapan alahan yang jumlahnya 12 unit di kawasan muara Sungai Sumpur dan 8-unit di muara Sungai Paninggahan setiap sore hari dan pagi hari bisa memanen hasil tangkapan ikan bilih 50 75 liter setiap hari. Ketika itu pendapatan nelayan ikan bilih sangat tinggi rata-rata setiap hari bisa mendapatkan uang Rp 100.000/hari dari hasil menangkap ikan bilih, dan belum termasuk dari hasil olahan yang dilakukan oleh keluarganya. Kehidupan keluarga nelayan ikan bilih pada waktu itu cukup sejahtera. Saya masih ingat ada beberapa orang nelayan ikan bilih bisa melanjutnya kuliah anaknya di Universitas Andalas, dan Universitas Bung Hatta yang pada waktu itu masih dianggap oleh masyarakat kedua Universitas itu berbiaya mahal.

Kini apa yang terjadi, hasil tangkapan nelayan semakin menurun, meskipun alat yang tangkap yang digunakan bagan dan jaring langli dengan memakai mata jaring kecil (5/8 inchi).

Kalaupun ada ikan bilih yang tertangkap ukuran tidak lebih dari 5-6 cm. Kini muara sungai Sumpur, Baing, Paningggahan, Pingai dan Saningbaka dan tepian yang biasanya digunakan untuk aktifitas penangkapan ikan bilih sudah sepi, tidak ada lagi nelayan yang menangkap ikan bilih, kalaupun ada hanya satu dan dua orang saja yang bisa bertahan yang hasilnya paling banyak satu sampai dua liter. Bukan berarti masyarakat nelayan ikan bilih ada pekerjaan lain yang lebih menguntungkan. Sesungguhnya tidak seperti itu, tapi mereka tidak lagi mendapatkan hasil tangkapan ikan bilih. Kemana ikan bilih menghilang, ada sebagian masyarakat yang mengatakan habitat hidupnya sudah rusak akibat penumpukan sampah dan sedimentasi di badan air danau, karena air danau tidak keluar seperti masa lalu, ada juga yang mengatakan bahwa ikan nila sudah sangat banyak di danau Singkarak yang bisa memakan telur dan anak ikan bilih.

Berdasarkan kondisi tersebut, Organisasi Pangan Dunia dan International Union Conservation Nature (IUCN) pada tahun 2020 telah mengkategorikan ikan bilih Terancan Punah. Saya memprediksi sepuluh tahun ke depan ikan bilih bisa hilang di Danau Singkarak jika cara menangkapnya dengan berbagai alat tangkap (bagan, jaring langli, jala) tidak diatur berdasarkan alat penangkapan ikan ramah lingkungan, termasuk melarang mengawasi penggunaan dinamit. Alat tangkap bagan adalah salah satu penyebab berkurangnya populasi ikan bilih di Danau Singkarak yang jumlahnya pada tahun 2016 tidak kurang dari 512 unit. Metode menangkap ikan bilih dengan Bagan konon kabarnya berasal dari Danau Toba yang luasnya sepuluh kali Danau Singkarak. Ikan bilih pada tahun 2003 pernah ditebar ke danau Toba dan beberapa tahun kemudian produksinya melimpah, karena produksi yang melimpah maka digunakan alat tangkap bagan untuk menangkapnya.

Produksi ikan bilih yang melimpah di danau Toba telah meningkatkan pendapatan nelayan di kawasan danau tersebut, sekaligus juga berimbas terhadap meningkatkatnya pendapatan rumah tangga pengolah ikan bilih di selingkar danau Singkarak. Karena sebagian besar hasil tangkapan ikan bilih yang berasal dari Danau Toba diolah oleh masyarakat di selingkar Danau Singkarak konon kabarnya masyarakat di Utara sana tidak bisa melacik (membuang kororan) ikan bilih.

