Selasa, 28 November 2023
PEMILU DAN ETIKA MENTERI
Oleh : Helmi Chandra SYDosen Fakultas Hukum Universitas Bung Hatta/Ketua Pusat Kajian Bung Hatta Anti Korupsi (BHAKTI)
Dalam sistem presidensial, Menteri adalah pembantu Presiden untuk melayani rakyat. Tidak dikenal adanya visi dan misi Menteri, yang ada Menteri hanya menterjemahkan serta menjalankan visi dan misi dari Presiden. Untuk itu, akan terasa anomali ketika Menteri yang diangkat oleh Presiden untuk membantunya kemudian maju dalam kontestasi pemilihan Presiden dan wakil Presiden tanpa mengundurkan diri.
Mundurnya seorang Menteri merupakan upaya untuk menjaga etika politik pejabat publik. Sebab, pemilu menjadi upaya untuk menghasilkan pemimpin yang memiliki integritas dan menjunjung tinggi etika. Pengunduran diri Menteri tentu dapat menciptakan kelancaran penyelenggaraan pemerintahan dan terwujudnya etika politik pejabat publik.
Saat ini diantara tiga pasangan calon Presiden dan Wakil Presiden yang telah ditetapkan Komisi Pemilihan Umum (KPU) pada 13 November 2023 lalu terdapat 2 orang Menteri aktif. Menteri tersebut yakni Prabowo Subianto sebagai Menteri Pertahanan dan Mahfud MD sebagai Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum dan Keamanan (Menkopolhukam). Setidaknya hingga tulisan ini ditulis belum terlihat gelagat diantara menteri-menteri ini akan mengundurkan diri.
Secara yuridis, Pasal 170 ayat (1) UU 7 Tahun 2017 tentang Pemilu menentukan bahwa Pejabat Negara yang dicalonkan sebagai calon Presiden atau calon Wakil Presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya, kecuali Presiden, Wakil Presiden, Pimpinan dan anggota MPR, DPR, DPD, Gubernur, Wakil Gubernur, Bupati, Wakil Bupati Walikota dan Wakil Walikota. Lebih lanjut, Penjelasan pasal di atas menegaskan kategori pejabat negara meliputi Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda Hakim, Hakim Agung, Hakim Mahkamah Konstitusi, Badan Pemeriksa Keuangan, Komisi Yudisial, Komisi Pemberantasan Korupsi, Menteri, Duta Besar dan Pejabat Negara lainnya yang ditentukan oleh UU. Artinya, Menteri diharuskan mundur dari jabatannya.
Namun ketentuan itu, dibatalkan oleh MK melalui Putusan Nomor 68/PUU-XX/2022. Di mana MK berpendapat pengunduran diri Menteri tidak berbanding lurus dengan perlindungan hak konstitusional yang dimiliki oleh pejabat yang bersangkutan. Terlebih di dalam mendapatkan jabatannya, Menteri dianggap memerlukan perjalanan karir yang panjang, bisa jadi di saat itulah sesungguhnya puncak karir dari seorang Menteri. MK hanya mensyaratkan Menteri harus mendapat persetujuan dan izin cuti dari Presiden. Argumentasi MK terlihat terlalu politis tanpa mempertimbangkan aspek etika dari pejabat publik dan kemungkinan terjadinya conflict of interest serta penyelewengan dari seorang Menteri.
Mencegah Divided Executive
Jika Menteri tidak mengundurkan diri disaat Presiden masih satu periode, maka akan muncul head to head antara Presiden incumbent dengan Menteri yang menjadi pembantunya. Kondisi ini akan semakin diperparah apabila Menteri mengalahkan Presiden incumbent. Rusaknya kinerja pemerintahan akan menjadi taruhan ketika calon Presiden yang merupakan Menteri berhasil memenangkan kontestasi pemilihan presiden, sementara presiden incumbent masih melanjutkan sisa masa jabatan hingga akhir masa jabatan.
