Detail Artikel

Kamis, 08 Juni 2023

BEGINI PENDAPAT BUNG HATTA TENTANG TANAH PUSAKO
Dr. Drs. M. Sayuti Dt. Rajo Pangulu, M.Pd.
Ketua Pujian ABSSBK HAM/ Dosen Univ. Bung Hatta

Pusat Kajian Adat Basandi Syarak Syarak Basandi KitabuLlah Hukum Adat Minangkabau yang disingkat PUJIAN ABSSBK HAM kembali mengamati dan mengkaji bagaimanakah Bung Hatta menyikapi penomenal prilaku anak bangsa mulai kurang mengargai kearifan lokal Minangkabau tentang tanah pusako di Minangkabau. Bung Hatta pernah berdiskusi dengan M. Rasyid Manggis Rajo Pangulu di Bukittinggi. Diskusi kedua tokoh ini fokus pada tanah pusako. Intisari diskusinya, berkisar pada pertanyaan, apakah itu tanah pusako? Siapakah yang yang berhak atas tanah pusako? Bagaimanakah ketentuan yang melekat pada tanah pusako? Tanah pusaka memiliki peran penting dalam kelangsungan dan kewibawaan kaum. Kaum adalah yang pertama mendapat manfaat terhadap tanah pusako.

Hal ini berangkat dari ketentuan ajaran syarak, yang mengatakan tidak akan berubah nasib suatu kaum kalau tidak kaum itu sendiri yang merubahnya. Kalau kaum itu mau merubah nasibnya maka yang harus bekerja keras itu adalah anggota kaumnya. Kumpulan kaum – kaum itu akan menjadi kaum bangsa yang lebih luas. Kalau ingin mensejahterakan masyarakat, maka yang harus disejahterakan terlebih dahulu adalah anggota kaum. Dengan kata lain anggota kaum harus mau berkerja dan berkarya di atas tanah pusako. Anggota kaum kalau tidak mau berkarya maka tidak akan berubah nasibnya. Kalau mau merubah nasib maka anggota kaum harus berkarya dan berkarya. Kaum harus mampu menciptakan golongan orang berkerja dan berkarya atau golongan karya. Sebab tanah pusaka merupakan harta turun temurun yang tidak boleh diperjualbelikan, yang diatur oleh hukum adat Minangkabau.

Hal ini tergambar pada falsafah adat Minangkabau sakali aie gadang, sakali tapian baralieh. Namun, air tetap mengalir di tepian yang baru itu. Artinya, perubahan itu pasti ada, tetapi prinsipnya bersifat tetap, yaitu jua indak dimakan bali, gadai indak dimakan sando. Juga, tanah puasko maha indak dapek diminta, murah indak dapek dibali. Tanah pusaka adalah harta asal yang diwarisi secara turun temurun dalam suatu kaum.Tanah pusaka bersifat material. Makna material di sini ialah untuk memisahkan daripada sako, yaitu perpindahan yang berlaku dari orang mati kepada yang masih hidup dalam bentuk gelar kebesaran menurut adat. Tanah pusaka itu pada dasarnya dibagi dua, yaitu tanah pusako tinggi dan tanah pusako rendah. Tanah pusaka tinggi didapat dengan tembilang besi, yaitu didapat oleh usaha nenek moyang leluhur terdahulu. Tanah pusako rendah didapat dengan tembilang emas, yaitu didapat karena dibeli oleh orang tua dalam ikatan suami sitri.

Sako adalah gelar pusaka yang sedang dipakai atau dijalankan oleh sesorang yang sudah dipercaya oleh anak cucu kemenakanya. Gelar ini dipakai apabila diperoleh kesepakatan kaum kepada siapa yang menyandang dan biasanya gelar ini diberikan kepada salah seorang kemenakan laki-laki dari kaum yang bertali darah menurut garis ibu. Tanah pusaka merupakan sebagai harta yang dimiliki oleh keluarga dari pihak ibu atau perempuan dalam system kekerabatan matrilineal.. Tanah pusaka hanya diberi hak kelolah dan hak manfaat bukan kepemilikan atau hak pakai yang disebut ganggan bauntuak. Ganggam tetap di pengulu sako, peruntukkannya pada kemenakan untuk berusaha. Secara adat hasil dari hak pakai itu kemudian dibagi rata sesuai dengan jumlah kerabat dalam satu keluarga.

Tanah pusaka selalu diawasi oleh seorang pemuka adat atau mamak. Sesuatu yang dilakukan tanpa persetujuan ninik mamak, termasuk soal menjual tanah tidak akan diperbolehkan. Sebab tanah pusaka merupakan milik kaum atau bersama dan sudah memiliki pewaris secara turun temurun menurut garis keturunan ibu. Tujuan tanah pusaka tinggi dipelihara adalah untuk melindungi kaum yang lemah yaitu kaum perempuan dan sudah menjadi adat sejak dahulunya di Minangkabau. Namun pada zaman sekarang, banyak kasus sengketa yang terjadi akibat tanah pusaka yang sudah tidak jelas peruntukan dan statusnya oleh mamak kepala waris. Tanah pusaka banyak diperjualbelikan atau berpindah tangan dan tidak dalam keadaan utuh. Selain itu banyak yang menjadi saksi palsu dan tidak mengetahui kedudukan dari tanah pusako tersebut. Hal ini bertolak belakang dengan prinsip penguasaan tanah pusaka tinggi di Minangkabau yang telah memberikan batasan yang jelas.

Jual beli tanah pusaka tinggi kini mungkin terjadi akibat banyaknya masyarakat yang tergiur dan percaya terhadap sertifikat dan saksi palsu. Berbeda dengan zaman dahulu yang mungkin hanya melalui kesepakatan kaum tanpa adanya surat yang jelas dan bermodalkan rasa percaya terhadap keluarga. Seorang mamak juga harus bijak dalam menyikapi dan menjalankan tugasnya sebagai kepala kaum. Hal ini telah diatur dalam aturan adat kaluak paku kacang balimbiang tampuruang lenggang lenggokan dibaok urang ka saruaso, anak dipangku kamanakan dibimbiang urang kampuang dipatenggangkan tenggang nagari jan binaso. Maksud pepatah ini adalah pedoman bagi seorang mamak dalam suku atau kaum untuk bisa menjalankan tugas dan fungsinya sebagai mamak bagi kemenakan, kepala keluarga, serta sikap terhadap masyarakat di kampungnya.