Tapi kini ikan bilih di danau Toba berdasarkan hasil penelitian yang saya baca tidak ditemukan lagi. Penyebabnya adalah karena penangkapan yang dilakukan tidak terkendali dengan alat tangkap Bagan. Saya mengkawatirkan karena beberapa tahun belakangan ini sampai sekarang ikan bilih di Danau Singkarak juga ditangkap dengan Bagan yang secara langsung mengkibatkan jumlah ikan bilih yang ditangkap lebih banyak daripada penambahan individu baru ke badan air Danau Singkarak. Jika keadaan ini dibiarkan secara terus menerus tanpa ada upaya kita untuk melakukan sesuatu untuk menyelamatkan ikan bilih, tentu kita akan kehilangan jenis ikan bilih yang kita banggakan di ranah minang ini.

Perlu kita sadari bahwa sesungguhnya pengelolaan sumberdaya ikan bukanlah mengatur sumberdaya ikan semata, namun yang lebih penting adalah bagaimana mengantisipasi perilaku nelayan sehingga sejalan dengan kebijakan yang diterapkan.
Peraturan Presiden RI No. 60 tahun 2021 tentang penyelamatan Danau Prioritas telah menetapkan ikan bilih sebagai plasma nutfah endemik Danau Singkarak yang perlu diselamatkan. Kita patut memberikan dukungan dan apresiasi kepada Pemerintah Provinsi Sumatera yang sangat peduli dengan keberlanjutan ikan bilih untuk masa yang akan datang yaitu dengan mengeluarkan Peraturan Gubernur Nomor No.81/2017 Tentang Penggunaan Alat dan Bahan Penangkapan Ikan di Perairan Danau Singkarak. Namun dengan kondisi ikan bilih yang semakin terancam punah telah disusun pula Draft Peraturan Gubernur Sumbar (sedang dalam proses persetujuan) sebagai pengganti Peraturan Gubernur Nomor No.81/2017.

Kita juga memberikan apresiasi kepada Dinas Kelautan dan Perikanan Povinsi Sumatera Barat dan jajaran terkait termasuk aparat penegak hukum dan masyarakat setempat yang telah turun tangan secara bersama-sama mengimplementasikan Peraturan Gubenur di atas untuk melarang beroperasinya alat tangkap bagan yang belakangan ini sangat merisaukan kita.

Tidak bisa dimungkiri ketika bagan dan jaring langli dioperasikan dengan mata jaring kecil, tentu akan tertangkap ikan bilih yang berukuran kecil, termasuk jenis ikan lain yang belum bernilai ekonomis untuk dipasarkan. Kita punya harapan dengan adanya penertiban alat tangkap ikan bilih, dan membuat kawasan konservasi ikan bilih di lokasi-lokasi tertentu seperti yang telah kami lakukan di Jorong Batu Baragung Nagari Sumpur dalam Program Pengabdian Pada Masyarakat terintegrasi Merdeka Belajar Kampus Merdeka dari Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi tahun 2022 ini, dan juga awalnya telah diinisiasi oleh P.T. Semen Padang. Pada lokasi ini populasi ikan bilih sangat luar biasa melimpah dan kita salut kepada masyarakat Nagari Sumpur mereka tidak menangkap ikan bilih yang berada di Kawasan konservasi ini. Kawasan ini sekarang kami jadikan sebagai Rasau Rindu Wisata yang dapat menyelamatkan ikan bilih dari kepunahan dan sekaligus mengangkat perekonomian masyarakat di kawasan ini. Ketika ikan bilih hilang, secara ekologi tentu akan berdampak kepada lingkungan perairan danau Singkarak yang secara tidak langsung mungkin saja akan berdampak kepada masyarakat tempatan dikemudian hari.

Kita tidak tahu apa yang akan terjadi ketika anak ikan bilih tidak kembali. Oleh karena itu mari kita selamatkan ikan bilih dari kepunahan demi untuk anak cucu kita dikemudian hari. (**)