Namun jika Presiden telah memasuki periode kedua masa jabatannya, Menteri yang tidak mengundurkan diri saat maju dalam pemilihan Presiden dan wakil Presiden akan menimbulkan kondisi dilematis dan sekaligus potensial merusak bangunan sistem pemerintahan. Dapat dibayangkan, bila ketentuan mundurnya seorang Menteri tidak dibatasi, sangat mungkin terjadi beberapa orang Menteri seperti saat ini maju sebagai calon Presiden atau calon wakil Presiden.
Terciptanya rivalitas antar kementerian negara sulit dihindari karena terjebak dalam memberikan dukungan terhadap Menteri di masing-masing kementerian. Ditambah bila Presiden incumbent menunjukkan dukungannya pada salah satu Menteri, maka potensi terseretnya pemerintahan dalam politik praktis yang tidak netral semakin terbuka lebar. Keadaan seperti ini dikenal dengan istilah terbelahnya pemerintahan (divided executive).
Besarnya kerusakan dari divided executive perlu dihindari, hal ini akan berdampak serius kepada kepercayaan publik terhadap penyelenggaraan pemerintahan. Kekuasaan negara yang besar dianggap hanya akan digunakan oleh segelintir orang untuk kepentingan politik. Menteri yang memiliki akses kekuasaan dan informasi dapat digunakan untuk kepentingan pribadi atau partai tertentu. Sementara Menteri lain yang mempunyai pengaruh atas aparatur negara, dapat menggunakan posisinya untuk mengintimidasi atau memberikan tekanan terhadap pejabat yang dianggap tidak mendukungnya dalam kontestasi pemilu.
Korupsi dan Penyalahgunaan Kewenangan
Sesungguhnya pejabat negara yang diangkat maupun yang dipilih, memiliki jabatan yang erat hubungannya dengan persoalan netralitas. Seorang Menteri yang tidak mundur dari jabatannya saat maju sebagai calon Presiden atau calon wakil Presiden akan berpotensi melakukan korupsi anggaran dan penyalahgunaan kewenangan.
Modelnya antara lain dapat berupa penyalahgunaan dana kementerian untuk kampanye terselubung, Menteri dapat dengan leluasa memanfaatkan anggaran publik untuk kepentingan kampanye politik dengan mengalokasikan dana berupa program-program proyek infrastruktur atau sosial. Perilaku ini dapat saja berujung korupsi yang tidak jarang melibatkan langsung Menteri terkait.
Untuk pemerintahan Presiden Jokowi ini merupakan alarm bahaya, mengingat jumlah Menteri yang terjerat kasus korupsi saat ini adalah yang paling banyak yaitu 6 orang Menteri. Ini belum termasuk dugaan penerimaan gratifikasi Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkumham) Edward Omar Sharif Hiariej yang sedang ditangani KPK. Jika dibandingkan masa dua Presiden sebelumnya. Di masa pemerintahan Megawati, hanya ada 3 orang Menteri yang terjerat korupsi. Sedangkan, selama pemerintahan SBY ada 5 orang Menteri tersandung kasus korupsi. (Dataindonesia.id).
Selain potensi korupsi, penyalahgunaan fasilitas pemerintah juga berpeluang besar terjadi. Menteri dapat memanfaatkan fasilitas pemerintah secara sewenang-wenang, seperti kendaraan dinas, kantor pemerintah, atau sumber daya lainnya untuk keperluan kampanye politik pribadi.
Perbuatan lacung ini dapat mencakup penggunaan mobil dinas untuk keperluan kampanye atau penyelenggaraan acara kampanye di kantor pemerintah. Akhirnya, menyitir pendapat filsuf Aristoteles bahwa membangun politik negara yang bermartabat merupakan upaya mengubah kehidupan rakyat dari sekedar hidup belaka (bare life) menjadi hidup yang lebih baik (good life). Semua itu akan terwujud dari calon pemimpin yang tidak hanya mengerti hukum namun juga menjunjung tinggi etika.